44. PUNCAK KEKHAWATIRAN

171 40 13
                                    

Suara embusan napas frustrasi Hastra terdengar jelas di telinga Hera. Hera terus memandanginya dengan genggaman yang sejak tadi tak pernah lepas dari tangannya, Hastra terus mendampingi Hera bagaimana pun kondisinya. Mencoba membaca pikiran kakak keduanya itu, Hera tak mampu, hingga akhirnya ia memilih menyerah dan membiarkan Hastra larut dalam pikirannya.

Melihat luka di tubuhnya, Hera tahu bahwa Hastra sedang banyak masalah. Namun ia tak memiliki keberanian untuk bertanya, bahkan khawatir pun tidak diperbolehkan. Hastra pasti selalu bilang untuk cepat sembuh, dan kalimat itu berhasil menenangkan Hera beberapa saat.

Gue gagal jagain lo, Her. Gue juga nggak berhasil dapatkan pendonor buat lo, gue cuma bisa nambah masalah. Hati kecil Hastra berujar pedih, adiknya pun tak mampu ia selamatkan. Dirinya tak setangguh Hasta, juga tak sehebat perjuangan Heksa. Hastra merasa dirinya hanyalah sebuah benalu.

Hera masih menatap Hastra yang tenggelam dalam lamunan panjangnya, namun kesadarannya kembali ditarik ketika Hera bersuara.

"Tadi lo bilang apa, Her?" tanya Hastra setelah mengusap wajahnya. Dia menatap wajah pucat Hera penasaran. Ia melewatkan beberapa kalimat adik kesayangannya itu.

"Tiga hari yang lalu, Hera liat mama. Dia cuma berdiri di pintu sambil senyum, netesin air mata terus ngeliatin Hera. Meskipun mama dandanannya aneh pakai kerudung sama kacamata hitam, Hera tetap bisa ngenalin. Itu mama, Hera khawatir sama mama, Kak."

"Mungkin lo salah liat, Her. Kalau itu beneran mama, dia bakalan langsung meluk lo. Bukan cuma ngeliatin doang di pintu masuk," tanggap Hastra, tidak terlalu mempercayai pernyataan Hera. Mungkin saja itu hanya halusinasi Hera atas kerinduannya pada sang ibu.

Hera menggeleng. "Nggak mungkin salah lihat, itu mama, pasti mama. Mentang-mentang Hera lagi sakit, Kak Hastra ngiranya halu, kan?!" ujarnya bersikeras, sebab keyakinannya tak diberikan kesempatan kepercayaan penuh.

"Nggak gitu, Her, maksud gue. Kalau kita terlalu merindukan orang lain, itu nggak baik buat kondisi kesehatan kita. Gue nggak mau lo mikir aneh-aneh sebelum sembuh. Soal mama, dia pasti bisa jaga diri baik-baik, lo nggak perlu khawatir," pungkas Hastra. Antara marah, sedih dan juga kesal, ia tak tahu bagaimana harus menyikapi masalah ini.

"Hera ngerasa mama lagi nggak baik-baik aja, dia kayak buronan sekarang. Dia dikejar-kejar sama masalah yang dia ciptakan sendiri," ungkap Hera sambil memalingkan wajahnya, yang seketika membuat Hastra terdiam. Kehilangan kata-kata untuk meyakinkan adiknya bahwa ibu mereka baik-baik saja bersama pilihannya.

"Semakin lama hidup, kita semakin merasakan rasa sakit yang mendalam. Merasakan pahit manisnya kehidupan, sampai-sampai ngerasa, hidup pun nggak akan ada gunanya," ungkap Hera, yang seketika membuat Hastra mendelik.

"Lo ngomong apa, sih? Kayak orang putus asa aja!" dumel Hastra. "Lo kuat bisa bertahan sampai detik ini, Her. Walau kenyataannya lo kekurangan peran orang tua di sisi lo, yang ketika lo ngerasain semuanya, mereka nggak ada untuk mengurangi rasa sakit lo. Bahkan untuk nanyain lo baik-baik aja pun enggak. Lo perempuan yang kuat, Hera, lo harus tetap ada sama gue."

Hera mengusap air matanya kasar, hatinya benar-benar nyeri merasakan rasa sakit yang tiada habisnya. "Percuma Hera sembuh, kenyataan bikin Hera lebih sakit dari penyakit yang Hera rasain, Kak Hastra. Tekanan yang sejak kecil Hera terima, perlahan-lahan membunuh Hera. Padahal Hera nggak mengharapkan banyak hal, tapi Tuhan? Dia punya rencana lain untuk bikin Hera bahagia."

Tatapan Hera pada Hastra memerah, di balik matanya ada pancaran kekecewaan yang luar biasa terhadap keluarganya.

"Her, lo jangan bikin roh gue sampe kerongkongan, ya. Lo jangan bikin gue mikir aneh-aneh!"

Bens Wulan 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang