Pertanda

188 17 2
                                    


"Aku mencintainya, karena dia."

Sea berguling-guling di kasurnya. Saat ini ia sedang menelpon Nanon. Sahabatnya satu itu marah besar karena Sea sudah lama tidak menghubunginya. Tentu saja Sea hanya menanggapi dengan tertawa. Setelahnya mereka berbincang tentang kehidupan satu dengan yang lain.

"Bagaimana bisa? Mengapa kau bisa mencintainya?"

Pertanyaan sama yang ditanyakan oleh Ann maupun Frank. Tetapi Sea tidak memiliki jawaban khusus untuk itu. Dan apakah harus selalu ada alasan dalam mencintai seseorang?

Perasaanya tidak bisa dijelaskan. Sea jatuh cinta. Hanya itu. Sea melihat langit-langit kamarnya, menerawang,"Aku mencintainya..., karena dia."

"Jadi kau benar-benar sudah memiliki kekasih?" sahut Nanon ketus.

Sea terkekeh,"Ada apa denganmu? Seharusnya kau ikut bahagia untukku,"

"Entahlah, aku ragu. Semoga kau baik-baik saja,"

"Aku baik-baik saja," Sea membalas walaupun jelas sekali tersirat keraguan di dalam kalimatnya. Entah kapan terakhir kali ia berhubungan dengan Luke. Sea tidak marah. Ia mengerti sekali kalau Luke membutuhkan waktu yang banyak untuk keluarganya. Tetapi Sea khawatir. Sangat khawatir. Ia takut sesuatu yang buruk menimpa Luke.

Di seberang sana Nanon dengan jelas paham dengan keadaan Sea. Ia sudah sangat mengenalnya untuk tahu sahabatnya itu sedang tidak dalam suasana baik. Walaupun begitu, Nanon tidak bisa melakukan apa pun selain mendengarkan Sea. Bukan, bukan karena tidak ada yang bisa dilakukan. Tetapi yang dibutuhkan Sea saat ini adalah pendengar yang baik.

"Kau tidak rindu padaku?" tanya Sea lirih. Seolah pertanyaan itu ia tujukan untuk semua orang di dunia. Untuk Nanon, Singto, Krist, dan... Luke. Sungguh ia sangat merindukan rumahnya. Ia rindu kota Bangkok.

Nanon mengusap matanya yang memanas,"Rindu. Aku sangat rindu,"

Sea mulai terisak. Kehidupan merantau memang tidak pernah mudah. Walaupun Sea difasilitasi segalanya oleh Singto, tetap saja ada banyak hal yang harus ia perjuangkan sendiri seperti beradaptasi. Sea harus bisa 'membiasakan' dirinya sendiri.

"Jangan menangis..."

Faktanya Sea juga bisa mendengar Nanon ikut menangis. Tidak ada yang berbicara kembali. Keduanya memahami satu dengan yang lain. Meratapi realita yang membuat mereka terpisah. Mengeratkan genggaman pada ponsel, berharap dapat mengirimkan kehangatan melaluinya.

***

"Kau baik-baik saja, Frank?" Ann bertanya lalu saling bertatapan dengan Sea. Sudah lebih dari sepekan mereka merasa ada sesuatu yang salah dengan Frank. Jika Frank pendiam, sekarang ini ia jauh lebih pendiam.

"Frank!"

Frank terkejut,"Ya?"

Sea menepuk tangan Frank,"Sekarang kau ceritakan semua pada kami. Kami tahu ada sesuatu yang tidak beres denganmu,"

Frank menatap Sea dan Ann bergantian. Ia ingin sekali menceritakannya. Menumpahkan semua yang ia pendam sendiri. Semua yang ia alami beberapa waktu belakangan ini.

"Apa ini mengenai Drake?" tanya Sea hati-hati.

Frank mengangguk lemah. Lalu mengalir ceritanya dengan Drake. Kegundahan hati yang ia rasakan. Drake menghilang begitu saja. Lebih tepatnya, ia menghindari Frank. Setiap bertemu di sekolah, Drake akan membuang muka dan bergegas pergi. Seperti tidak melihat Frank sama sekali.

Frank tidak mengerti, bukankah Drake yang menyuruhnya untuk menjalani semua dengan perlahan? Tetapi mengapa Drake menghindarinya?

Begitu mendengar cerita Frank, Ann berdiri dengan tiba-tiba,"Di mana si Drake itu? Berani sekali ia mempermainkan sahabatku!"

"Hei! Tenangkan dirimu, Ann!" Sea menarik Ann untuk duduk kembali. Kepalanya mendadak pusing. Belum lagi Ann yang sekarang napsu sekali ingin meninju Drake.

"Ann, Drake bukan orang yang seperti itu," keluh Frank.

Ann menatap Frank sengit,"Lantas seperti apa? Tidak ada orang baik yang akan mempelakukanmu seperti itu, Frank!"

"Kau sudah benar-benar mengajaknya berbicara, Frank?"

"Bagaimana aku bisa berbicara dengannya? Ia saja seperti tidak melihatku," Frank menjawab pertanyaan Sea lalu menangkupkan wajahnya ke meja. Ia sudah bisa menduga reaksi sahabatnya. Oleh karena itu, Frank menunda bercerita. Ia tidak ingin membuat sahabatnya khawatir.

Ann melingkarkan tangannya pada bahu Frank, mencoba memberi kekuatan,"Kita tunggu sampai minggu depan. Jika ia tidak memberimu kabar..." ucapan Ann menggantung. Urusan sekolah akhir-akhir ini pun sulit. Ditambah dengan masalah lain, semakin memberatkan saja.

Sea ikut mengangguk. Sebenarnya ia ragu. Entah apa yang akan mereka hadapi nanti. Sea hanya berharap mereka bisa menghadapinya.

Sepasang mata mengamati mereka dalam diam.

***

Krist melipat baju Singto sambil merapihkan baju lainnya di lemari. Ia menata baju tersebut berdasarkan persamaan warna. Terkadang jika Singto sedang buru-buru, ia bisa asal saja mengambil baju yang akan dikenakan. Setelah selesai, Krist memasukannya ke dalam lemari Singto.

Drt... drt...

Ponsel Krist bergetar, sebuah pesan singkat masuk. Jantung Krist berdebar ketika melihat isinya. Ia menelan ludah dengan susah payah. Perasaannya tidak karuan. Senang, sedih, dan bingung. Pesan itu hanya berisi satu kalimat.

"Krist Perawat, apakah kau tidak ingin mencari Orangtua kandungmu?"

Krist mendesah begitu melihat pengirim dari pesan singkat tersebut adalah nomor pribadi. Tidak ada nama. Tidak ada tanda pengenal lainnya.

Krist menutup ponselnya begitu mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Tak lama Singto keluar dengan hanya mengenakan selembar handuk di pinggangnya. Tetesan air dari rambut Singto membasahi lantai. Krist mendongak kemudian mengalihkan pandangan. Malu.

"Hei! Pakai bajumu!"

Singto tidak mengindahkan protes Krist, bahkan sekarang ia mencari baju sambil bersiul. Setelah selesai berpakaian, ia menghampiri Krist dan memeluknya hingga Krist merebah di kasur.

"Kau kan sudah melihat semuanya. Kenapa harus malu?" Singto mencium pipi, mata, dahi, dan berlanjut hingga bibir Krist. Begitu Singto akan melepaskan ciumannya, tangan Krist melingkar di leher Singto. Memperdalam ciuman, tidak ingin berhenti.

Walaupun Singto tidak mengerti, ia tetap menyambut Krist dengan baik. Jarang sekali Krist berinisiatif seperti ini. Di sisi lain, Krist berharap Singto dapat mengalihkan perhatiannya dari pesan singkat tadi. Krist tidak tahu apa yang akan menunggunya nanti.

TBC

Adakah yang masih menunggu kelanjutan cerita ini?

Bunga Terakhir 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang