50. BENARKAH KITA BERPISAH?

415 49 15
                                    

Saat ini, Hastra tengah memacu kendaraan di jalanan bersama Wulan. Ingat, mereka sedang memburu waktu, berharap bisa menghentikan langkah seseorang yang hendak pergi. Pikiran Wulan masih tertinggal di belakang, tepat satu jam sebelum ia dan Hastra bersikeras untuk ke bandara malam ini juga. Padahal Bunda Kasih dan Ayah Johan tak memberikan izin, kebetulan juga besok hari Minggu. Sehingga tidak perlu cemas memikirkan bagaimana masuk sekolah supaya tidak terlambat, sebab malamnya tidak tidur memperjuangkan Bens agar tetap tinggal di Indonesia.

Sehabis melamun memikirkan kondisi Kiyara dan Bens, Wulan tertidur cukup pulas saat jam sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam, tepatnya pukul 11.37. Namun gonggongan anjing yang begitu berisik di halaman depan membuatnya terbangun, juga panggilan masuk dari seseorang yang berulang-ulang membuat Wulan mau tak mau membuka mata.

Rupa-rupanya, yang menghubunginya malam-malam begini adalah Hastra. Laki-laki itu mengaku sudah berdiri di halaman rumah kasih, dan mengatakan kalau Bens akan meninggalkan Indonesia malam ini. Padahal Hastra sedang sibuk mengurus pernikahannya dengan Alya, tetapi sekarang ia juga harus direpotkan oleh kelakuan Heksa yang semena-mena terhadap anaknya. Jelas Hastra tidak terima, ketika ia memberitahu Kiyara pun, perempuan itu mengaku tidak tahu. Akhirnya Kiyara meminta Hastra untuk menyusul Bens lebih dulu, sementara dirinya diantar oleh supir pribadi yang dipekerjakan khusus untuknya oleh Heksa.

"Lo nggak perlu nangis cuma karena papa gue nggak suka Bang Hasta berhubungan sama lo!" seru Hastra, menatap Wulan dari spion motornya. "Selagi abang gue masih bernapas, dia nggak akan pernah pasrah ditindas sama Heksa."

Di belakang, Wulan sudah meraung melepaskan tangisannya. Walau memakai helm yang tertutup, tangisannya yang cukup keras tetap membuat pengendara lain menatap curiga ke arahnya dan Hastra. Terlebih lagi waktu yang menunjukkan pukul 12.15 WIB, tentu saja orang-orang berpikiran aneh tentang mereka. Dan Wulan sadar, butuh waktu beberapa menit lagi untuk tiba di bandara.

"Jadwal keberangkatan Bens jam berapa, sih? Sekarang udah jam dua belas lewat lima belas menit, dia bakalan ninggalin gue!" rengek Wulan yang seketika membuat Hastra berdecak. Dia sedang malas mendengar rengekan. Alya saja sudah membuatnya sakit kepala, jangan ditambah lagi dengan ketidakberuntungan Wulan.

"Nggak usah ngasih tau semua orang kalau lo dibuang sama abang gue, malu-maluin lo!"

"Abisnya, gue nggak terima Bens pergi gitu aja, gue nggak mau dia ke London!"

"Terus kalau udah kayak gini lo bisa apa? Lo tenggelemin diri di laut juga abang gue nggak bakalan nyamperin lo. Lagian pasti juga abang gue balik lagi ke Indonesia."

Wulan memeluk Hastra makin kuat saat dinginnya malam mulai merembes masuk dan menusuk kulitnya. "Kalau hatinya bisa dipastikan bakal balik buat gue nggak masalah. Ini nggak sama sekali, dia malah bersikap kayak cowok brengsek di luaran sana!" tukas Wulan sambil terus menangis dan sesekali terisak.

Detik berikutnya Hastra mengunci mulutnya, tidak mau menanggapi celotehan Wulan karena masalah ini sudah membuatnya cukup pening. Hastra menambah kecepatan laju motornya, memotong kendaraan roda empat di depannya. Hastra memberikan ruang untuk Wulan, berharap semoga perempuan itu berhenti menangis saat mereka tiba di bandara. Dan paling penting, Hastra berharap Bens masih mempertahankan kewarasannya dengan tidak mengikuti perintah bodoh Heksa.

***

Sesampainya Hastra dan Wulan di bandara Soekarno-Hatta, Hastra segera memegang pergelangan tangan Wulan agar perempuan itu tidak hilang dan membuatnya lebih kerepotan lagi. Saat kulit mereka bersentuhan, Hastra terkejut karena tangan Wulan terasa sedingin es. Padahal Wulan telah memakai jaket tebal, benarkah dia masih kedinginan? Atau karena hal lain yang membuat tangan itu sampai gemetar pelan.

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang