Pukul 00.15, malam sudah semakin larut dan Wulan masih saja berdiri di depan kedai ayam tempatnya bekerja. Sendirian di depan kedai yang sudah tutup sejak sepuluh menit yang lalu. Menatap surat panggilan pemberian Renata di tangannya. Kehadiran sahabatnya tadi, cukup mengobati hatinya yang sedang terombang-ambing. Wulan tak tentu arah, langkahnya terlalu serba salah.
Kepala Wulan menengadah ke langit malam, kedai yang sudah tutup menjadi saksi betapa terumuknya dia hari ini. "Gue bisa apa selain jadi target pembunuhan Bastar? Sarah, Anin, Rega, sekarang gue? Akhir kayak gimana yang langit persiapin buat gue?" tanyanya pada langit yang selalu terbentang tanpa ujung. Saksi bisu atas apa yang terjadi di bumi milik sang pencipta.
Wulan menghela napas berat, enggan berlarut dalam kesedihannya sendiri. Ketika dia berada di jalan, suara deruman motor yang diyakininya lebih dari satu, bersahut-sahutan di telinga. Wulan mempercepat langkahnya, mencoba mengabaikan kelakuan pengendara motor yang ia pikir hanya segerombolan orang iseng. Namun pikirannya menjadi buntu saat mengetahui siapa pemimpin gerombolan motor tersebut.
"Hastra," ujar Wulan pelan. Nyaris tak terdengar sampai akhirnya suara tertahannya ditelan oleh angin. Tatapannya tak beralih dari kendaraan yang semakin mendekat. Tubuhnya terpaku pada satu titik, lalu dikurung dalam lingkaran ketakutan.
Hastra yang seperti biasa tampak gagah menunggangi motornya, memberikan perintah kepada anak-anak Bastar untuk maju. Mengelilingi Wulan yang sedang berdiri takut di jalanan yang lengang itu. Hastra mengembangkan senyumnya, dengan bangga menemukan gadis yang telah berhari-hari membuatnya kehilangan harapan untuk bebas.
Terdengar gelak tawa yang beradu dengan kerasnya deruman motor para lelaki itu, Wulan semakin kesusahan menelan salivanya. Otaknya semakin tak bisa berpikir jernih. Jalanan yang sepi membuatnya tak mampu berkutik, yang bisa dia lakukan hanyalah diam. Berharap orang lain datang menyelamatkannya.
"Ternyata lo masih hidup?"
Kalimat itu terlontar dari mulut Ecky, wakil ketua Bastar yang sifatnya kurang lebih seperti Varon. Dia menatap Wulan dengan senyuman tersungging di bibir hitamnya. "Lo beruntung masih dibolehin napas sama ketua gue," ujarnya lagi, membuat lutut Wulan lemas seketika.
"Gue nggak punya urusan sama lo semua!"
"Tapi lo punya urusan sama gue!"
Hastra baru saja memoto Wulan dengan kamera ponselnya, lalu menyambar ucapan gadis yang sedang ketakutan itu. Hastra tersenyum miring penuh maksud, lalu menyimpan ponselnya. Dalam keadaan masih di atas motor, Hastra melaju perlahan mengitari Wulan bersama teman-temannya.
Wulan mulai waspada saat kendaraan Hastra melambat, mendekat, lalu memojokkan dirinya di antara kerumunan Bastar. Rasanya detak jantung Wulan memacu jarum jam, kelakuan Bastar selalu membuat badannya panas dingin. Aura kematian serasa kembali mendatanginya.
"Nggak usah deket-deket!" bentak Wulan, kakinya yang hampir tak bertenaga dipaksa untuk mundur perlahan. Meski ia tahu bahwa di belakangnya saat ini ada anak-anak Bastar yang lain.
Wulan menangis dalam hati, matanya memanas, mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa di hatinya. Dia menjerit dalam hati, berharap ada seseorang yang akan menyelamatkannya.
Hastra turun dari motornya, lalu menyambar rahang Wulan dan mencengkeramnya. Sepasang matanya menatap Wulan dengan tatapan membunuh. Detik itu juga, air mata Wulan berderai jatuh, dia memejamkan mata sembari menahan tangisnya. "Ini menarik, Lan. Gue nggak nyangka lo berhasil bikin Bang Hasta mukulin gue. Dan hari ini, gue mau ngajakin lo seru-seruan bareng sebagai ucapan terimakasih," ujar Hastra membingungkan.
Wulan menahan tangisnya kuat-kuat, dia dapat merasakan bagaimana kerasnya embusan napas Hastra di kulit wajahnya. Rasa ketakutan Wulan meningkat ketika Ecky menyodorkan sebuah gunting kepada Hastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bens Wulan 2020
Teen FictionRated : 16+ Cerita ini mengandung kekerasan, umpatan kasar, tindakan tidak senonoh yang tidak patut ditiru, dan hal-hal negatif lainnya yang dapat merusak pembaca . Harap bijak memilih bacaan! *** Sebelum berucap, Bens melirik Wulan yang masih belum...