03. PERLAWANAN

2.3K 221 26
                                    

Wulan menghela napas menatap tumpukan piring di dapur. Sementara yang menyuruhnya tadi bercokol di ruang tengah yang sempit. Bersantai menikmati waktu sebelum dia ke luar dan dijemput oleh laki-laki berbeda setiap minggunya. Wulan menyesal telah memilih untuk tinggal bersama Rana. Jika bukan karena tabungan milik Wulan digunakan Rana untuk membayar sewa kontrakan, Wulan tidak akan mau seatap dengan wanita perebut suami orang itu.

Dengan berat hati, Wulan mengangkat piring-piring tersebut menuju kamar mandi kecil di sebelah dapur. Tangan mungil itu mulai mencuci piring satu per satu. Semenjak ibunya meninggal, Wulan mulai melakukan pekerjaan rumah sendirian. Lebih tepatnya, semampu yang dia bisa. Dan dahulu, Mbok Nung, pernah meminta Wulan untuk tinggal bersamanya. Namun Wulan tidak mau dengan alasan takut merepotkan wanita tersebut.

PRANG!

"HAH?! ASTAGA, MAMPUS GUE!"

Karena tergesa-gesa dan tidak hati-hati mengingat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Sebuah piring kaca yang sialnya merupakan piring kesayangan Rana, terlepas dari tangan Wulan dan langsung berkeping-keping setelah menghantam lantai.

"Anak sialan! Kamu bisa kerja, nggak, sih?! Kamu pikir saya belinya pake uang mainan, hah, sialan!" maki Rana kejam. "Karena kamu udah pecahin piring kesayangan saya, mulai hari ini uang saku kamu nggak saya kasih!"

Lihat. Secepat kilat, induk iblis itu sudah berada di belakang Wulan sekarang dengan wajah histeris yang ingin sekali wulan cakar. Tapi Wulan dengan sadar menahan dirinya untuk tidak melakukan hal itu, sebab tak mau memiliki sikap yang sama seperti Rana. Wulan bangkit dari duduknya, membilas tangannya kemudian mencipratkan sisa air di tangannya ke wajah Rana. Dia jengah, tentu saja. Untuk pertama kalinya, Wulan memberanikan diri melawan Rana. Dia sudah cukup lelah menerima semua perlakuan kejam Rana.

"Gue juga nggak butuh uang lo, sialan!" desis Wulan dan menekankan kata 'sialan' seperti yang tadi Rana ucapkan.

Rana mendengus tidak percaya, anak yang selama ini lemah di hadapannya tiba-tiba berani membuat perlawanan terhadapnya. "Heh! Anak ingusan kayak kamu ini bisa apa emangnya? Nyari duit sendiri aja nggak bisa, pake berani ngelawan saya segala. Kamu itu cuma numpang di rumah saya!" bentak Rana.

"Sadar, gila! Dulu lo itu juga numpang di rumah bokap gue! Kalau bukan karena dipungut sama bokap gue di jalanan, lo nggak bakal ngerasain hidup enak! Dan karena lo juga, gue harus menderita!"

Wulan dengan sigap menunjuk keningnya yang membiru akibat perlakuan Rana. "Liat ini, jidat gue lo bikin benjol cuma gara-gara telat pulang. Kalau bukan karena tabungan gue, lo juga nggak bakalan bisa nyewa kontrakan ini. Semua harta peninggalan mama sama papa gue yang tersisa lo rampas, serakah!" tambah Wulan berapi-api, menatap wajah emosi Rana tak kalah sinisnya.

PLAK! PLAK! PLAK!

Sebanyak tiga kali tamparan berulang Rana hadiahkan untuk Wulan sebagai penghargaan karena telah berani menentangnya. Perlakuan kasar ini sudah biasa Wulan dapatkan sedari dulu. Tepatnya setelah Wira dipenjara, semua kekayaan Wira disita oleh polisi sebagai barang bukti, termasuk rumah besar mereka beserta isinya. Dan Wulan sudah tidak peduli dengan itu semua, karena dia benci ayahnya itu

Dengan wajah tenang, meski kemarahan sudah menembus ubun-ubunnya, Rana mencekal dagu Wulan. Ditengadahkannya kepala Wulan ke atas, terlihat cairan merah keluar dari hidung juga sudut bibir kirinya. Rana tersenyum senang, lalu mendorong tubuh Wulan dengan kasar.

"Lo pikir gue takut?"

Perkataan Wulan seolah menantang. Meski tubuhnya jatuh menimpa lantai kamar mandi dengan keadaan babak belur dan seragamnya basah, Wulan sudah tidak peduli dengan rasa sakit serta ketakutannya.

"Dulu mungkin gue nggak bisa ngelawan, karena gue pikir lo bisa berubah. Tapi makin lama gue diem, lo makin berulah. Lo sama manusia di luar sana makin ngelunjak dan bikin hidup gue tambah susah! Dan sekarang, gue capek. Seenggaknya, harga diri gue masih ada meskipun nanti gue mati dalam genggaman lo."

Keadaan semakin memanas saat Wulan terus membalas ucapan Rana dengan sangat tidak sopan. Wanita itu bahkan prihatin melihat luka di tubuh Wulan berkat ulahnya, namun menurutnya Wulan memang pantas mendapatkannya karena selalu membangkang padanya.

"Terus kamu pikir saya nggak akan berani untuk menghukum kamu lebih dari yang kamu rasain selama ini?"

"Cih! Lo induk iblis berdarah api neraka, mana pernah lo mengucapkan kata nggak berani."

"Anak sialan! Saya udah cukup sabar menghadapi kamu, Wulan!"

Rana mulai hilang kesadaran, tangannya terulur ke depan kemudian menarik rambut Wulan dan memukul kepala Wulan dengan sangat keras. Berkali-kali terdengar ringisan kecil, namun Wulan tetap bertahan dan sesekali membuat perlawanan. Sampai akhirnya Rana terlempar ke dinding, dan Wulan tak sengaja menginjak salah satu pecahan piring.

"Lo berhasil menghancurkan kehidupan gue sama keluarga gue. Tunggu aja kapan karma lo dateng. Saat itu tiba, gue pastiin kalau lo sangat menderita melebihi apa yang gue rasain sama keluarga gue!"

Wulan mendesis menahan sakit, terlebih lagi di bagian kaki yang sudah mengeluarkan banyak darah. Telapak kakinya sudah terbelah berkat pecahan piring tersebut. Namun Wulan tidak peduli lagi dengan apapun. Dia lemah bukan berarti tidak mempunyai keberanian untuk melawan. Selama ini Wulan hanya malas berdebat dengan Rana. Karena Rana satu-satunya orang yang berstatus sebagai walinya. Sementara pihak keluarga ayah dan juga ibunya? Lepas tangan setelah ibunya meninggal.

"Sial! Apa selama ini gue buta sampe nggak tau mana yang benar-benar tulus sayang sama gue dan mana yang cuma mau manfaatin gue?! Keluarga sendiri aja nggak mau nampung gue, apalagi orang lain? Yang ada mereka malu bergaul sama anak NAPI!" gerutu Wulan sambil menyeret kakinya keluar dari kamar mandi dan meninggalkan Rana dalam keadaan tidak percaya.

***

Rana cepat-cepat bangkit dan mengejar Wulan dengan terburu-buru. Hari ini Rana tidak akan membiarkan Wulan ke sekolah, karena dia ingin bersenang-senang dengan anak tunggal Wira. Namun langkah Rana terhenti saat seorang lelaki yang kiranya seumuran dengan Wulan menghadang langkahnya di teras rumah.

"Siapa kamu?"

Rana mengedarkan pandangannya ke segala sisi, rupanya Wulan sudah pergi jauh dan malah menyuruh anak laki-laki bau kencur itu untuk menghadapinya, itulah pemikiraan Rana awalnya tentang pemuda itu.

"Anggap aja gue pacarnya Wulan," jawab cowok yang memakai jaket kulit mahal dengan gaya amburadul itu. "Gue punya penawaran menarik buat lo."

Rana menyipitkan matanya menatap anak muda sombong di depannya itu, namun singkirkan dulu rasa ingin tahunya perihal cowok yang tidak dikenal ini. Biarkan Rana bernegosiasi dengannya dan menghancurkan Wulan perlahan-lahan.

"Kalau penawarannya emang menarik, saya akan pertimbangkan."

"Gue beli Wulan dengan harga mahal."

***

Dengan napas tersengal-sengal dan rasa sakit yang luar biasa ingin membunuhnya, Wulan berjalan di trotoar sambil menyeret langkah. Sesekali menyeka keringat karena terlalu lama berjalan. Dan orang-orang di sekitarnya dengan begitu mudah menyimpulkan bahwa Wulan adalah orang gila. Ah, benar. Dengan penampilan seperti ini, siapa yang akan mengira kalau Wulan manusia waras? Tentu saja tidak ada.

"Aduh, sakit banget, sih?! Kenapa gue nggak mati aja, aish, sialan Tante Rana!"

Tanpa memikirkan orang-orang yang sejak tadi menatapnya dengan cemas, Wulan duduk di tepi trotoar. Menghadap jalan raya yang akan mengingatkan dirinya akan peristiwa malam itu. Namun Wulan sudah memutuskan untuk melupakan kejadian tersebut. Dirinya tidak mau dibuat repot, anggap saja malam itu dia khilaf sudah berani mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan orang asing.

Wulan meringis menatap kakinya, darah terus mengalir dari telapak kakinya meski Wulan sudah mengikatnya dengan kain putih. Lukanya cukup lebar dan dalam. "Kayaknya hari ini gue nggak sekolah dulu," gumam Wulan sembari menatap kakinya dengan khawatir. "Kalau gue paksain, bisa-bisa di tengah jalan nyawa gue terbang. Alamat nggak napas gue."

"Untung lo masih hidup. Gue khawatir lo udah jadi bangke duluan sebelum ketemu sama gue."

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang