•7•

7 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***,

Dalam kapal, Trapesium terus mengoceh. Beruntung ada Woody yang setia membalas setiap ocehan tersebut. "Hei, Woody. Kamu tidak muak dengan segala ucapannya?" tanya Freqiele sembari melirik tajam Trapesium dengan ekor mata.

Sedangkan, lelaki yang diajak bicara oleh Freqiele tersenyum. "Aku rasa tidak. Ketika dia pergi dari Sectermite, semua terasa sangat sepi. Aku menyukai dan merindukan ocehan itu," balas Woody sembari tertawa pelan di akhir perkataan.

Trapesium mendengar percakapan Woody dengan Freqiele. Dia tertawa puas ketika Woody menyuarakan balasannya. "Lihat itu, Freq! Kak Woody memang sangat menyayangiku," ujar Trapesium semangat.

"Hm, benar, Esi. Woody sangat baik, dia juga mencintaimu dengan tulus. Kukira gadis sepertimu tidak akan mendapat pasangan. Ah, Esi, aku iri padamu. Bagaimana jika aku merebut Woody?" celetuk Freqiele. Berniat menggoda Trapesium.

Namun, ternyata yang merasa kesal malah seorang pria binal di sampingnya. "Hei! Jaga ucapanmu, Freq! Bukankah kita akan segera menikah?!" protes Cello tidak terima dengan ucapan Freqiele sebelumnya.

Lagi, Trapesium tertawa sangat puas. Dia menatap Freqiele sombong. "Aha, lihat saja, Freq. Kak Woody tidak mungkin suka padamu yang kasar. Lagipula, lihatlah, Cello sangat menahan marah. Haha."

Freqiele menarik napas panjang. Kesal sekali dengan pria binal di sampingnya ini. Ah, dia gila apa bagaimana? Kenapa bisa mencintai pria seperti Cello. Ya, meski ... Cello baik, bahkan seribu kali jauh lebih baik ketimbang pria yang berbuat keji pada Zealire.

Freqiele melayangkan kepalan tangan pada bahu Cello. "Ayolah, sejak kapan kamu bodoh? Atau memang selalu bodoh? Kamu tahu apa itu bercanda, 'kan?!" Yang benar saja, Freqiele tidak tahu Cello bisa jadi seperti ini. Apa karena pria binal itu sangat mencintainya?

Mungkin jawaban yang tepat adalah 'ya'. Jika tidak, mengapa dia seperti itu. Oke, Freqiele mengerti. Pria binal ini sangat mencintainya. Mengulangi apa yang dia pikirkan membuat pipi Freqiele terasa panas.

"Hanya memastikan. Ngomong-ngomong, kenapa pipimu memerah? Apa yang kamu pikirkan?!" goda Cello sembari mencoba menyentuh pipi gadis di hadapannya. Akan tetapi, dengan cepat ditepis oleh Freqiele yang sudah kepalang menahan malu.

"Diam, Cello." Sial, dia berniat memojokkan Cello atau Trapesium, tetapi kenapa malah dia yang terpojokkan sekarang? Karma benar-benar nyata.

Trapesium mengaitkan lengannya pada Woody. Lalu menyandarkan kepala pada bahu lelaki itu. "Aku mendapatkan acara pertujukan gratis di sini," ujar Trapesium tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tingkah Trapesium, Freqiele, dan Cello membuat Woody tersenyum lepas. Sesekali bahkan tertawa. Ternyata, hidup damai seindah ini. Dia tidak perlu gelisah akan diganggu rayap-rayap menyebalkan kala sedang bercanda riang.

Ekor mata Woody melirik Trapesium di samping yang tengah saling mengejek dengan Freqiele. Dia lagi-lagi tersenyum. Woody banyak bersyukur, dia dapat bertemu dengan Dewi Rawi ini. "Terima kasih telah membawaku pada kebahagiaan, Dewi Rawi," gumam Woody. Sangat pelan sampai tidak ada satu pun yang mendengar.

Jelas suara Freqiele yang tengah mengejek Trapesium seribu kali lebih keras dari gumaman Woody. Sementara itu, Zealire terus saja menatap khawatir pada Empcount. Saat ini, perasaan Zealire sangat campur aduk. Dia khawatir apa yang terjadi padanya akan terjadi pula pada Jocelyn. Mengingat, orang-orang Bleedpool itu ... sudah, tidak perlu dijelaskan dengan rangkaian kata.

"Beban, kenapa tidak ikut bercanda ria?" tegur Doxi melihat Zealire yang terdiam.

"Tidak apa," balas Zealire cepat.

"Tidak perlu mengkhawatirkan kakakku, dia pasti bisa menjaga diri. Kakakku tidak sepolos dan selugu kamu. Tenang saja," ujar Doxi mencoba menenangkan gadis polos di sampingnya ini.

***

"Tetaplah di sini, Nona. Empcount sangat sepi, tak ada wanita untuk dijadikan mainan. Kamu datang, bagai harta karun kedua bagi kami." Shaq menoel nakal dagu Jocelyn, tersenyum miring. "Kamu tidak akan pernah mendapatkan harta karun itu, karena hanya kami yang akan mendapatkannya. Terima kasih, kami puas."

***

Isakan tangis gadis itu terus terdengar tiada henti. Matanya membengkak. Tubuh bawahnya terasa sangat perih, hingga niat keluar dari gua itu urung.

Tak pernah terbayang sama sekali, nasibnya sama seperti Zealire. Kehormatan direnggut, bahkan oleh tiga pria sekaligus. Secara paksa. Entahlah, dia merasa sangat marah pada diri sendiri, terutama mereka.

Ketiga pria berengsek itu pergi begitu saja setelah memainkan Zealire selama kurang lebih satu jam di dalam gua itu. Gadis bersurai cokelat itu tidak bisa melarikan diri. Jangankan begitu, bergerak saja tak bisa. Kedua tangannya diikat. Bahkan, Jocelyn yang berusaha membukanya sendiri setelah punggung tegap para pria itu menghilang dari pandangan.

Masih dengan isakan, napas tersendat-sendat, Jocelyn membenarkan gaunnya hinggga menutupi pundak kembali. Bertumpu pada dinding gua, dia berusaha berdiri dan melangkah sedikit demi sedikit. Demi apa pun, dia tak ingin menyelesaikan misinya. Dia hanya mau kembali ke kapal.

"Sungguh, rasanya lebih baik mati saja ketimbang dilecehkan seperti tadi!" Jocelyn berteriak frustrasi. "Sangat bodoh! Dasar wanita bodoh, Joce!"

Perjalanan terasa sangat panjang, hingga akhirnya Jocelyn sampai di mulut gua. Dia memicingkan mata, mengamati suasana sekitar. Merasa aman, Jocelyn kembali melangkah. Dia mengambil tongkat kayu untuk menyibak belukar yang menghalangi jalan.

Dari penglihatan Jocelyn, tumbuhan di Empcount rata-rata besar dan menjulang. Hampir tidak ada tumbuhan baru tampaknya. Jelas sekali pohon yang di sana berusia tua.

Dalam hatinya, ada rasa takut akan bertemu dengan tiga pria berandal itu lagi. Tas besar yang dia bawa kini diseret, langkah gadis itu terseok-seok. Berhasil keluar dari lingkungan gua, Jocelyn duduk di atas batu besar setelah merasa sekitarnya aman. Dia membuka tas yang dibawanya, merogoh roti gandum yang dia bawa untuk perbekalan.

Dia melahap benda itu dengan cepat, sesekali memijit pelipis yang kini berdenyut hebat. Gerak mulut Jocelyn berhenti seketika, mendengar gelakkan tawa yang terdengar jauh. Agaknya dia mengenali suara itu. Suara semakin mendekat, Jocelyn memasukkan sisa rotinya ke dalam tas, menutup ritsleting lalu pergi dari sana.

Berjalan sama rata bersama kedua temannya, Shaq merogoh sesuatu dari kantong celana, lantas berkata, "Ternyata semua gadis di dunia ini memang bodoh. Diciptakan hanya untuk memuaskan birahi para pria, hahaha."

"Hei, apakah itu gadis bodoh tadi?" Dorin melihat pergerakan Jocelyn, menunjuk ke arahnya.

"Ya, mungkin saja," balas Shaq, santai sembari menghisap tembakau yang dia bawa. "Kenapa?"

Alis Dorin bertaut, menerka-nerka. "Terlihat dari gerak-geriknya, agaknya dia ingin keluar dari sini."

"Kamu bicara apa? Dia tidak akan pergi dari sini sebelum mendapatkan yang apa dicari. Kalau tidak, dia tidak akan bisa pulang. Itu perintah tuannya, Bodoh!"

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang