── O4

496 90 5
                                    

Masih di hari yang sama dengan jam yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih di hari yang sama dengan jam yang berbeda. Kini Aruna sedang berada di jam istirahat kedua. Untungnya, minggu ini jadwal pelajaran seluruh kelas itu tidak terlalu banyak jadi setelah istirahat, mereka hanya akan masuk 2 jam untuk belajar kembali lalu pulang.

Aruna terduduk di kursi depan kelas dengan mulut yang sibuk mengunyah kue donat. Kali ini Aruna beli sendiri kok tidak dibelikan Reksa, soalnya di jam segini, pasti laki-laki itu sedang sibuk berada di kantin belakang sekolah yang biasanya diisi oleh mayoritas kaum laki-laki. Ya sudah pasti bersamaan dengan dua manusia ajaib lainnya.

Kalau kalian bertanya, Aruna kenal atau tidak dengan teman-teman Reksa? Tentu saja jawabannya kenal. Sering kok Aruna bahkan diajak untuk mengelilingi ibu kota bersama mereka atau sekedar main ke puncak lalu pulang kalau hari sudah mulai larut malam. Urusan merayu Aruna agar bisa pulang agak malam dari biasanya itu mereka yang urus. Pandai sekali merayu, betulan.

Ngomong-ngomong soal teman-teman Reksa, Aruna jadi bingung sendiri bisa-bisanya mereka tak terlihat daritadi. Sebab biasanya, apabila jam istirahat sudah memasuki waktu 25 menit, maka mereka akan terlihat berjalan melalui koridor lalu meneriakkan nama Aruna setelahnya ditinggal lari ketika Aruna sudah hampir mengomel sebab namanya diteriakkan sampai satu gedung dapat mendengar suara mereka. Dipikir sekolah ini hutan apa?!

Aruna terus mengunyah kue donatnya sendirian di depan kelas sebab teman-temannya yang lain baru saja ke kantin –lagi. Pandangannya diarahkan ke sana ke sini melihat teman seangkatannya atau adik kelas yang melewati koridor Agit. Rambut sebahunya dibiarkan terkibas terkena angin yang datang bersama hawa panas terik siang hari.

“Damar! Ngapain kamu berhenti-berhenti terus kaya orang kebelet pipis?!”

Suara dari guru kesiswaan mengalihkan atensi seluruh murid yang sibuk berlalu lalang disana. Semuanya seolah diperintahkan untuk melihat ke arah lapangan dimana ada guru kesiswaan yang sedang menarik telinga Damar kuat-kuat sampai sang empu meringis tak henti-henti.

“Aduh si bapak, telinga saya bisa copot ini!!”

“Ya biar saja. Toh kamu punya telinga juga ndak pernah di pakai!” Serius, Aruna mau tanya. Kalau misalnya sekarang juga Aruna tertawa terbahak-bahak sebab melihat Damar dijewer begitu, Aruna dapat dosa tidak? Tapi kalau ditahan tuh tidak enak!

“Dipake pak, cuma suka loading aja jadi ga langsung mengikuti perint – WADAW!” Telinga Damar makin kuat ditarik. Tenang, tidak ada kekerasan yang sampai bisa memutuskan telinga begitu kok, Damar hiperbola saja.

“Nggak usah banyak omong, cepet ayo jalan ke ruang BK. Emangnya kamu nggak malu diliatin rame-rame begitu?!”

“Lah si bapak, saya mah udah biasa diliatin ramean gini, pak. Secara kan saya ganteng – IYA ADUH BAPAK INI SAYA LAGI JALAN INI!”

Tawa Aruna pecah kala Damar akhirnya berjalan mengikuti sang guru sebab telinganya kini sedang diambang kematian. Bisa Aruna tebak kalau jeweran di telinga Damar dilepas nanti, pasti akan membekas merah sekali sampai satu jam kemudian.

REKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang