16. KERIBUTAN BERKELANJUTAN

1.8K 180 42
                                    

Pagi itu di kediaman keluarga Biyantara, Heksa terduduk lelah di sofa sembari melonggarkan ikatan dasi di lehernya. Sementara sang istri, Crisya, menampakkan wajah masam untuk suaminya yang baru saja pulang dari kantor. Lalu ada anak perempuan mereka bernama Hera, yang sedang duduk tidak enak hati di meja makan. Hera mengerti, ibu dan ayahnya tidak akan pernah akur semenjak kepergian Hasta serta Bunda Kiyara dari rumah.

Tak lama menikmati sisa-sisa kelelahan yang menyergap tubuhnya, Heksa tersentak melihat anak laki-lakinya pulang pagi dengan keadaan amburadul. Mulai dari kepala sampai ujung kaki, kelihatan seperti anak tak terdidik. Dan tentu saja emosi Heksa langsung meningkat. Seharusnya anak itu sudah memakai seragam saat ini dan bergabung di meja makan bersama adik perempuannya. Lalu ini apa?

"Dari mana aja kamu? Setiap hari kamu selalu pulang pagi, Tra? Papa merasa nggak dihormati sekaligus kecewa sama kamu!"

Langkah Hastra terhenti saat hendak menaiki undakan tangga pertama. Sejujurnya dia pun tidak tega, namun Hastra telah memilih jalan ini untuk mencari kebebasannya. "Kenapa? Yang Hastra lakuin bertentangan lagi sama aturan yang Papa buat? Hastra nggak mau jabatan itu, Pa, Hastra nggak suka dikekang. Hastra mau bebas!" jawab Hastra tak peduli, yang ia tahu hanya kebebasan yang harus dia dapatkan.

Mengetahui bahwa respons anaknya tidak terlalu baik, Heksa mencoba untuk tetap tenang walau emosi sudah memuncak dan mengaktifkan tombol bahaya secara otomatis. Laki-laki yang memakai kemeja putih itu berdiri menuju hadapan anaknya. Rasa lelahnya kembali berkumpul di pundak. Sedang Crisya sudah was-was di belakang Heksa dan memberi kode kepada Hastra untuk segera pergi ke kamarnya.

"Jangan banyak ngebantah kamu! Papa ingin yang terbaik untuk kamu, Hastra. Papa mau kamu jadi anak baik dengan masa depan cerah. Bukan seperti abang kamu yang selalu menentang keputusan Papa dan berakhir dengan kehidupan suram."

Mata tajam Hastra melirik sang ibu yang sudah ketakutan setengah mati, lalu mengabaikannya. "Itu yang bikin kita beda, Pa! Bagi Hastra, kebebasan nggak bisa diukur pake uang. Kesuraman hidup seseorang, nggak menjamin kalau dia nggak bahagia," tekan Hastra pada ayahnya. "Contohnya aja keluarga kita. Semenjak Bunda Kiyara sama Bang Hasta keluar dari rumah ini, Papa sama Mama lebih sering ribut. Kalian cuma mentingin diri kalian sendiri. Kalian gagal jadi orang tua!"

Bugh!

"Jaga mulut kamu! Papa mendidik kamu, menyekolahkan kamu dengan harapan tinggi, apa itu belum cukup?! Kebebasan yang kamu maksud, cuma akan menjerumuskan kamu pada penyesalan, Hastra!" bentak Heksa dengan wajah memerah memancarkan emosi.

Satu pukulan yang dilayangkan pada Hastra berhasil membuat cowok itu bungkam sesaat, sementara Crisya dan Hera sontak menegang di tempatnya masing-masing.

"Heksa, kamu terlalu keras sama Hastra! Dari dulu kamu selalu main tangan, papa macam apa kamu?!" Crisya mendekati Hastra, memapah anaknya untuk bangun. "Kalau kamu ada masalah, seharusnya kamu nggak kayak gini sama aku dan Hastra!"

Heksa lantas menatap sinis Crisya. Perempuan itu ... dia pikir Heksa tidak tahu, apa saja yang wanita itu perbuat di belakangnya? Heksa benar-benar sudah kenyang menikmati kebohongan Crisya. "Lalu apa didikan kamu berguna, Sya? Kamu berhasil mendidik Hastra? Ada atau enggaknya masalah, yang perlu kamu tau, segala titik masalah itu berasal dari kamu! Saya muak sama kamu, paham?!" teriak Heksa hingga wanita yang ia tunjuk terlonjak kaget.

Tak ada yang berani menyahut lagi, Heksa berhasil mendominasi keadaan. Hera sudah menitikkan air mata di meja makan, gadis lembut itu gemetar menahan tangisnya yang akan meledak. Yang Hera lakukan hanya tertunduk dan sesekali mengusap ujung matanya.

"Kiyara lebih mampu jadi ibu bahkan tanpa campur tangan saya, ketimbang kamu yang cuma sibuk dengan dunia kamu sendiri. Bukannya mengurus anak-anak di rumah, kamu lebih memilih menghambur-hamburkan uang saya!"

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang