Luke menarik tangan Sea, memeluknya. Ia berjuang keras menahan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Ia sudah berjanji pada Singto, pada dirinya sendiri. Untuk tidak bertemu dengan Sea lagi. Tetapi ia dengan sengaja berkunjung ke taman, membawa lasagna kesukaan Sea. Dan berharap akan bertemu dengannya. Luke benar-benar rendah di matanya sendiri.
"Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin hidup seperti ini, Sea,"
Sea terkejut mendengar nada penuh luka dari Luke. Ia sudah benar-benar menangis. Ia begitu marah. Sea tahu, ia tidak boleh menyalahkan sepenuhnya pada Luke. Itu yang membuatnya kesal. Hatinya begitu disakiti, tetapi orang yang menyakitinya jauh lebih terluka.
Hidup terkadang bisa begitu kejam.
"Aku harap, aku bisa percaya. Tapi, kau membuatku tidak mampu melakukannya."
"Maafkan aku."
Luke berusaha mengendalikan diri sebelum melepas pelukan Sea. Sea benar, tidak seharusnya ia di sini. Ia hanya menciptakan luka baru bagi mereka. Luka yang entah kapan akan membaik. Mungkin tidak akan pernah sembuh. Mungkin hanya bisa kembali dikubur dalam-dalam.
"Pergilah, Luke. Aku tahu kebahagiaanmu bukan di sini,"
"Kau tahu?"
Sea mengangguk,"Namanya Kay bukan? Perlakukan ia dengan baik, jangan sampai ia merasakan apa yang aku rasakan,"
"Sea—"
"Luke, aku tahu. Kau mungkin menyukaiku, tapi kau mencintainya. Dan itu tidak apa-apa," Sea mengusap aliran air mata di pipinya. Ia tahu, mungkin ia tidak akan segera baik-baik saja. Mungkin Sea akan menangis sangat kencang selama beberapa malam. Tetapi, ia paham. Nantinya ia akan baik-baik saja.
Luke mengangguk, pahit sekali rasanya. Ia menyodorkan tas karton yang dibawanya tadi,"Setidaknya terima ini. Kau harus makan dengan baik, hidup dengan baik—
—tidak seperti aku,"
Sudut bibir Sea terangkat ke atas. Ia berusaha tersenyum. Ia tahu cepat atau lambat perpisahan mereka akan terjadi. Sea bahkan tidak berani berharap banyak.
"Jaga dirimu, Sea."
Luke berjalan pergi. Satu kenyataan yang pasti dari pertemuan sekaligus perpisahan ini: Sea tidak akan pernah menjadi miliknya sampai kapan pun. Mungkin jika hidup berbaik hati, ia dapat bertemu kembali dengan Sea di kehidupan selanjutnya.
***
Krist tertawa, ternyata ia benar. Bermain dengan anak panti dapat menghiburnya. Ia kembali melanjutkan hidupnya. Krist beruntung, ia masih memiliki Hero dan panti asuhan yang bisa menjadi tempatnya pulang.
Beberapa bulan sebelumnya, Krist seperti tidak ingin hidup. Ia mengabaikan kesehatan dirinya sendiri yang mengakibatkan belasan kali jarum infus menusuk tangannya. Krist sering menangis hingga matanya lelah. Ia terlihat seperti mayat berjalan. Tetapi Hero tetap berada di sampingnya, tidak meninggalkannya sendiri.
Krist sudah melakukan berbagai upaya untuk mencari Singto dan menghubungi Sea. Nihil. Ia tidak akan pernah tersambung dengan keduanya. Dari Hero ia tahu, jika Sea sudah kembali ke Manhattan untuk melanjutkan sekolahnya. Sementara dunia dibuat heboh karena Singto mendadak menghilang. Sekeras apa pun Krist memohon, Hero tetap bersikeras jika ia tidak tahu di mana Singto berada.
"Krist, masuklah. Makan siang dengan yang lain," Ibu Achara menghampiri Krist dengan tersenyum. Sedikit banyak ia merasa bersalah dengan anak asuhnya ini. Kesalahan Ibunya di masa lalu yang membuat Krist menderita seperti sekarang.
"Nanti saja, Bu. Aku masih merapihkan mainan ini," itu kata Krist, tetapi Ibu Achara hanya melihat Krist melamun sejak tadi. Bahkan mainan-mainan yang dimaksud, tidak bergerak satu jengkal pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir 2
Romance"Kau mungkin menyukaiku. Tapi... kau mencintainya." "Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan dua keluarga, Krist. Dan bagaimana kau melangkah lebih jauh jika kau saja tidak yakin?" Perjalanan kehidupan Krist, Singto, dan Sea diuj...