•14•

7 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Keadaan mulai membaik. Warga Sectermite yang ikut terkejut sudah kembali beraktivitas. Begitu pun dengan orang-orang terdekat Jocelyn. Mereka sudah pergi beristirahat, seperti makan dan minum karena peristiwa tadi cukup membuat kaget.

Setelah sadar, Jocelyn sendiri melenggang pergi ke kabin dengan kondisi kacau. Dia belum mau berbicara dengan siapa pun. Disuruh membuka pintu pun tidak mau. Akhirnya, Freqiele meletakkan semangkuk bubur di depan pintu dan berpesan kepada Jocelyn untuk memakannya.

Di geladak, ada Cello dan kawan-kawannya. Mereka beristirahat sembari menikmati udara dari laut. Tak bisa dipungkiri, masing-masing masih merinding mengingat kejadian tadi. Seperti Zealire yang belum kembali aktif berbicara. Gadis itu bahkan tidak bisa lepas dari Doxi.

Xylo sendiri memilih mengurung diri di ruangan. Tak apa, dia ingin merutuki kebodohannya terlebih dahulu. Mengingat apa yang menimpa Jocelyn, membuatnya merasa bersalah setengah mati.

Trapesium memasukkan sesendok sup ke dalam mulut. Dengan paksaan Woody, dia sudah mau makan. "Apa Kakak Seram itu makan juga, Kak?" tanya Trapesium kepada Woody di depannya.

Woody mengangkat bahu. "Kuharap dia mau makan. Cepat selesaikan makanmu, aku tidak mau kamu sakit." Diperhatikan seperti itu, membuat Trapesium tersenyum kecil.

Tak jauh berbeda dengan Freqiele dan Cello. Untuk mengalihkan kesedihan Freqiele, Cello menantang pujaan hatinya untuk makan pedas. Siapa yang paling banyak makan mi dari gandum superpedas, dia akan menang. Seperti Trapesium yang awalnya enggan, akhirnya Freqiele mau karena Cello terus mengejek. Dia tidak bisa kalah dengan Cello.

"Payah, kamu baru dapat dua mangkuk. Lihat, aku sudah hampir empat. Mengalah saja, Cello," celoteh Freqiele ketika hendak memasukkan suapan terakhir dari mangkuk ke empat.

Cello tersenyum, dia lega. Setidaknya Freqiele tidak melulu sedih atas Jocelyn. Tak apa kalah, asal Freqiele mau tersenyum.

"Tidak mengapa jika aku kalah. Perjanjiannya yang kalah harus menikahi yang menang, bukan?" Setelahnya Cello terkekeh mendapati wajah Freqiele memerah. Ya, bisa jadi memerah karena kepedasan dan karena malu dengan godaannya barusan.

Freqiele pura-pura menggerutu, "Sial, sejak kapan perjanjian itu ada?" Freqiele mengambil segelas air minum. Setelah mi di piring kelima habis, dia tidak mau menambah lagi. Tidak kuasa dengan pedas. Dia hanya berpura-pura kuat di depan Cello.

"Persetan perjanjian dibuat kapan, apa kamu tidak mau bersamaku selamanya?" Segelas air putih hangat diberikan kepada Freqiele. "Katanya air hangat lebih cepat menghilangkan rasa pedas. Sudahlah, aku tahu kamu tidak kuat. Kamu menang, terima kasih sudah tersenyum." Begitu kata Cello.

Mendengar itu membuat Freqiele melebarkan senyumnya. "Karena aku menang dan sudah tersenyum, temani aku nanti. Aku mau beli sesuatu untuk Jocelyn."

Anggukan diberikan Cello yang mengacak rambut Freqiele. "Mau menang atau tidak, apa pun yang kamu minta aku turuti." Keduanya tertawa setelah itu.

Di samping kedua pasangan yang sedang kasmaran, tak jauh dari mereka Doxi dan Zealire saling diam. Mereka belum makan, masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Tangan Zealire masih berada di genggaman Doxi. Sama-sama enggan melepas, karena ingin melindungi dan butuh dilindungi.

"Aku ingin bertemu Jocelyn. Dia belum makan, Doxi." Zealire membuka suara, Doxi menoleh.

Doxi menggeleng. "Tunggu keadaan membaik, Zea. Kamu juga belum makan. Perlu kuambilkan? Seperti Woody dan Cello, aku juga tidak mau kamu sakit."

Zealire menggeleng lemah. Dia masih membayangkan betapa kacaunya Jocelyn. Dahulu dia sangat bingung, apalagi Jocelyn saat ini? Jelas, kondisi Jocelyn lebih parah darinya.

"Zea, kamu harus makan. Kakak akan tambah sedih jika dia tahu aku gagal menjagamu. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana."

Hendak pergi, tetapi tangan tetap ditahan Zealire. "Ada izin untuk ikut denganmu?"

Senyuman tercetak di bibir Doxi. "Tentu."

Lagi-lagi langkah mereka tertahan di langkah kelima. Dari kejauhan, Xylo berseru kepada keenam pemuda di geladak. "Selesaikan istirahat kalian segera! Kita bahas akan diapakan Empcount!"

***

Menanggapi seruan Xylo. Doxi, Trapesium, Zealire, Woody, Freqiele, dan Cello berkumpul di ruangan utama kapal. Mereka duduk melingkar, dengan Xylo di pusat.

Xylo menatap satu per satu dari mereka, kemudian mengeluarkan sebuah kertas. Di sana, terlihat gambaran denah tanah Empcount yang tidak terlalu subur, tetapi masih ada pepohonan. Tempat yang bagus untuk dijadikan sebuah tempat tinggal, terlebih sangat dekat dengan laut.

"Jadi, bagaimana Tuan Xylo?" tanya Freqiele membuka percakapan.

Xylo menjawab, "Mari kita mulai dari struktur pemerintahan--"

"ESI MAU JADI PUTRI!" Seperti biasa, Trapesium tidak bisa mengendalikan ocehannya. Baru saja Xylo akan membuka percakapan, gadis bodoh penyuka kuning itu malah memotong. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi Xylo sekarang?

"Esi, sekali lagi kamu bicara kutebas lehermu," ancam Xylo yang membuat nyali Trapesium menciut. Dia berlindung di balik Woody yang tertawa dengan tingkahnya.

Tatapan Xylo kembali serius. "Jadi, menurut kalian, sistem pemerintahan apa yang bisa dipakai di sini? Ah, sejujurnya, aku tidak ingin ada kasta bangsawan dan budak lagi."

Freqiele tersenyum miring tepat setelah Xylo menyelesaikan ucapan. "Karena Tuan mau menikahi Jocelyn? Agar tidak terhalang kasta, 'kan?" celetuk gadis maskulin itu sembari menaikkan sebelah alisnya.

Cello di samping Freqiele bersusah payah menahan tawa. Gadisnya ini memang benar-benar. Dia menyentuh lengan Freqiele pelan, lalu membisikkan sesuatu. "Sebelum Xylo menikahi Jocelyn. Harus aku yang menikahimu lebih dulu."

Bisikkan Cello membuat Freqiele melotot, tetapi bersamaan juga bersemu. Beralih ke Xylo, dia merasa semakin kesal, terlebih setelah Freqiele menggodanya. Meski memang benar, dia ingin hal itu supaya dapat menikahi Jocelyn. Namun, tetap saja. Xylo paling tidak suka digoda. Apalagi oleh budaknya sendiri. Mau ditaruh di mana harga diri Xylo?

"Sudah, diam. Ada izin apa kalian bisik-bisik seperti itu? Tidak sopan sekali." Kesal Xylo memutar bola mata malas. Dia menghela napas. "Mari lanjut, sekali lagi ada yang memotong, kalian akan tahu sendiri apa akibatnya."

Yang lain mengangguk-angguk saja mendengar perkataan Xylo. "Apa kalian tahu, sistem pemerintahan yang tidak ada perbedaan kasta di dalamnya?"

"Mana aku tahu, selama ini aku hidup dalam kekangan rayap. Yang kutahu hanya rayap," celetuk Woody.

Cello yang merasa senasib ikut buka suara. "Aku juga, selama hidup aku berada di ruang bawah tanah milik Aresh."

"Setidaknya kamu lebih beruntung dariku," sanggah Woody.

Doxi menatap sengit kedua pemuda itu. "Diam. Jangan mengadu nasib. Kalian lebih baik daripada diriku yang harus tinggal di antara orang-orang bejat tak tahu diri."

"Ngomong-ngomong, Tuan Xylo yang terhormat ...." Doxi menggantung ucapan, dia menatap Xylo sedikit sinis dan meremehkan. "Kenapa kamu repot-repot membahas struktur dan sistem pemerintahan? Apakah kamu sudah menyatakan Empcount milikmu? Maksudku, kita bahkan belum menemui pemerintah pusat untuk mengatakan bahwa Empcount akan menjadi milik kita."

Xylo terpaku sebentar usai mendengar ucapan Doxi. "Sial, aku lupa. Bagaimana aku melupakan hal sepenting ini? Malah bocah menyebalkan itu yang memberitahuku," oceh Xylo kesal.

"Mari kita simpan bahasan itu untuk nanti, sekarang kalian bersiap. Aku akan menemui pemerintah pusat, sekaligus menyarankan agar aturan budak dan bangsawan tidak bisa menikah dihapus."

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang