Selamat datang, selamat membaca.
***
Dari kejauhan, tampak dua orang berperawakan tegap berjalan menuju sebuah ruangan. Prajurit yang berjejer di sebagian sisi kerajaan menunduk hormat tatkala dua orang itu lewat. Sampailah mereka di depan sebuah ruang. Dibukanya pintu itu oleh dua orang prajurit, kemudian keduanya masuk.
Pintu kembali ditutup. Raja Quartararo duduk di kursi kesayangan---setelah singgasana. Karena hanya ada dia dan putranya, Raja Quartararo menumpangkan sebelah kaki ke kaki lain. Sementara Xylo berdiri di depan ayahanda dengan perasaan campur aduk. Rindu itu pasti. Akan tetapi, dia juga tidak bisa menampik kekesalannya terhadap sang ayah.
Xylo jadi ingat tujuannya ke sini. Dia akan meminta izin dengan segera, kemudian Empcount akan cepat dibangun. Dia dan Jocelyn bisa hidup bahagia di sana. Itu yang dipikirkan Xylo untuk saat ini.
"Kenapa diam? Kamu tidak mau memamerkan harta karun yang sudah kamu dapatkan itu?" Raja Quartararo membenarkan posisi duduk sambil mengambil segelas minuman di sebelahnya. "Oh, aku tahu. Harta karunmu palsu, ya? Sampai malu mau menunjukkan kepadaku. Hahaha."
Mendengar gelak tawa dari ayah, Xylo mengepalkan tangan kanan. Andai saja yang sedang berbicara di depan itu bukan ayahnya. Dia pasti sudah menghabisi orang tersebut dari tadi.
"Sahaverment ini sangat mewah dan luas. Mana mungkin harta karunmu bisa melebihi ini. Jadilah anak yang baik sebelum mengkhayal tinggi-tinggi, Xylo!" Suara ditinggikan oleh Raja Quartararo di kalimat terakhir. Terlihat seperti emosi, mengingat Xylo pernah membantah perintahnya dahulu.
Lama-lama panas juga mendengarkan sindiran-sindiran dari Raja Quartararo. Akhirnya Xylo angkat bicara. "Maaf, Yang Mulia. Benar adanya kalau harta karun yang kami temukan besar jumlahnya. Untuk hal sepenting itu, mana sempat kami berbohong tadi, bukan?" Dia berusaha berbicara setenang mungkin, padahal dalam hati sangat ingin berontak.
Raja Quartararo tertawa cukup keras. Akan tetapi, tenang, tidak akan ada yang bisa mendengarnya kecuali Xylo.
"Banyak bicara juga, Anakku." Setelah berkata itu, Raja Quartararo menghentikan sisa tawa. "Buktikan! Beri tahu aku!"
Diam-diam Xylo menyeringai. "Yang dari tadi banyak bicara itu siapa?" tanyanya dalam hati. Karena tak ingin membuang waktu lagi, Xylo akan memberitahukan.
"Empcount." Satu kata diucapkan oleh Xylo. Raja Quartararo langsung berubah ekspresi. Xylo tersenyum senang lagi. "Itu harta karun yang telah ditemukan. Sekarang, apakah Yang Mulia percaya kalau harta karun itu lebih besar dari kerajaan ini?"
Buru-buru Raja Quartararo mendekati putranya. Dia menelisik kebohongan di dalam mata, tetapi tidak ada. Raja Quartararo berdecak kecil, anaknya pandai juga.
Tak mau percaya begitu saja, Quartararo bertanya, "Bagaimana kamu tahu kalau Empcount adalah harta karunnya? Masih sukar dipercaya."
Senyum di wajah Xylo menghilang. Kalau dia menceritakan semua, ini hanya akan memperpanjang waktu. Xylo tidak suka membuang-buang waktu. Namun, agaknya dia tetap harus bercerita supaya Quartararo percaya dan dia dapat izin.
"Peta terakhir dari Bleedpool menuju ke Empcount. Di sana tidak ada peta lagi karena harta karunnya adalah Empcount sendiri." Xylo menjeda ucapannya. "Kedatangan hamba ke sini, hamba ingin meminta izin untuk membangun kota sendiri di sana. Sudikah Yang Mulia memberi izin tersebut?"
Air minum yang berada di mulut Quartararo menyembur. Dia yang tidak percaya dengan harta karun sebesar itu, kini sudah disuguhi kejutan lagi. Sial.
Quartararo mencoba berpikir. Dia akan memberi izin, asal ada untung baginya. Ya, meskipun Xylo anaknya, tetapi soal politik dan bisnis bisa dilibatkan, bukan? Teringat sesuatu, mungkin jalan ini bisa membuat untung.
"Tidak ada yang gratis. Aku bersedia memberikan izin, tetapi ...." Quartararo menggantung kalimat, membuat Xylo amat penasaran. "Kamu harus tetap menjadi emperor."
Emosi Xylo kembali di ujung. Apa benar Raja Quartararo di hadapannya ini seorang ayah bagi Xylo? Ayah macam apa dia? Xylo menarik napas, kemudian membuangnya begitu saja.
"Tidak." Sial, jawaban itu keluar dari mulut Xylo tanpa izin. Seharusnya dia berpikir lebih dulu sebelum menjawab, meski memang kata 'tidak' adalah yang paling mewakilkan.
Raja Quartararo mengangkat sebelah alis. Ada apa dengan putra sulungnya ini? Dia tertawa pelan. "Kalau begitu, Empcount tidak bisa menjadi milikmu." Quartararo berdiri dari singgasana, berjalan dengan perlahan menghampiri Xylo.
"Pilihan ada di tanganmu, Putraku. Lagipula, untuk apa kamu harus membuat kota sendiri di Empcount jika kamu bisa mengambil alih kerajaan ini. Bahkan, jika kamu setuju menjadi emperor, kekayaanmu akan berkali-kali lipat. Bukankah itu amat menyenangkan?"
Raja Quartararo membuat senyuman lebar setelah mengatakan hal tersebut. Memang benar, jika Xylo menjadi emperor keuntungan akan mengalir bagi keduanya. Dia heran, kenapa Xylo menolak keuntungan yang tidak dapat semua orang merasakan ini. Jalan pikiran anaknya sama sekali tidak dapat dia pahami.
"Aku tidak mau menjadi emperor, tetapi aku perlu menjadikan Empcount milikku." Setelah ribuan kalimat disunting di dalam kepala Xylo, akhirnya kalimat tersebut yang lolos. Pemuda penemu harta karun ini masih berharap sang ayah dapat mengerti.
Quartararo mengerutkan dahi. Dia menatap bola mata Xylo serius. Mencoba mencari apa yang terdapat dalam pikiran putra sulungnya ini. Sejak dulu, Xylo selalu saja menentang permintaannya. Bahkan, lebih memilih pergi dari kerajaan demi berbisnis dan mengejar harta karun itu. "Kenapa? Kenapa kamu perlu Empcount ketika kamu dapat menjadi emperor?"
Xylo memejamkan mata, menghela napas panjang. Kedua tangannya mengepal sempurna. Bagaimana cara menjelaskan pada ayah sialan di hadapannya ini? Lama berpikir, akhirnya Xylo menemukan jawaban yang tepat untuk membalas pertanyaan sang ayah.
"Aku membutuhkannya. Sangat. Aku bisa membuktikan, tanpa perlu apapun darimu, aku dapat berdiri. Aku hanya perlu izinmu untuk Empcount ini. Setelah itu, aku tidak akan meminta apa-apa."
Kali ini giliran Raja Quartararo yang menghela napas panjang. Apalagi yang direncanakan anaknya ini. Kapan dia akan mengerti jalan pikiran Xylo? Juga, kenapa dia amat membutuhkan Empcount? Dia memiliki firasat buruk tentang ini. Namun, tiba-tiba dia mendapat sebuah ide yang sangat cemerlang.
Dia tersenyum penuh arti sembari menatap Xylo. "Ah, aku mendapat ide, Putraku."
"Kamu ingin mengurus Empcount, 'kan? Hanya itu permintaanmu? Tak ada yang lain?"
Xylo mengangguk cepat sebagai jawaban. Dalam hati dia sangat khawatir, ada sesuatu yang direncanakan oleh ayahnya, dan itu tidak boleh terjadi. Tujuan Xylo harus tercapai, memiliki Empcount lalu menikahi Jocelyn. Hanya sesimpel ini padahal. Kenapa ayahnya harus mempersulit semua?
"Aku akan memberikanmu pilihan. Cukup baik untuk dipilih. Pertama, kamu boleh memiliki Empcount, tetapi kamu harus menjadi emperor. Kedua, kamu boleh tidak menjadi emperor, tentu, Empcount tidak akan menjadi milikmu."
Xylo menghela napas. Dia sudah mengira hal ini akan terjadi. Sialan, kenapa dia harus lahir di keluarga seperti ini? "Berapa lama aku akan mengurus Empcount jika aku juga harus menjadi emperor?" tanya Xylo dengan nada sedikit menekan.
Quartararo kembali ke singgasananya. Dia memperhatikan Xylo dari ujung rambut hingga sepatu. "Dua tahun. Cukup, 'kan? Kamu bisa meminta teman-temanmu itu untuk melanjutkan."
***
Sampai jumpa, terima kasih.
***Regards:
BRM UNIT
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]
Espiritual[SUDAH TAMAT] Sampai di penghujung perjalanan, petualangan terakhir di Empcount dipertanggungjawabkan kepada Jocelyn Doxianne. Meski merupakan "tanah kosong" tanpa penghuni, bukan berarti misinya berjalan mulus. Jocelyn bahkan berpikir mati lebih ba...