•21•

5 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Keluar dari ruangan itu, menuruni satu per satu anak tangga berlapiskan emas, wajah Xylo muram. Apakah dua tahun cukup untuk mengurus Empcount? Itu artinya dia akan meninggalkan Jocelyn. Juga, tidak akan bisa menikah dengan wanita pujaannya itu karena dia akan menjadi emperor. Sungguh, hatinya sangat gundah.

Anak tangga terakhir sukses ditapaki, pria itu mengedarkan pandangan. Hanya melihat beberapa pelayan perempuan berlalu lalang di aula, tak mendapati rombongannya. Seseorang menepuk pundak Xylo, membuat pria itu membalik badan.

"Hei!" Dia adalah Fen.

Fen menatap dalam-dalam manik mata sang kakak. Terdapat raut kecemasan. "Bagaimana keputusan ayahanda? Apakah kamu diizinkan membangun Empcount?"

"Hm. Masih sama. Orang itu masih memintaku menjadi emperor. Aku diberi waktu dua tahun untuk membangun Empcount, lalu kembali ke kerajaan untuk melaksanakan tugas sebagai emperor." Xylo memutar bola mata sembilan puluh derajat. Napasnya terembus kasar. "Padahal, sungguh, aku tak mau. Akan tetapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa, Fen. Bagaimana dengan Joce--argh!"

Walau sudah menyetujui pilihan Raja Quartararo, tetap saja itu bukan yang dia mau. Sudah mengorbankan empat budak untuk mencari peta, dan ketika harta karun didapat, hanya akan ditempatinya sementara. Padahal, yang ada di bayangan Xylo, dia akan hidup bahagia di sana bersama Joce. Membangun rumah, membuat anak yang banyak agar ramai, juga bertetangga dengan pasangan lain.

Fen bertanya, "Kamu menyetujuinya?"

Xylo mengangguk dua kali. "Jika tidak, aku tidak akan mendapatkannya sama sekali. Tak ada pilihan lain, Fen."

Fen menepuk-nepuk punggung tegap sang kakak, mencoba menenangkan. Tepat sasaran, pikiran Fen tentang pilihan itu benar terjadi. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Di mana mereka?" Akhirnya Xylo menanyakan itu.

Fen menjawab, "Di kebun, mereka sedang bersenang-senang. Ayo, ikut. Jocelyn banyak tertawa pasti akan membuatmu senang."

***

Freqiele tampak memuntahkan sesuatu dalam mulutnya. "Sial! Cello, kamu memberiku apel mentah!"

Kening Cello yang tengah membereskan apel-apel hijau kedalam keranjang pun menoleh, dahinya berkerut. "Hei, aku memberimu apel terbaik tadi."

Saat ini, kedelapan orang itu tengah duduk di bawah salah satu pohon apel yang rindang. Beralaskan karpet hijau senada dengan rumput.

Freqiele melempar apel yang sudah tergigit itu pada Cello. "Apel terbaik paling asam dan rasanya aneh menurutmu?!"

Freqiele benar-benar kesal pada sang kekasih. Bisa-bisanya dia tidak seromantis Woody pada Trapesium. Cello hanya bisa membuatnya kesal saja.

"Freq. Kamu yang salah, Sayang." Cello menunjuk ke arah kiri dekat paha Freq.  "Itu apel yang kuberikan untukmu. Kamu salah ambil, huh. Bukankah apel yang kamu makan tadi sudah terkena kotoran burung?"

Seketika mata Freq melotot seperti ingin loncat. Sungguh, dia sangat malu. Ralat malu saja. Teman-temannya yang lain tertawa puas melihat kejadian itu.

"Ternyata kamu juga lemot sepertiku, Freq." Trapesium mengeluarkan suara.

"HAHAHAHA!"

"Tuan Xylo!" seru Zealire. Tampak Xylo berjalan menuju arah mereka diikuti Fen di belakangnya.

Kedelapan orang itu seketika berdiri. Tegang, itulah yang dirasakan. Melihat wajah Xylo yang tidak mendukung membuat semakin takut mendengar keputusan Raja Quartararo yang disampaikan pada Xylo.

Sesampainya di sana, senyum pertama dia berikan pada Jocelyn. Pipi wanita itu pun bersemu merah. Agaknya akan berbaikan setelah ini.

"Bagaimana keputusan Yang Mulia, Tuan?" tanya Doxi tak sabar.

Xylo membuka topinya, menyibak rambut ke belakang yang sedikit keluar tadi. Lalu, memakai topinya kembali, dan berkata, "Kita bisa membangun Empcount, tetapi ...."

Tatapan penasaran dan penuh harap membuat Xylo tersenyum canggung. "Kita harus kembali sekarang dan memulai pembangunan," jawab lelaki itu akhirnya, semua orang di sana tertawa puas, saling memeluk, kecuali Fen yang dalam hatinya ada perasaan tidak enak.

Xylo mendekatkan diri pada Jocelyn, kemudian membawa wanitanya ke dalam dada bidang itu. Erat, hangat, dekapan penuh kalimat; aku tidak akan kehilanganmu.

Sedang di tempatnya, Jocelyn memejamkan mata, mencoba untuk tetap hidup dan ikhlas menjalani apa yang dia punya sekarang. Semoga ada kata "cerah" dalam kehidupannya di masa depan.

Mereka keluar area istana dan beranjak menuju kereta kuda lagi, formasinya masih sama seperti tadi, membuat Jocelyn lagi-lagi bersama dengan orang yang sangat ingin dia hilangkan kepalanya.

Xylo menghela napas. Atmosfer terasa berat jika dia dan Jocelyn hanya berdua saja. Lelaki itu mengeluarkan sebuah cincin emas putih dengan berlian besar di tengahnya, kemudian berlutut di depan Jocelyn.

"Joce, mungkin maaf akan membuatmu muak. Namun, ampuni aku untuk semuanya," ucap Xylo, benar-benar memohon, lalu meraih telapak tangan Jocelyn, memasangkan cincin itu di jari.

Helaan napas berat, Jocelyn akhirnya memegang kedua bahu Xylo, mengisyaratkan agar lelaki itu kembali duduk ke tempat. Dia melipat kedua kaki, menjadi seseorang yang tampak anggun sekarang.

"Aku akan anggap kita impas jika kamu menuruti apa mauku," tawar Jocelyn yang membuat Xylo menghela napas lega.

Lelaki itu mengangguk, duduk lebih tegak, laku menatap serius ke Jocelyn. "Apa yang kamu mau?"

Jocely mengarahkan pandangan ke jendela kereta kuda. "Hiduplah dengan baik."

Xylo tertegun, dia mencoba bertanya sekali lagi, "K-kamu tahu aku anak raja, 'kan?" tanya Xylo yang diangguki oleh Jocelyn. "Setelah tahu fakta, hanya itu yang kamu minta?"

Jocelyn memunculkan senyum yang belum pernah Xylo lihat, wanita itu memajukan wajah, mengikis jarak antara dirinya dan Xylo. ".... Lalu hancurkan Bleedpool sampai akar."

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang