Berkali-kali Bens menghela napas, tetap saja ingatan mengenai peristiwa di sekolah hari ini tidak mau menjauh dari pikirannya. Semakin banyak usaha Bens untuk memfokuskan perhatian pada motor di hadapannya, maka semakin besar pula dorongan otaknya untuk mengingat kejadian tersebut. Sampai akhirnya Bens mengaku kalah, dia pun menjauh dari motor pelanggan yang sedang diperbaiki.
"Sialan! Kenapa jadi kepikiran terus, sih?!" makinya kesal.
Aksel yang tadinya mau menumpang istirahat di bengkel Pedro merasa terganggu dengan umpatan Bens. Seketika pemuda berwajah tampan dengan tingkah sedikit agak konyol itu menegakkan punggung, melihat Bens yang sedang menatap kecewa ke arah motor yang sedang diperbaiki.
"Kenapa lo, Bens?"
"Ini semua gara-gara lo, sialan!"
"Lah? Kenapa jadi salah gue, sih, anying?!"
Merasa bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun, karena sedari tadi Aksel hanya duduk bersandar di kursi dengan mata terpejam, cowok itu pun bangkit dan menghampiri sahabatnya yang terlihat gusar.
Meski Bens hanya diam, tak menyahut ucapan tajamnya tadi, Aksel tetap paham apa yang membuat sahabatnya itu merasa marah dan kesal. "Lo masih marah soal Dewa?" tanya Aksel begitu duduk di sebelah Bens. Keduanya duduk lesehan di lantai bengkel yang kotor.
Bens menolehkan kepala, berikut dengan wajah merah padam. Pertanda kedua tanduk gaibnya sudah muncul. "Menurut lo?"
Aksel terkekeh garing. "Ya, sorry, Bens. Gue bohongin lo juga karena kasian sama Wulan. Semenjak mamanya meninggal, lo tau sendiri keadaan tu cewek kayak gimana. Gue nggak mau aja Wulan jadi korban selanjutnya," jelas cowok itu, berusaha membuat Bens mengerti akan tindakannya hari ini di sekolah.
"Di rumah, dia udah susah sama keadaan. Jangan sampe di sekolah, dia juga susah karena tekanan dari Dewa sama anak-anak. Yang benci dia sekarang banyak, dan yang mau manfaatin cewek manja kayak dia juga banyak. Dan sekarang, dia udah bener-bener nggak bisa lepas dari Hastra," tambah Aksel dengan wajah sedih.
Di samping Aksel, Bens hanya diam memerhatikan halaman. Otaknya sedang malas berpikir panjang, namun sedari tadi, Aksel kelihatannya ingin membuatnya mengerti bahwa dia melakukan hal yang benar. "Dan lo sengaja jebak gue supaya berurusan sama Dewa?" Tatapan sengit mendarat di kedua mata Aksel.
"Gue cuma mau lo sama Dewa baikan. Di luar sana, musuh-musuh kita udah berpesta merayakan keretakan Destroyer. Mereka berhasil memecah-belah persaudaraan kita, Bens."
"Lo pikir gue peduli? Mau siapa pun yang pengen Destroyer bubar dan tunduk di kaki mereka, gue nggak peduli. Karena gue bukan lagi bagian dari Destroyer sejak hari itu!"
Aksel menghela napas berat, kemudian menatap Bens yang menatapnya sedikit emosi. "Kenapa, sih, lo berdua sama-sama keras kepala? Saling peduli, tapi nggak mau damai. Mumet pala gue," gerutunya.
"Kenapa juga lo harus peduliin pengkhianat kayak gue?"
"Eh, bego, sesama teman emang harus peduli! Mau pengkhianat apa bukan, yang namanya teman tetap harus saling dukung. Lagian masalahnya juga sepele, anjir, main keluarin anggota seenaknya aja si Dewa."
Cowok bersurai keriting itu mendengkus mendengar ucapan Aksel, lalu menoyor kepala cowok itu. "Bacot lo, kambing!" desisnya.
"Oh, iya!" ujar Aksel tiba-tiba. Sesuatu begitu saja melintas di kepalanya. "Tadi pas mau ke sini, gue liat Wulan dijadiin babu sama Hastra. Niat banget dia mau ngehancurin tu cewek."
"Lo liat di mana?"
Jantung Bens sudah berdebar tidak keruan, seolah tahu bahwa cewek yang malam itu menolongnya berada dalam bahaya. Terlebih lagi jika sudah berurusan dengan Hastra yang saat ini menyandang gelar sebagai ketua Bastar. Yang tentu saja mengancam keselamatan Wulan kapan pun jika Hastra menginginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bens Wulan 2020
Dla nastolatkówRated : 16+ Cerita ini mengandung kekerasan, umpatan kasar, tindakan tidak senonoh yang tidak patut ditiru, dan hal-hal negatif lainnya yang dapat merusak pembaca . Harap bijak memilih bacaan! *** Sebelum berucap, Bens melirik Wulan yang masih belum...