•30•

2 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Sam tersungkur di tanah. Lelaki tua dengan dada kiri berlubang masih sempat mengangkat tongkat, seolah menyuruh mereka pergi dari sini. Akan tetapi, hal itu tidak ada yang mematuhi.

"Katanya kamu lebih baik mati. Maka, aku sudah mengantarkanmu, Pak. Sok sucilah di dalam kubur, jika ada yang menguburkanmu," ucap Shaq disertai tawa.

Mereka ikut tertawa, meski rasa cemas terselip di hati masing-masing. Suara kaki-kaki itu terus terngiang di telinga mereka. Ledakan pun terjadi sekali lagi.

"Ayo, lanjutkan pesta!" ajak Shaq sambil membalikkan tubuh. Mendapati semua terdiam, Shaq berucap, "Kenapa diam? Kalian termakan omongan oleh mayat itu? Suara itu mungkin hanya suara kuda. Nikmati pesta kalian."

"Kuda? Dari mana di sini ada kuda, Shaq? Aku punya firasat yang buruk juga atas ini," kata seseorang.

Shaq menegang sebentar, kemudian mengembalikan ekspresi senormal mungkin. Benar juga, kuda dari mana? Shaq bingung, di satu sisi teringat peringatan dari Sam. Namun, di sisi lain dia tidak mau mengakui hal itu.

"It--"

"Kakek Sam!"

Seruan seseorang membuat Shaq menoleh. Dia terkejut mendapati Doxi berdiri di sana sembari melihat jeli ke arah mayat Sam. Tubuh Shaq semakin kaku, dia ... takut (?).

"Bajingan! Siapa yang membunuh orang baik seperti Kakek Sam?!" Doxi bertanya dengan nada tinggi, membuat orang-orang di situ terdiam. Matanya berhenti dan menatap tajam ketika mendapati Shaq berdiri di depannya.

"Dia lelaki gila, berani-beraninya menyuruh pesta berhenti." Orang mabuk itu berceletuk, membuat Doxi mengangkat pedang, lalu menebaskan ke leher orang tersebut. Semua yang di sana berteriak dan menutup mulut tak percaya.

"Mati saja, tidak berguna! Kenapa kalian kaget? Bukannya setiap hari juga ada kejadian seperti ini? Mau mati juga?!" Lagi-lagi Doxi berteriak. Di sebelahnya, Cello sudah mengambil ancang-ancang setelah kaget melihat ulah Doxi tadi.

Satu per satu orang muncul dari balik kegelapan. Prajurit berseragam lengkap dengan jumlah yang begitu banyak. Nyali warga Bleedpool menciut dan mulai mundur.

"Kota ini tidak pantas ada! Jangan biarkan orang biadab hidup di sini, SERANG!!!" Doxi mengangkat pedang, setelah itu prajurit-prajurit maju.

Pertempuran dimulai. Warga Bleedpool dengan alat dan kesadaran seadanya, menyerang prajurit Doxi yang sudah siap semua. Tidak seimbang, tetapi tidak bisa dihentikan juga.

Di sisi lain, empat perempuan yang tadi saling menautkan tangan, kini harus berpisah. Mereka berpencar, Freqiele dengan Trapesium dan Zealire pergi bersama Jocelyn.

Di salah satu halaman rumah, terdengar suara gaduh. Trapesium dan Freqiele mengintip di balik pohon sebentar, sebelum mereka melotot kaget. Dia mendengar anak menangis, kemudian tak lama tangisan itu terdiam. Ibu dari anak itu menusuk anaknya sendiri menggunakan pisau.

"Dia gila," gumam Freqiele, "Esi, bunuh dia sekarang!"

Trapesium ketar-ketir. Dia barusan melihat pemandangan yang tidak mengenakkan. Akankah sekarang dia harus membunuh orang juga? Trapesium menggeleng, lantaran tidak mau dijuluki sebagai pembunuh.

"Esi! Dia bukan orang baik, apa kamu tega jika anakmu dibunuh seperti itu?!" Freqiele tidak sabar. Ini bukan waktunya memainkan perasaan, tetapi soal keadilan.

"Bunuh sekarang, Esi, atau kejahatan akan tetap ada di muka bumi!"

Trapesium mengangguk, ragu. Dia keluar dari balik pohon, berlari dengan sebuah pedang yang siap dilesatkan.

Posisi wanita itu membelakangi, membuat Trapesium mudah membunuhnya. Pedang dia Lesatkan tepat pada bagian leher. Entah setajam apa benda itu hingga membuat kepala manusia putus seketika. Bercak darah memuncrat ke kening dan pakaian Trapesium. Gadis itu terkejut, lantas menutup mulutnya yang menganga.

"Esi! Cepat kembali!" Itu panggilan Freqiele yang sedang berjaga di sana.

Terlalu banyak berpikir, hingga pintu rumah di depan Trapesium terbuka. Menampilkan sosok pria berotot, berjenggot tebal, kelopak matanya hitam legam. Sebuah pistol digenggamnya, agaknya orang itu sudah mendengar desas-desus penyerangan sebelum keluar rumah.

Pria itu menatap tubuh dan kepala wanita yang sudah terpisah dan Trapesium yang masih terpaku di depannya, secara bergantian. Otot-otot pria itu mengeras. Sungguh Trapesium tidak tahu harus apa, ingin lari juga takut.

"Kamu sudah berani-beraninya membunuh istriku!" Pria itu menodongkan pistol yang digenggam, siap tembak. "Rasakan-"

Freqiele datang tepat waktu menyusul, bukan tidak mau membantu Trapesium, empat orang pria menyerangnya dari belakang tadi, dan Freqiele berhasil membunuh mereka dengan sekali tebas.

Dengan kecepatan maksimal kuda yang ditunggangi, Freqiele berancang-ancang. Hingga berhasil melesat, menarik Trapesium hingga duduk di belakangnya.

"Freq! Pedangku tertinggal!" Teriakan Trapesium, dengan tubuh terguncang di atas kuda.

"Sudahlah, harusnya kamu tadi membunuh pria itu juga, bukan bengong!"

***

Udara tak lagi segar, asap akibat ledakan mengepul di mana-mana. Teriakan orang-orang, pedang yang beradu, derap langkah cepat menghiasi kota berdarah ini.

Di daerah yang Doxi tapaki, banyak orang tergeletak tak bernyawa. Darah bersimbah di mana-mana, membuat bau amis menyengat indra penciuman.

Doxi menginjak perut lawan yang sudah terkapar di tanah. Semula orang itu melakukan perlawanan keras, tetapi sekarang, berjuta kali memohon ampun pada Doxi.

"Kamu adalah salah satu komplotan Shaq yang juga menyusun rencana mempermainkan Zealire, 'kan?!" Doxi berteriak, "Dasar manusia biadab!"

Dengan tangan terangkat memohon ampun, pria itu membalas, "Saya mohon ampun. Tolong, saya masih ingin hidup."

Cih, tak akan ada rasa iba sedikitpun di hati Doxi. Memercayai orang itu sama saja menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam jurang. Sejatinya orang Bleedpool tidak pernah semenyerah itu.

Tak mau memakan banyak waktu karena masih banyak orang yang dia bantai, Doxi mengeluarkan sebuah pisau tajam dari sakunya. Bak anak panah, pisau itu melesat tepat mengenai mulut pria itu, menancap di sana. Setelah memastikan orang itu benar-benar mati, Doxi hendak pergi ke arah timur di mana daerah itu paling mengancam saat ini.

"Doxi!" Panggilan Freqiele membuat Doxi sontak menoleh.

Doxi mengernyit. "Freq, Esi? Kenapa kalian ada di sini?"

"Ah, sudahlah. Lama. Kamu punya senjata lebih? Pedang Esi tertinggal setelah memenggal kepala seseorang tadi. Esi tidak membawa apa pun selain itu." Paparan Freq membuat Doxi mengangguk.

Merogoh saku kanannya, keluarlah sebuah pisau besar masih bersarung. "Hanya ada ini. Jika ingin lebih, cabut saja di wajah mayat orang itu." Doxi mengarahkan telunjuknya pada mayat tadi.

Trapesium bergidik, baru saja hendak berucap sudah dihentikan. "Jangan mengoceh, kita sedang dalam penyerangan. Ocehanmu tak akan bisa melenyapkan orang-orang Bleedpool."

Selepas mengatakan itu, Doxi pergi dengan kuda dan pedangnya ke arah tujuan. Di daerah sini sudah cukup bersih, tak tampak orang berkeliaran selain Freqiele dan Trapesium yang belum beranjak.

Sebuah anak panah tiba-tiba melesat lima sentimeter dari pelipis Freqiele. Hampir saja tertusuk.

"Esi! Bersiaplah!"

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang