•15•

4 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Ombak cukup tenang, cuaca cerah, sangat mendukung perjalanan mereka ke Kerajaan Quartararo hari itu. Sekitar satu jam empat puluh lima menit perjalanan yang akan ditempuh.

Freqiele, Trapesium, Zealire, juga ... Jocelyn berdiri di sebelah kiri geladak saling terdiam. Menikmati silir angin yang membuat rambut beterbangan. Perihal Jocelyn, wanita itu telah sukses dibujuk oleh ketiga saudari juga adiknya. Meski belum kembali seperti semula, mereka bersyukur keadaan Jocelyn membaik.

Sedangkan Cello, Woody, dan Doxi mereka berada di kanan geladak. Cello menatap lurus ke depan, sudut bibir kanan dan kirinya tiba-tiba terangkat. "Tak terbayang jika Empcount sudah diresmikan dan aku bersama Freq hidup berkeluarga di sana."

"Tentu aku dan Trapesium yang paling akan paling bahagia serta harmonis." Woody menimpali, tersenyum remeh.

Cello beralih menatap Woody sinis. "Harmonis dari mananya? Yang ada kamu terus diguyur pertanyaan dan ocehan tidak jelas setiap hari."

"Bukankah, itu tandanya perhatian? Seorang istri yang banyak bicara itu tandanya sangat sayang keluarga."

Doxi mendekat sembari membawa sebuah alat pancing. Entah apa yang dilakukannya dengan itu, tunggu, apakah dia akan memancing? Kapal ini berjalan, bodoh. "Hei, kalian sangat berisik. Tentu aku yang akan paling bahagia bersama Zealire, aku akan memintanya melahirkan dua puluh anak. Hahahaha."

Seketika, Woody dan Cello mencibir---menirukan kata-kata Doxi---dengan memonyongkan bibir. Huh, sirik saja.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan pancingan itu?" Cello akhirnya bertanya.

Doxi mendelik ke arah suara itu, lalu berkata dengan datarnya, "Memangnya guna alat pancing untuk apa?" tanya pria itu.

Mengembuskan napas kasar, Cello melipat kedua tangan di dada. "Ya, tahu, untuk memancing. Akan tetapi, kapal ini bergerak juga geladak ini tinggi, mana bisa. Yang ada umpanmu menyangkut di--"

"Di hatinya Zea." Doxi terkikik-kikik setelah mengatakan itu. "Hahaha, aku menemukan ini di atas karung beras tadi. Entah punya siapa, sangat unik."

Hah, bicara dengan Doxi memang membuang-buang waktu. Kedua orang lain memilih mengabaikan Doxi yang tengah asyik dengan alat pancing bergagang perak itu. Agaknya pria itu memang suka memancing.

***

Di tempat lain, Xylo fokus dengan kemudinya. Mempersilakan dua warga Sectermite yang menggantikannya beberapa hari itu istirahat. Di depan sana, tampak benteng besar, tanda mereka akan segera sampai. Dia menyeringai, sangat senang. Pastinya, sebelum berangkat dia sudah membuat janji, lalu disetujui.

Beberapa menit kemudian, kapal pun sampai dan berhenti di tepi laut. Xylo keluar menghampiri ketujuh orang tadi di geladak.

"Tuan Xylo datang." Zealire mengubah posisi yang semula berdiri menjadi duduk. Atensi mereka tertuju pada Xylo yang siap memberi arahan.

"Kita sudah sampai dan akan segera turun. Tolong, jaga sikap serta ucapan," kata Xylo, "sebentar, di mana Esi?"

Kelima orang itu---kecuali Zealire---melotot, lantas melihat ke samping, atas, bahkan bawah dengan gelagapan. Tak mendapati Trapesium. Di mana gadis itu?

"Esi di dalam kabin," ujar Jocelyn datar, "sedang istirahat." Benar-benar tak ada yang tahu kapan gadis itu pergi. Perasaan, tadi masih di sana, sibuk mengoceh walau tak terbalas.

"Satu orang, susul Esi." Xylo tegas, tak mau basa-basi. Sungguh mengulur waktu.

Woody maju dengan percaya diri, ah, sudah tertebak siapa yang akan menjemput sang dewi, pasti pria berompi cokelat itu. Membuka pintu kabin, mengedarkan pandang. Gadis itu, tengah tertidur dengan lelap di atas kasur berbalut seprai putih, dengan posisi tengkurap. Benar-benar lucu.

Perlahan, Woody memanggil namanya, kemudian saat Dewi Rawi-nya membuka mata, dia menyerahkan tangan, mempersilakan Trapesium menarik tangannya untuk bangun.

"Jadi, akan ke mana?" tanya Doxi yang kini berdiri di samping Jocelyn, gadis bergaun hitam itu sudah lebih baik dari tampilannya.

Kemarin, semalam suntuk Xylo berlutut di kabin tempat Jocelyn berdiam diri, sampai akhirnya Jocelyn mengusir lelaki itu untuk pergi dan merutuki diri sendiri di tempat lain. Hubungan antara dua manusia itu tampak canggung, ah, lebih ke arah Jocelyn muak melihat wajah Xylo untuk waktu dekat.

"Langsung ke istananya saja, aku sudah meminta bantuan Fen untuk mengirim kereta kuda," ucap Xylo yang langsung membuat Freqiele dan Cello bertatapan.

"Fen suami Aresh?!" seru Freqiele yang diangguki Cello. Binar mata gadis itu tidak bisa dibohongi. "Berarti ada Aresh di sini!"

Freqiele dan Cello menari berputar-putar, membuat Xylo menggeleng pusing. Lelaki itu melirik Jocelyn sekilas, sebelum akhirnya turun lebih dulu ke dermaga terbesar negara ini, di kota pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Raja Quartararo, yaitu Sahaverment.

Kota paling besar yang isinya para bangsawan dan beberapa pedagang kelas internasional. Banyak tempat untuk melihat-lihat kemegahan dan kekayaan negara ini. Mereka yang baru menginjakkan kaki di dermaga saja sudah dibuat takjub.

Lima menit setelah mengomentari keindahan Sahaverment, tiga kereta kuda datang. Trapesium, Woody, Doxi, dan Zealire masuk ke salah satunya. Sementara, Freqiele masih menghentakkan kaki tidak sabar.

Saat kepala Aresh mencuat dari jendela, lambaian tangan mungil terlihat, Freqiele langsung melompat girang, menarik Cello ke arah kereta kuda itu. "Ayo cepat, kita harus satu kereta dengan Aresh dan Fen!"

Cello juga bersemangat, dia ikut lari mengimbangi kecepatan Freqiele. Xylo tersenyum tipis melihat itu, menghampiri kereta yang Fen tumpangi, kemudian berbicara sebentar dengan baroness yang sekarang menjadi pemimpin tertinggi di Famquite.

"Fen, terima kasih atas bantuannya," kata Xylo tulus.

Fen mengangkat sebelah alis. "Terima kasih? Ini benar Tuan Xylo?" ledeknya yang dibalas kekehan dari Xylo. "Jika iya, Tuan banyak berubah, apa ada yang mengendarai kapal keras seperti Tuan?"

Xylo tersenyum kecil. "Ada, tetapi sebaiknya kamu lakukan tugasmu saja. Beruntung Sahaverment tempatmu lahir sebagai Baroness Fen, jika tidak, sudah kupatahkan lehermu sejak semenit lalu."

Fen tertawa mendengar itu, lalu Xylo pergi ke belakang, menatap Jocelyn yang masih berdiri dengan raut wajah datar. "Mau sampai kapan di sana?"

Tak ada jawaban, Xylo mengulurkan tangannya pada Jocelyn. "Aku sudah meminta maaf banyak sekali, jika itu tidak mengubah apa pun dari dirimu, aku akan kecewa, Joce."

"Memang tidak," jawabnya singkat, kemudian memasuki kereta kuda terakhir. Xylo yang ditanggapi seketus itu hanya menghela napas panjang, lalu memasuki kereta yang sama dengan Jocelyn.

Mereka bertatapan, dalam kereta ini hanya ada keduanya saja. Satu kereta untuk empat orang sebenarnya. "Joce, kamu cantik."

Jocelyn mengangkat sebelah alisnya. "Berhenti omong kosong, maafku mahal harganya."

Xylo mengusap wajahnya gusar. "Kenapa kalau bersama kamu, aku seperti hilang harga diri? Ayolah, kumohon sekali lagi, maafkan aku," katanya dengan nada pasrah.

Jocelyn mengulum senyum. "Benarkah seserius itu kamu menyesal?" tanyanya dengan nada angkuh, dia melipat kedua tangan di depan dada.

Xylo mengangguk, raut wajah minta dikasihani itu sungguh kentara. "Apa pun akan aku lakukan, tolong berhenti bersikap begini."

"Baiklah jika begitu ...."

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang