Hastra menatap alamat rumah dari nomor tidak dikenal yang mengatasnamakan ibunya—Crisya. Rumah tua dan lusuh itu seperti meninggalkan banyak cerita, juga secuil kejanggalan yang pada akhirnya disadari oleh Hastra. Membuatnya tersenyum miring, memikirkan siapa orangnya. Pelaku telah mempermainkannya hingga membuat Hastra terlihat seperti orang bodoh.
"Berandal sialan! Berengsek! Siapa yang berani ngerjain gue?!"
Makian itu mengalun di udara, seiring dengan hentaman keras pada pagar kayu yang sudah lapuk. Hastra menggeram marah, kesal tidak punya cara untuk membuat perlawanan sampai ia terjebak di tempat ini. Sebuah panggilan dari ponsel mengejutkannya. Beberapa detik lelaki itu terdiam menatap layar datar ponselnya, menatap nomor baru yang berbeda.
"Halo," jawab Hastra malas sembari mengatur pernapasannya.
Dari seberang telepon, suara seorang perempuan membuat Hastra bergetar ketakutan. Suara lembut penuh kekhawatiran itu milik Alya, gadis yang sudah Hastra hancurkan hanya karena sebuah alasan tidak masuk akal. Ia tidak mengira Alya akan menghubunginya saat situasi seperti ini.
"Pergi dari tempat itu sekarang kalau kamu masih mau melihat anak kamu lahir, Tra!"
Hastra masih diam, mendengar embusan napas frustrasi Alya lewat telepon. Gadis itu tidak ingin Hastra dihukum dengan cara ini, untuk itulah ia mengumpulkan keberanian dan menghubungi Hastra. Ia ingin menyelamatkan Hastra dan menghukum Hastra dengan caranya sendiri.
"Kak Varon yang ngelakuin ini semua, kamu nggak akan bisa menang dari dia. Kak Varon nggak pernah mengampuni siapapun, termasuk orang tuanya sendiri. Bahkan Kakek yang selama ini membesarkan dia, nggak bisa membuat Kak Varon tumbuh jadi manusia."
Mendengar hal itu, sudut bibir Hastra berkedut. Ia tak pernah membayangkan hal gila seperti ini. "Lo di mana?" tanyanya putus asa sekaligus merasa bersalah pada gadis itu.
Alya mendengus, kesal mendengarnya. "Apa pertanyaan itu penting sekarang?" balas Alya. "Aku nggak tau apa yang kamu pikirin sekarang, Tra. Tapi satu hal yang harus kamu tau, kalau kamu nggak segera kabur dari sana, kamu nggak akan cuma kehilangan nyawa kamu."
"Apa maksud lo?"
"Kamu juga akan kehilangan aku sama janin yang ada di perut aku!"
Tawa Hastra terdengar menjengkelkan. "Lo pikir gue peduli sama lo?" tanyanya kembali. "Lo boleh ngelakuin apapun sama janin yang tumbuh di rahim lo. Gue nggak peduli!"
Setelah mengatakan itu, Hastra mematikan teleponnya. Lagi-lagi umpatan kasar terlontar dari mulutnya, matanya mulai waspada terhadap sekitar. Tempat yang cukup strategis untuk melakukan pembantaian, Varon sangat ahli dan cerdik dalam hal bunuh-membunuh. Nyawa seseorang ibarat tisu baginya, yang kapan saja bisa ia lempar ke dalam tong sampah.
"Bisa-bisanya bajingan kayak lo ngejebak gue. Gue nggak nyangka lo tau banyak tentang gue, Var. Lo nipu gue selama ini!"
"Sialan!"
Kalut, itu yang Hastra rasakan. Ia tak pernah mengira bahwa kekesalannya pada malam itu membuat seorang gadis menderita. Kini ia kebingungan. Tetap berdiri di sini menunggu kematian, atau justru menyelamatkan diri untuk pertanggungjawaban? Hastra tidak tahu mana pilihan yang tepat, namun satu hal terlintas di benaknya. Detik ini, Hastra butuh keluarganya.
"HASTRA! BEDEBAH!"
"LO RUSAK ALYA, HAH?!"
***
Dokter baru saja pergi usai memeriksa kondisi Kiyara, meninggalkan Bens dan Heksa dalam kegelisahan di kursi tunggu. Keduanya duduk bersebelahan, menatap pintu ruangan yang membisu. Tatapan keduanya seakan ingin bicara bahwa mereka terluka melihat Kiyara terus terbaring. Keduanya tak ingin bersuara, sampai akhirnya sebuah pesan membuat Heksa berdiri tiba-tiba dengan pupil mata melebar. Kelihatannya terkejut usai membaca sebuah pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bens Wulan 2020
Teen FictionRated : 16+ Cerita ini mengandung kekerasan, umpatan kasar, tindakan tidak senonoh yang tidak patut ditiru, dan hal-hal negatif lainnya yang dapat merusak pembaca . Harap bijak memilih bacaan! *** Sebelum berucap, Bens melirik Wulan yang masih belum...