"Singto, aku rindu."
Pemandangan yang disuguhkan di balik bukit memang selalu indah. Bukit yang terletak tidak jauh dari panti asuhan itu selalu bisa menghibur siapa pun yang berkunjung. Walaupun tidak banyak orang yang mengetahui bukti itu. Seperti saat ini, langit berpendar cerah dengan garis-garis awan senja berwarna jingga. Sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang kelabu.
Sudah nyaris tiga minggu ia membawa Krist pergi, dan selama itu pula Krist menolak berinteraksi dengan siapa pun. Ia hanya meminum air, tidak ingin makan apa pun. Jika Mama sudah memohon hingga menangis, Krist akan menyuapkan satu sampai dua sendok ke dalam mulutnya. Setelah itu, ia akan kembali diam menatap jendela. Berharap Singto akan segera datang menjemputnya.
Seharusnya Luke senang. Keluarganya utuh tanpa gangguan sang Ayah. Mama dapat berkumpul dengan anak sulungnya yang selama ini ia cari. Anak yang diinginkan.
Tetapi tidak. Luke tidak senang. Perhatian Mama terpusat pada Krist yang tidak mengacuhkannya. Tidak jarang Mama menangis melihat Krist yang seperti tidak ingin hidup lagi.
"Hei!"
Luke mendongak, menatap Kay yang terkejut melihat kehadirannya. Ternyata Tuhan masih sangat baik padanya, ya? Pikir Luke. Ia berkunjung ke sini hanya ingin melepas penatnya. Jika beruntung mungkin ia akan bertemu dengan Kay. Tidak tahu kalau harapan kecilnya dikabulkan.
"Kenapa kau di sini?"
"Apa?"
"Kenapa kau di sini?" ulang Kay.
Luke menggeleng tidak percaya. Ia seperti de javu mendengar pertanyaan yang sama ditanyakan oleh Sea. Luke menelan ludah, bukan saatnya ia memikirkan gadis itu.
Luke menepuk bagian kosong di sampingnya,"Sini,"
Kay memutuskan untuk duduk di samping Luke. Tadi ia tidak sengaja melewati bukit ini setelah membantu Ibu Achara ke pasar. Tidak menyangka akan bertemu Luke di sini. Puluhan pertanyaan memenuhi pikirannya. Ia sudah tidak bertemu dengan Luke lama sekali. Ia selalu berharap suatu hari dapat bertemu Luke lagi. Entah kapan. Ia ingin bertemu, sekali lagi saja.
Luke menyenderkan kepalanya pada bahu Kay. Memejamkan mata. Ia tidak punya siapa pun untuk mendengarkan keluh kesahnya. Ia tidak pernah punya teman. Semua temannya mengistimewakan Luke karena Ayahnya. Bahkan ada juga yang terang-terangan membenci Luke karena ia keturunan Sangpotirat. Ia tidak bisa bercerita pada Mama karena Mama terlalu sibuk memikirkan Krist. Ia hanya akan menjadi orang jahat di mata Kay jika ia bercerita semuanya.
Luke terisak dalam diam. Hidupnya sangat menyebalkan dan menyedihkan. Tidak ada yang memihaknya. Ia selalu berjalan sendiri. Dan Luke juga harus menerima segala resiko atas perbuatannya. Termasuk kehilangan Sea. Luke mendengus, sejak kapan ia memiliki Sea?
"Kau baik-baik saja?" tanya Kay pelan, takut mengganggu Luke. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada Luke. Pada orang yang telah mengambil hatinya. Luke terlalu misterius untuknya. Tetapi melihat Luke seperti ini membuat hati Kay sakit.
Luke menarik Kay ke pelukannya. Semakin terisak. Saat ini saja Luke ingin mengeluh. Luke tidak kuat. Ia hanyalah pemuda lemah yang berlindung di balik topeng yang selama ini ia kenakan.
***
Krist tidak berhenti memerhatikan pemandangan di luar jendela kamarnya. Hanya deburan ombak dan suara angin yang terdengar. Krist menyimpulkan, ia berada di pinggir kota. Ia memikirkan berbagai cara pergi dari rumah ini. Tetapi percuma, selain pantai yang mengelilingi rumah ini, banyak sekali penjaga yang menjaganya. Mungkin Krist hanya akan berhasil keluar dari kamar ini saja, tanpa dapat sampai ke pintu gerbang.
Krist merana. Mengapa ia tidak mendengar apa pun mengenai Singto? Benarkah Singto menyerahkannya begitu saja pada Luke? Lalu bagaimana dengan Sea? Apa Sea baik-baik saja?
Keadaan Krist juga tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Selama beberapa hari ia hanya minum air putih dan makan beberapa sendok saja. Hal tersebut membuat tubuhnya menjadi semakin lemah. Mungkin asam lambungnya akan segera kambuh. Tetapi Krist tidak perduli.
Singto, aku rindu.
Krist meratap, berdoa di dalam hatinya. Semoga Singto segera datang. Ia masih ingin berharap. Krist percaya pada Singto.
Tok! Tok! Tok!
"Krist?"
Krist menoleh,"Hero?"
Krist segera menangis. Ia tidak kuat lagi. Ia ingin pergi.
Hero memeluk Krist, menepuk punggungnya lembut. Keadaan Krist begitu menyedihkan. Luke menghubungi Hero, meminta bantuan untuk membujuk Krist yang begitu keras kepala.
"Hero, katakan padaku! Ini di mana? Mana Singto?"
"Krist, rumah ini adalah rumahmu. Sekarang kau tinggal di sini,"
"Bagaimana dengan Singto? Di mana dia? Hero, tolong aku. Bawa aku ke Singto...," Krist menangis pilu. Kepalanya berdenyut menyakitkan. Setiap malam ia hanya bisa tidur beberapa jam. Lantas terjaga dan tidak bisa tidur hingga pagi tiba. Terus seperti itu.
Hero merasakan badan Krist bertumpu padanya,"Krist? Krist!"
Krist kehilangan kesadarannya.
***
Hero memerhatikan lengan Krist yang dipasangi infus. Menurut dokter yang tadi memeriksa Krist, Krist dehidrasi dan kekurangan karbohidrat. Kurangnya istirahat juga menjadi faktor melemahnya badan Krist.
Hero sudah berjanji pada Singto, untuk menjaga Krist dari siapa pun. Bahkan dari Singto. Setelah mengantarkan Krist ke rumah ini, Hero kembali ke Bangkok untuk membantu mengurusi Prachaya Company. Sekaligus melihat Sea dan Singto pergi. Lalu Singto meminta Hero menemani Krist. Tetap berada di sampingnya.
Ketika Luke menghubungi Hero, ia tidak begitu terkejut. Hero sudah menduga Krist akan melakukan penolakan. Mungkin penolakan ini akan terus dilakukannya sampai entah kapan.
Hero mendesah, bagaimana Krist akan melanjutkan hidupnya jika seperti ini?
"Singto...," Krist menggumam dalam tidurnya.
Hero mengeluarkan ponselnya, mengirimkan sebuah pesan. Krist sangat membutuhkanmu, Tuan.
TBC
2 chapters more to go! jangan lupa komentar dan votenya, Teman-temankuhhh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir 2
Romance"Kau mungkin menyukaiku. Tapi... kau mencintainya." "Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan dua keluarga, Krist. Dan bagaimana kau melangkah lebih jauh jika kau saja tidak yakin?" Perjalanan kehidupan Krist, Singto, dan Sea diuj...