Wulan menikmati sebungkus roti yang dibelikan Bens di taman sekolah. Duduk di dalam green house bersama Bens yang sedari tadi enggan bersuara. Dari lipatan-lipatan kecil di keningnya, sudah jelas cowok bersurai keriting itu marah kepadanya hingga tak mau mengatakan apapun. Namun hebatnya berani menyeret Wulan ke tempat ini. Akan tetapi sesampainya mereka di sini, Bens justru mengabaikannya. Seperti orang yang tidak bertanggungjawab.
"Kok lo diem aja?"
Sebelah alis Bens terangkat. "Terus gue harus gimana?"
"Ngomong apa kek gitu, diem mulu. Lo semenjak pisah dari Dewa sama gengnya kayak orang yang kehilangan tujuan hidup tau, nggak?!"
"Sendirian terus. Kemana-mana sendiri, apa-apa sendiri. Dipukulin sama Argo CS diem aja, digangguin sama cewek-cewek centil di kelas nggak nolak. Dihukum sama guru meskipun lo nggak salah, lo nggak pernah ngebantah," tambah Wulan yang membuat sudut bibir Bens berkedut.
"Lo merhatiin gue?"
Cepat-cepat Wulan meneguk air mineral di sampingnya, lalu menaruhnya kembali saat dilihatnya Bens tak kunjung mengalihkan tatapan dari wajahnya. Dia masih menunggu jawaban. "Nggak merhatiin!" ketusnya yang tentu saja mengandung sembilan puluh sembilan koma sembilan persen unsur kebohongan. Kali ini membuat Bens menyeringai.
"Lo nggak pinter bohong," ujarnya seraya menyentuh sudut bibir Wulan. Mengambil secuil roti yang tertinggal di sana.
Astaga, Bens, lo ngapain?! jerit Wulan dalam hati. Disaat tubuhnya sudah mematung dan memanas secara bersamaan, Wulan berdehem pelan untuk mencairkan suasana yang sempat tegang karena tindakan manis Bens.
"Nggak usah sok tau!"
Sejujurnya semenjak Wulan membantu Bens pergi menuju ruang kesehatan sekolah waktu kelas X, Wulan memang sering memerhatikan Bens dari jauh. Dan yang paling sering adalah ketika dirinya merasa sudah tidak sanggup menghadapi keadaan. Seperti saat ini, ketika Hastra muncul dan membuat Wulan harus terlibat dengan dua kubu yang saling berperang.
Bens menatap sepasang mata Wulan bergantian. Cahaya matahari yang menembus matanya membuat warna iris matanya berubah dari hitam menjadi coklat. "Bohong! Gue tau tiap kali ketemu gue, lo selalu merhatiin," tuduh Bens kemudian.
"Iya-iya merhatiin," aku Wulan kemudian. "Sejak kejadian itu gue sering banget ngeliatin lo dari jauh, sampe hafal kebiasaan lo kalau lagi niat sama nggak niat sekolah."
"Suka lo sama gue?"
"Dikit."
Bens melotot mendengar jawaban Wulan yang tidak ada malu-malunya saat menjawab pertanyaannya. Biasanya jika cewek-cewek diberikan pertanyaan seperti itu, mereka akan menjawab tidak dengan penuh semangat. Namun Wulan justru mengakuinya tanpa berpikir panjang.
"Nggak usah dipikirin. Gue cuma kagum doang sama lo, makanya gue sering merhatiin lo," lanjut Wulan.
"Gue cabut kalau gitu!"
"Eh, ntar dulu, main pergi aja," cegah Wulan dengan menangkap tangan besar dan kasar Bens yang hendak berbalik meninggalkannya.
Bens menatap cewek berambut pirang itu dengan wajah malas. Sedikit menyesal mengiyakan permintaan Aksel yang tiba-tiba mengiriminya pesan yang tentu saja dibumbui dengan kebohongan supaya lebih berefek terhadapnya. Katanya Wulan akan dijatuhi hukuman oleh Dewa, karena itu Bens langsung cepat-cepat datang ke lokasi. Dan sialnya Bens kemakan pancingan Aksel untuk terlibat urusan Dewa dan gengnya.
"Apa?"
"Lo pelit ngomong abis keluar dari Destroyer," ceplos Wulan tanpa sadar dan membuat Bens menghempaskan tangannya dengan kasar. Cekalan Wulan pun terlepas dengan paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bens Wulan 2020
Teen FictionRated : 16+ Cerita ini mengandung kekerasan, umpatan kasar, tindakan tidak senonoh yang tidak patut ditiru, dan hal-hal negatif lainnya yang dapat merusak pembaca . Harap bijak memilih bacaan! *** Sebelum berucap, Bens melirik Wulan yang masih belum...