•1•

26 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Perjalanan yang seharusnya berpindah ekspedisi dan tujuan justru diselimuti masalah baru. Seorang gadis yang baru saja selesai dari petualangannya mengurung diri di kabin. Berbeda dengan dua saudari sebelumnya yang pulang bertugas menampilkan senyum lebar.

Zealire belum menceritakan semua yang terjadi kepada ketiga saudarinya. Suara berisik Trapesium di depan pintu tidak dipedulikan. Zealire memilih memeluk dirinya sendiri di sebelah kasur.


Sementara itu, Freqiele dan Trapesium tengah memikirkan seribu satu cara untuk membujuk Zealire. Mereka sangat membutuhkan Jocelyn, tetapi Jocelyn tengah melepas rindu dengan adiknya. Freqiele pikir, sangat tidak etis mengganggu momen adik-kakak itu. Berakhirlah dia dan Trapesium di depan pintu kabin sambil membawa samangkuk bubur.

"Apakah adiknya Joce melakukan sesuatu kepada Zealire? Lihat, Zealire sampai tidak mau menemui kita." Trapesium bertanya cemas kepada Freqiele. Dia tidak berhenti mondar-mandir.

Dengan dahi berkerut, Freqiele menggeleng. "Tidak mungkin. Kulihat dia baik, mau menggendong Zea."

"Kalau bukan adiknya Joce, siapa lagi? Yang kita lihat hanya mereka berdua tadi." Dengan ngototnya, Trapesium masih berpikir kalau Doxi yang sudah membuat Trapesium sedih. Dia begitu khawatir, persetan dengan dirinya yang bodoh.

"Benar katamu, yang kita lihat hanya mereka berdua. Namun, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku berani bersumpah adiknya Joce baik," timpal Freqiele, "lupakan siapa yang membuat Zea sedih. Sekarang, pikirkan cara bagaimana bubur ini sampai ke dalam sebelum dingin."

Trapesium mengangguk. Dia kembali mengetuk pintu kabin, juga meneriakkan nama Zealire. Harapan akan dibukakan pintu nyaris pupus. Sudah hampir lima belas menit mereka berdiri di sana, tetapi tidak ada tanda-tanda Zealire bergerak. Untung sekali, Jocelyn dan adiknya datang.

Karena sedikit bingung dengan apa yang terjadi, Jocelyn bertanya kepada Freqiele. Dengan segera dia menceritakan, bahwa Zealire tidak mau membukakan pintu. Jocelyn ikut khawatir, dia menatap Doxi penuh tanya.

Seakan tahu maksud sang kakak, Doxi berdeham. Mengedarkan pandangan, melihat tiga perempuan di depannya. Alisnya terangkat melihat salah satu di antara mereka memberinya tatapan intimidasi. Siapa lagi kalau bukan Trapesium?

"Maaf, aku tidak bisa menceritakan semua. Bukan hakku. Mungkin kalian bisa tanyakan langsung kepada Zea." Doxi menggaruk kepala bagian belakang setelah berucap.

Dengan nada tinggi, Trapesium berkata, "Kamu ternyata lebih bodoh dariku. Bagaimana kami bertanya kalau Zea tidak mau membuka pintu? Oh, apakah kamu telah melakukan sesuatu kepada saudariku?"

Jocelyn sudah menduga Trapesium akan bereaksi seperti ini. Dia yang jengah, akhirnya menyela, "Adikku bukan orang jahat, Esi. Dia tidak akan membuat orang sedih, apalagi kepada perempuan secantik Zea." Kalimatnya ditutup dengan tatapan jahil ke arah Doxi.

Doxi mendengkus, sedangkan Jocelyn terkekeh. "Benar, aku tidak melakukan apa pun kepada Zea. Belum percaya? Biar kubuktikan sekarang." Dia melirik mangkuk di tangan Freqiele. "Kak, biar aku yang memberikan bubur itu kepada Zea."

Buru-buru Freqiele menyerahkan benda di tangannya. Setelah itu, mereka bertiga menyaksikan Doxi yang mengetuk pintu, memanggil nama Zealire, sampai sahutan dari Zealire terdengar. Ketiganya melongo tidak percaya. Trapesium yang suaranya hampir habis, tersenyum miris ketika Doxi mendapat jawaban dari Zealire. Sedangkan, Doxi memicing ke arah Trapesium.

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang