Sederhana.
Kata itulah yang berhasil lolos dari bibir mungil Wulan, ketika dirinya diajak masuk ke rumah yang selama bertahun-tahun disewa oleh Kiyara. Rumah bercat putih yang ukurannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Benar-benar sederhana dan hanya memiliki dua kamar. Yang mana letaknya bersebelahan dan di depan pintunya terdapat ruang tamu yang cukup luas. Kiyara melenggang ke ruangan itu, hendak mengobrol dengan Wulan sejenak.
"Duduk, Lan. Kamu pasti capek seharian ini kerja di toko, lumayan pelanggannya."
"Iya, Bunda. Wulan seneng hari ini tokonya rame."
Sembari menaruh tasnya di atas meja, Kiyara mempersilahkan Wulan untuk duduk di sebelahnya. Sebelum duduk, Wulan menaruh kopernya di samping sofa, pandangannya mulai berkeliaran. Wulan penasaran dengan anak lelaki Kiyara, namun sedari tadi tak ada satupun foto yang berhasil dideteksi oleh matanya.
Apa mereka nggak pernah foto bareng? Atau Bunda Kiyara sengaja nggak majang foto anaknya? Kenapa? Aneh banget, batin Wulan bertanya-tanya.
Di detik berikutnya, Kiyara terdiam sebentar dengan menatap lama gadis di sampingnya. Sesuatu yang buruk berkeliaran di kepala Kiyara, jujur ia semakin khawatir dengan gadis itu. "Wulan. Apa nggak sebaiknya kamu mengundurkan diri aja dari kedai ayam itu?" tanyanya serius.
Wanita berkerudung merah muda itu terus menatap Wulan, menanti jawaban gadis yang tak pernah mengeluh selama bekerja di tokonya. Kejadian semalam membuat Kiyara merasa semakin tidak tenang, takut jikalau Bastar kembali berbuat buruk terhadapnya.
Keduanya kini saling bertatapan, sama-sama menguatkan dalam duka. "Sebenernya Wulan takut, sampai buat napas aja terkadang susah, Bunda. Cuma kalau untuk berhenti, Wulan nggak bisa jadiin itu sebagai jalan keluar," ungkapnya sedih bercampur gelisah. Di dalam dadanya kini, pasti ada ketakutan yang amat besar setelah semalam, Hastra dengan berani memotong rambutnya.
Kiyara terus menatap Wulan. "Kenapa?" tanyanya penasaran. "Kenapa kamu masih bertahan di sana saat nyawa kamu berada dalam bahaya? Semalam mungkin kamu cuma kehilangan rambut kamu, tapi lain kali, apa mereka bakal ngelepasin kamu gitu aja?"
Bener juga. Mereka nggak akan mungkin ngelepasin gue gitu aja. Mereka Bastar, ujar Wulan dalam hati, seraya menunduk dan tersenyum miris. Gue ngerasa beruntung bisa kenal sama Bens. Dia selalu dikelilingi orang-orang baik. Bahkan dia sama temen-temennya berdiri di garis paling depan buat nyelamatin nyawa gue.
"Kalau gitu, Wulan pikir-pikir dulu, Bunda. Kalau berhenti sekarang, mungkin Wulan bakal nyusahin banyak orang," katanya lembut, lalu tersenyum tipis. Menyembunyikan garis-garis kegelisahan yang terus tergambar di wajahnya.
Seolah tak percaya, namun kehilangan cara untuk meyakinkan gadis belia di depannya, Kiyara tersenyum lemah. Tangannya kini bergerak, mengelus lembut pipi kiri Wulan. "Meskipun kamu bukan anak yang lahir dari rahim Bunda, tetap aja hati Bunda ngerasa nggak tenang tiap kali kamu ke luar rumah, Wulan," ungkapnya jujur dengan mata berkaca-kaca. "Entah kenapa perasaan Bunda nggak enak, takut kamu kenapa-napa. Terlebih lagi kamu juga sendirian. Mereka bisa dengan mudah menemukan kamu, dan hal buruk pun bisa terjadi lagi."
Untuk meyakinkan wanita berhijab itu, Wulan tersenyum lalu mendekatkan wajahnya. Gadis itu berbisik dengan kedua mata yang bergerak lincah, "Wulan nggak bener-bener sendiri. Karena Wulan punya Bunda, BFG, dan seorang makhluk sosial berhati malaikat."
Gadis itu mengucapkannya dengan hati riang dan berakhir dengan kekehan kecil. Melihat hal itu, kekhawatiran Kiyara pun berkurang.
"BFG? Apa itu?"
Wulan memundurkan wajahnya, lalu memperbaiki duduknya di sebelah Kiyara. "Itu nama geng Wulan sama sahabat Wulan, Bunda. Best Friendship Goals. Karena kepanjangan, jadi kita singkat jadi BFG," paparnya penuh keceriaan. Dia terlihat bersemangat memperkenalkan sahabat-sahabatnya pada Kiyara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bens Wulan 2020
Fiksi RemajaRated : 16+ Cerita ini mengandung kekerasan, umpatan kasar, tindakan tidak senonoh yang tidak patut ditiru, dan hal-hal negatif lainnya yang dapat merusak pembaca . Harap bijak memilih bacaan! *** Sebelum berucap, Bens melirik Wulan yang masih belum...