•4•

6 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Harusnya dia telah bertemu Dewi Rawi. Sayang, selain susah mencari gadis tersebut, banyak hal yang harus dia urus terlebih dahulu, apalagi para penduduk Sectermite begitu senang menyambut kedatangannya.

"Hah, meski telah datang ke sini ternyata aku belum bisa melihatnya," keluh Woody.

Menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk menyusul gadis itu dan sekarang saat mereka berada dalam satu kapal yang sama, dia tetap belum bisa bertemu Trapesium. Kenapa gadis bodoh itu lebih sulit ditemui sekarang? Seperti buronan saja.

"Kak ... Woody? Apakah kamu tidak merindukanku?!" seru seseorang dari belakang langsung memeluk Woody tanpa aba-aba.

Hampir saja dia terjatuh, untung Woody masih dengan baik bisa mempertahankan keseimbangan tubuhnya dari serangan. Lihat sekarang orang yang begitu sulit ditemuinya, malah datang sendiri.

"Aku sudah mencarimu, Esi," balas Woody melepaskan kedua tangan Trapesium yang memeluk lehernya. Dia berbalik, menatap gadis yang begitu dirindukan Woody. Ah, rasanya seperti mereka sudah berpisah bertahun-tahun. "Bangun, aku ingin memelukmu."

Trapesium seolah tersihir mendengar kata-kata barusan, dia terdiam di tempat dan kaku. Gadis itu tidak salah dengar, 'kan? Trapesium malah hanya bengong menatapnya. Sayang, kini Woody tidak sabaran. Dia menarik sendiri tangan gadis itu yang masih terduduk di lantai kapal, menariknya ke dalam pelukan. Mereka diam cukup lama sampai Trapesium sadar. Kedua pipi hingga telinganya memanas, terlihat begitu merah karena malu.

Namun, sejurus kemudian balas memeluk Woody dengan erat. Lelaki itu hanya bisa tersenyum di balik punggung kecil gadis tersebut.

"Bagaimana kalau kamu mengajakku jalan-jalan memutari kapal ini?" tanya Woody melonggarkan pelukan.

"Oh, oh, iya ... tentu saja Esi yang pintar ini akan mengajak Kak Woody berkeliling! Akan kukenalkan pada Jocelyn, Freqiele, dan Zealire!" Trapesium mengangguk penuh semangat, menarik tangan Woody sambil berlari.

Gadis pecinta warna kuning itu mengoceh sepanjang jalan. Menceritakan bagaimana awalnya mereka berempat bisa bertemu dan perjalanan ketiga saudarinya, ah mungkin kedua saudari yang lain yang baru bertualang. Meski pernah mendengar cerita tersebut, Woody mau tak mau harus memasang telinga ekstra untuk cerita Trapesium.

Seolah tidak ada lelah, kakinya menjelajah dan bercerita panjang lebar. Mengelilingi lorong, menuju setiap kabin, gudang persediaan, dapur, dek kapal, juga tempat Xylo yang tengah memegang kendali kapal.

"Hai, Tuan, lihat calon suamiku ini!" teriak Trapesium penuh semangat memasuki ruang kendali.

Xylo bahkan sampai hampir terjungkal mendengar suara melengking itu tiba-tiba. Yang bisa dia lakukan hanya mengusap dada, mencoba bersabar sudah banyak masalah yang harus dia urus, dan tidak ingin bertambah lagi dengan meladeni satu budaknya ini yang terlampau ... pintar.

"Esi, bawa Woody menemui tiga saudarimu yang lain," dalihnya agar Trapesium segera meninggalkan tempat tersebut sebelum semakin banyak bersuara. Bisa-bisa kepalanya pecah nanti.

"Oh, iya. Anda benar, Tuan, yang lainnya pasti senang melihatku bersama Kak Woody!" Segera setelah itu mereka berpamitan.

Terlihat Freqiele yang juga sama-sama sedang bersama pujaan hatinya, Cello. Tampak Freqiele sedang digoda habis-habisan, wajahnya sampai memerah. Trapesium terkekeh geli, mengeratkan pelukannya di lengan Woody, ingin bermesraan juga.

Lain dengan Zealire, sebenarnya Trapesium cukup takut gadis itu masih mengurung diri. Dia pun sampai menangis semalaman memikirkan nasib malang yang menimpa Zealire. Namun, sepertinya saudarinya itu lebih tenang, terlihat sebuah senyuman bertengger di bibirnya, tentu saja itu berkat bantuan orang di samping gadis itu, Doxi yang baik hati.

Pada akhirnya Trapesium malah dimarahi saat menghampiri Jocelyn karena malah berjalan-jalan bukannya membantunya menyiapkan sarapan untuk semua orang. Bilang saja nenek lampir itu iri padanya yang sedang berkencan!

***

Silir angin pagi membuat rambut cokelat gadis itu beterbangan. Jocelyn memilih menenangkan diri di geladak, orang-orang sedang sarapan, tetapi rasanya dia sedang tak selera.

Tatapannya lurus ke depan, sesekali mendongak ketika ada segerombolan burung yang terbang bebas di langit. Tentang kejadian yang menimpa saudarinya---Zealire---saat ini menghinggapi pikiran gadis itu. Walaupun terkenal galak---dia sendiri pun menyadarinya---Jocelyn juga sangat penyayang.

Betapa kuatnya Zealire masih bisa bertahan sampai titik ini, lalu bagaimana jika kejadian itu yang menimpa Jocelyn? Mungkin dia akan bunuh diri? Membayangkannya juga sudah membuat pundaknya bergidik ngeri.

"Hei!"

Panggilan dari suara berat lelaki membuat Jocelyn menoleh ke sumber suara seketika. Tiga meter di belakang sana, berdiri sosok Xylo yang melangkah kian mendekat. Refleks tubuh Jocelyn tegang, sedikit gelagapan, jantung berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa, dia seperti merasakan hal aneh ketika berdekatan dengan sang tuan sekarang, apalagi jika mendapatkan perhatian lebih. Huh, seperti banyak kupu-kupu beterbangan di perut.

"Kenapa kamu di sini? Sudah sarapan?" tanya Xylo lembut pada gadis di depannya. Jocelyn terlihat lucu di pandangan Xylo, berbeda dengan saudari-saudari lain yang menjulukinya sebagai si galak.

"Sudah. Tuan sendiri mau apa ke sini?" Jocelyn mendelik, memasang ekspresi sejutek mungkin.

Xylo maju dua langkah, berdiri di samping Jocelyn menghadap ke arah lautan lepas, airnya sangat tenang, tak ada ombak sedikit pun. "Aku ingin mencari udara segar, air laut sedang tenang, cuaca bagus, rutenya juga lurus membuatku bisa meninggalkan kemudi, walau sebentar." Pandangan Xylo beralih pada Jocelyn yang berdiri membelakangi. "Hei! Sini, kembalilah pada posisi semula sebelum aku datang. Aku lihat, kamu sangat menyukai ketenangan ini. Bedirilah di sampingku."

Jocelyn tersenyum tipis, tanpa sepengetahuan Xylo. Dia memegangi dada, jantungnya semakin berdegup kencang. Merasa tak mendapat respons dari Jocelyn, Xylo menarik paksa tangan kanan gadis itu, membuat tersentak.

Tarikan itu tampaknya terlalu keras, Jocelyn hampir terjatuh, untung saja Xylo dengan sigap memeluk pinggangnya. Refleks Jocelyn juga memegang pundak Xylo. Beberapa detik tatapan mereka bertemu, sebuah senyum tulus bertengger di bibir Xylo---membuat Jocelyn tersadar. Dia melepas, lalu memperpanjang jarak.

"Maaf." Jocelyn menunduk dalam. Sungguh, rasanya sangat malu.

"Ya, bukan masalah," balas Xylo, "Joce, kamu yang akan pergi ke tempat terakhir saat ini. Di sana sepi tak berpenghuni, tampaknya cocok untukmu. Aku jadi tak perlu terlalu khawatir."

Jocelyn sedikit mendongak, mengedikkan bahu acuh. "Ya, tak masalah. Saudari-saudariku saja bisa, mengapa aku tidak? Sepertinya akan lebih keren dari mereka dalam menyelesaikan misi ini."

"Kamu, yakin?" Xylo mengangkat sebelah alisnya, seperti menggoda.

"Sangat yakin."

Xylo mengangguk-angguk meremehkan, lantas berkata, "Bagaimana jika yang kukatakan ternyata tidak benar?"

"Aku tidak ped--" Gadis itu belum menuntaskan perkataan, tiba-tiba dipotong Xylo.

"Ah, Joce. Maksudku perkataanku soal tempat itu, bukan tentang rasa cintaku padamu."

***

Terima kasih, sampai jumpa.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang