── 23

282 43 7
                                    

Hari ini, jam pertama dibuka sama pelajaran Matematika wajib. Aduh, tolong dong siapa pun, bilang kalau yang wajib itu solat dan ibadah bukan matematika. Pagi-pagi sudah dibuat pusing tidak karuan itu tidak baik ya!

Padahal gurunya betulan belum memijakkan kaki sama sekali ke dalam kelas setelah ijin mau pergi ke toilet, padahal sudah bel jam ketiga, tapi Aruna sudah malas duluan. Pasalnya, materi hari ini itu kemonotonan fungsi. Pusing, Aruna tidak paham. Mau dibuat jungkir balik bagaimana pun juga Aruna tidak paham.

Matematika wajib ini tidak memberi toleransi pada otak kecil nan imut Aruna atau bagaimana sih?

Mana pula Aruna duduknya mepet di tembok dekat jendela, persis menghadap lapangan depan sekolah. Hari ini jadwalnya kelas Reksa dan kelas sebelah yang olahraga. Aruna makin tidak bisa fokus!

Konon katanya, materi hari ini itu bertanding basket. Serius, betulan bertanding. Bagi kelas yang menang, nanti akan diberi voucher diskon 50% di koperasi sekolah untuk setiap anak kelas. Jelas semua kelas saling berambisi untuk menang lah! jajanan koperasi itu mahal loh, jadi kalau dikasih diskon setengah harga juga sudah bersyukur sekali.

Kembali lagi dengan matematika wajib, Aruna hampir saja teriak kalau bukan karena dia masih waras untuk nggak berteriak di jam pelajar. Soalnya kaget, kawan. Manusia yang duduk di sampingnya tiba-tiba menyenggol sikut Aruna dan waktu Aruna nengok, wajah si teman sebangku sudah ada di depan wajahnya persis. Memang kurang ajar.

"Sialan, lo! gue udah jadi kaya karakter utama the Conjuring 2."

"Maksud lo, lo kaya lagi dikagetin sama valak?!"

"Gue nggak bilang kaya gitu, kok. Itu lo yang bilang sendiri." Jawab Aruna yang sedikit bikin kesal tapi kalau dipikir betul juga sih. Memang Arunanya tidak berbicara demikian, tapi kalau dipikirkan lagi, omongannya menjurus ke arah sana.

"Ya udah sih, maaf. Btw, gurunya udah masuk daritadi. Nggak usah ngeliatin ke lapangan gitu. Ngeliatin siapa si lo sampe ngiler kaya gitu? bebeb Reksa ya?" ledek Gheana. Alisnya bergerak naik turun berkali-kali dan itu serius menyebalkan sekali.

Gheana beruntung Aruna tidak bisa mengeluarkan laser dari matanya. Karena kalau Aruna punya kelebihan yang itu, bisa-bisa Gheana sudah menjadi daging panggang sebab ditatap tajam oleh mata yang mampu memancarkan laser panas.

"Diem lo, valak. Gue nggak mau disuruh lari lagi kaya waktu itu gara-gara ngeladenin lo, ya! malu. Kelas Reksa hari ini olahraga soalnya."

"Hafal banget sih, bu."

"Iya lah, orang waktu berangkat aja dia udah pake seragam olahraga duluan. Kalau nggak mah, mana gue tau." Bela Aruna.

"Iya deh, yang kena tetanggazone. Jadian kagak, boncengan mulu iya kaya ojek."

Serius, Aruna mau marah betulan. Tapi tidak bisa, memang nyatanya begitu. Tapi... kesal!

Daripada debat berkepanjangan, Aruna lebih memilih untuk (berpura-pura) memperhatikan materi yang sama sekali tidak masuk ke otak ini. Jujur Aruna tidak paham, entah dirinya yang memang tidak mau menerima materi baru atau memang penjelasan dari sang guru yang kurang bisa diresap otak, Aruna tidak tahu.

Tapi kalau melihat anak-anak lain memperhatikan dengan seksama dan mencatat ulang materi di papan tulis—termasuk Gheana, maka Aruna sadar kalau memang dirinya yang tidak mau kooperatif dengan matematika wajib. Pusing.

Kembali lagi dengan kegiatan, "pura-pura" yang sedang ditekuni. Aruna tiba-tiba mendengar suara bentakan dari arah lapangan yang mana kalau Aruna nengok ke arah kiri saja sudah terpampang jelas di depan mata.

Aruna kayaknya kenal sama suaranya.

"Na, itu si Adnan ngapain melambaikan tangan ke si—eh, dia manggil lo, Na!" kata Gheana berbisik tapi cukup untuk didengar oleh manusia dengan jarak dua meja.

REKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang