•3•

8 1 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Suasana kapal kian ramai. Warga yang ikut Cello, sekarang sudah berada di kapal Xylo. Seperti biasa, mereka tampak senang. Semua warga Sectermite sudah berkumpul. Tidak ada yang terluka atau hilang satu pun.

Senyum bangga terpancar di wajah Woody. Impiannya sejak lama, sekarang terealisasikan. Dia masih belum sepenuhnya percaya, tetapi begitulah kenyataan berkata.

Salah satu tujuan ke sini adalah menemui gadisnya. Dia mengedarkan pandangan, siapa tahu di satu sisi ada Trapesium. Namun, perhatiannya teralihkan ketika melihat seorang anak lelaki menatap dia dengan sorot berbinar. Dia Endi, di sampingnya berdiri Emiley.

"Sudah lama tak jumpa!" seru Endi, "saatnya berpesta, Kak!" Dia masih berada di kejauhan.

Dengan raut bahagia juga, Woody menghampiri dua teman kecilnya. Bagaimanapun, mereka yang sudah membantu membawa pergi warga Sectermite jauh dari jangkauan rayap sialan. Woody menggendong Endi di pundak. Mereka tertawa bersama.

"Kak, turunkan Endi. Apa kamu tidak ingin berpesta denganku juga?" tanya Emiley, merasa cemburu hanya Endi yang disapa awal.

Woody terkekeh. "Tentu saja tidak. Kita akan memanggang ikan bersama untuk merayakan kemenangan. Bagaimana, Emiley?"

Cepat-cepat Emiley mengangguk. Semenjak bebas, mereka belum merayakan kemenangan besar ini. Jadi, wajib hukumnya untuk berpesta bersama.

"Sebelum itu, apa kamu mau memberitahuku di mana Trapesium? Aku belum melihatnya." Pertanyaan itu diberikan Woody kepada dua anak di depannya.

Endi dan Emiley saling tatap. Mereka seperti mengatakan sesuatu dari tatapan masing-masing. Emiley berdeham, kemudian berkata, "Kemarin Kak Trapesium bilang kepadaku, katanya hari ini ada kencan bersama seseorang. Mungkin sekarang dia sedang melakukan itu." Dapat Emiley tangkap raut tak suka dan tak percaya dari wajah Woody.

"Hei, Emiley. Hati-hati dengan ucapanmu!" peringat Woody.

"Hm, aku sudah hati-hati. Apakah nada bicaraku tadi terdengar cepat?" Emiley dan Endi tertawa di detik selanjutnya. "Haha, bercanda, Kak. Aku tahu Kakak merindukan Kak Esi. Maaf dengan sungguh. Hari ini aku belum melihatnya."

Decakan terdengar dari Woody. Anak-anak ini hanya membuang waktu saja. Tidak tahukah mereka kalau Woody sangat ingin memeluk Trapesium sekarang? Menyebalkan. Woody akan berjalan meninggalkan mereka, tetapi dia masih ragu dengan satu hal.

Dia bertanya, "Bagaimana tentang kencan tadi?"

Tawa Emiley kembali menyembur. "Mana mungkin Kak Esi melakukan itu. Asal Kakak tahu, dia hampir mati menahan rindu."

Bocah Sialan!

***

Di lain tempat, hati Freqiele terenyuh mendengar cerita tragis tersebut. Dia memeluk Zealire yang sudah banjir air mata. Suasana menjadi canggung, mereka bingung hendak berbuat apa.

Semula Doxi ingin menenangkan Zealire. Namun, Freqiele sudah mendahului. Jocelyn bingung ingin menanggapi apa. Di satu sisi Zealire salah, karena terlalu mudah percaya dengan orang baru. Akan tetapi, Zealire tidak sepenuhnya bersalah. Sifat polos nan lembut, Jocelyn tidak tega kalau harus bilang Zealire bertanggung jawab. Mungkin kalau sudah menemukan kata yang pas, dia akan menasihati. Ah, Jocelyn tidak yakin bisa bertutur halus.

Sementara, Trapesium malah ikut menangis di tempatnya. Zealire sangat baik, kenapa dia bertemu orang sejahat Shaq? Lihat, memikirkan itu Trapesium sampai membasahi gaun bagian lengan Jocelyn.

Freqiele tak tahan mendengar tangisan Zealire. Dia berkata, "Tak apa, Zea. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi waktu juga tidak bisa diputar balik. Jalani apa yang ada sekarang. Untuk kejadian itu, simpan sebagai pengalaman. Terima kasih sudah berusaha mencari peta itu." Dia memeluk Zealire sekali lagi.

Beruntung Freqiele berkata seperti itu. Tutur kata yang disusun apik, membuat kalimat yang terucap tidak terkesan menggurui. Dengan ini, Jocelyn tidak perlu susah payah memilih kalimat yang pas. Biasanya, dia memberi teguran secara langsung. Tak peduli dengan nada tinggi, yang penting orang itu sadar. Nah, untuk menasihati Zealire ... Jocelyn rasa bukan bakatnya.

"Yang sudah terjadi, biarkan saja, Zea. Nasibmu baik juga, karena lelaki bejat itu sudah pergi. Sekarang, pikirkan bagaimana caranya supaya keadaanmu pulih." Jocelyn menatap Zealire. Penampilan yang sangat kacau. "Bersegeralah mandi, kemudian istirahat. Malam nanti adikku akan mengajakmu berkencan."

"Aku dari tadi dianggap patung, ya?" Pertanyaan polos Cello membuat semua orang di kabin Zealire tertawa.

Zealire bangkit, kemudian semua keluar dari kabin. Sampai di luar, Jocelyn menatap adiknya yang terus-menerus menatap dia juga.

"Kak, kenapa harus aku? Tubuhku sangat lelah, apa yang harus kulakukan nanti?" Doxi meminta penjelasan kepada Jocelyn.

Ikut berpikir, setelahnya Jocelyn menjawab, "Lakukan apa saja yang bisa membuat Zealire senang. Ingat satu hal, selalu jaga dia. Kakak percaya kamu bisa."

***

Di luar jendela kabin, langit sudah menggelap. Meski tertutupi awan hitam, ada titik demi titik cahaya di langit menghiasi. Zealire terbangun, menatap kosong, bingung, dan sedih. Penyesalan selalu berada di akhir dan sekarang Zealire benar-benar menyesal.

Tok, tok! Ketukan itu membuat Zealire menoleh menemukan suara tak asing yang menyapanya di balik pintu. Dia malu, tetapi tetap membukanya. Lagi pula bagaimana mungkin bisa menolak lelaki sebaik dia?"

"Kuharap kamu tidak terus-terusan menangis. Dasar cengeng!" ejeknya sambil memalingkan muka.

Mendengar kata-kata Doxi, Zealire tidak merasa kesal. Justru bibirnya malah tersenyum lebar. Satu-satunya yang tidak berubah tentu mulut pedas kakak beradik itu.

Mata sembap nan bengkak gadis tersebut sebenarnya membuat Doxi tidak tega. Apalah daya mulutnya tidak bisa dikontrol sesuka hati? "Kamu mau terus diam di ruangan sempit itu sampai kapan, hah? Ikuti aku," sahutnya berjalan lebih dahulu.

Zealire kaget, Doxi mengajaknya keluar atau ini yang dinamakan kencan? Tidak dia sangka kalau perkataan Jocelyn itu benar. Kiranya hanya hiburan semata. Angin malam terasa menusuk kulit, tanpa sadar Zealire sudah memeluk dirinya sendiri. Mencoba mencari kehangatan. Doxi menoleh, menemukan gadis itu kedinginan hanya bisa melempar jubah yang dipakainya.

"Pakai, aku tidak ingin kamu mati kedinginan," katanya menyiratkan kepedulian yang sangat berbeda dari omongannya. Zealire terkekeh sesaat, membalutnya dengan jubah lelaki itu. Mereka kini ada di bagian depan kapal, menatap ombak yang kembali beradu dengan badan kapal.

"Ombak tetap ombak, dia akan datang menghantam pantai lalu kembali pada lautan. Ibarat masalah, ombak datang pada kita, lalu akan pergi kembali kepada lautan saat kita menyelesaikan masalah. Sebagai gantinya akan datang masalah baru, begitu terus."

Gadis itu menoleh tidak percaya. Tadi mungkin ucapan terpanjang dan paling bermakna dari Doxi yang pernah dia dengar, sementara lelaki tersebut memandang lurus pada laut luas. Zealire mengerti, kata-kata Doxi benar. Bukan hanya sekadar penghiburan, mungkin masalah yang mendatanginya kali ini membuat dia sangat terburuk dan merasa bodoh. Namun, masalah itu telah selesai. Mungkin akan datang masalah baru, tetapi dia harus tetap bisa menghadapinya.

"Terima kasih telah mengingatkanku, Doxi," ujar Zealire disertai senyum hangat membuat pemuda di sebelahnya salah tingkah sendiri.

"A-aku tidak melakukan apa pun, Bodoh!" sangkalnya kembali memalingkan muka.

Begitulah hari berlalu. Dengan deburan ombak yang kembali menyapa badan kapan, lagi dan lagi. Suara desiran air di bawah kakinya berpijak, Zealire pikir sekarang dia bersyukur masih diberi kesempatan hidup untuk bisa kembali dari Bleedpool dan bertemu ketiga saudarinya.

***

Terima kasih, sampai jumpa.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang