•12•

8 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Tidak ada perubahan signifikan selain tenaga makin tipis dan lelah bertambah. Tujuh orang itu tetap menyusuri daratan Bleedpool dengan ocehan Trapesium dan Freqiele sebagai pengiring. Bukan tidak tahu situasi, Freqiele pikir ada baiknya melupakan sejenak kejadian tadi.

"Tuhan, anggap aku bicara dalam hati. Kuyakin lima puluh meter berjalan lagi kakiku akan putus."

Ujaran lantang Trapesium menyulut adu mulut seketika. "Ucapan adalah doa," sahut Cello santai.

Trapesium seketika berhenti dan berulang kali mengetuk-ngetuk batu besar dengan tangan. "Astaga, astaga, astaga. Aku hanya bercanda. Hidup masih panjang dan belum menikah dengan Kak Woody. Kakiku tidak boleh putus. Hua, aku--"

"Berisik!" Mendengar seruan Xylo, Trapesium langsung menutup mulut karena terkejut. "Sekali lagi bicara kuputus pita suaramu, Esi!"

Freqiele terkekeh, menarik Trapesium agar bangkit. "Tuan hanya bercanda. Makanya, jangan mengeluh. Ayo semangat!"

Tidak perlu dua detik untuk senyum cerah kembali menyinari wajah Trapesium. "Zea, kamu dengan Doxi saja, ya. Aku mau di depan, dadah." Dia berjalan riang menggandeng Freqiele, memimpin di garda awal.

Xylo mendengkus. Kali ini enggan memperpanjang masalah. Biar saja budaknya itu hendak berbuat apa. Dia sudah cukup lelah. Dapat Xylo dengar Trapesium dan Freqiele mengobrol tentang Jocelyn. Lagi-lagi hatinya merasa tidak tenang.

Dasar Xylo tidak peka! Nah, mungkin benar. Satu-satunya kekurangan yang Xylo sadari adalah dia tidak peka dengan perasaan orang lain. Lain kali dia akan mencoba lebih baik lagi. Itu pun kalau ... Jocelyn mau bicara lagi dengannya.

Cello menyenggol bahu Woody, membuat lelaki yang fokusnya sedang pada gadis bergaun kuning itu terhuyung. "Hoi, aku bisa jatuh!"

"Ck, Esi tidak akan hilang. Jangan dipelototi begitu," cibir Cello, "ah, tetapi benar juga. Esi butuh perlindungan lebih karena otaknya agak berbeda dari kita. Tidak seperti gadisku yang pemberani, maskulin, dan luar biasa."

Woody memutar bola mata malas. "Sial, bisa rusak telingaku setiap hari mendengarmu memuji Freq."

Tangan kiri Cello merangkul Woody yang sama tingginya. "Tenang, Bung, telingamu akan benar-benar rusak kalau begitu. Kupastikan setiap hari kamu mendapat pasokan konten dari kami."

Xylo tersenyum masam. Dia pemimpin pasukan dan kaptennya, tetapi dia juga yang diabaikan. Cih, diam-diam Xylo menyesal tidak membawa serta Jocelyn di perjalanan ini.

Lihatlah rombongan timpang itu, terpecah jadi empat kubu. Baris depan ada Freqiele dan Trapesium yang sedang membahas Famquite. Di samping kanannya Cello sedang mengagung-agungkan Freqiele, membuat Woody gerah. Terakhir, di belakangnya, Doxi terus bercerita pada Zealire tentang seluk-beluk Bleedpool. Kubu terakhir? Di tengah rombongan, Xylo seorang diri.

Merasa sudah di ambang batas, Xylo menunjuk salah satu gua yang cukup besar di arah barat daya. "Kita bermalam di sana."

Ucapan Xylo adalah perintah. Semuanya menuruti dengan letih terpampang di wajah masing-masing. Berbekal pemantik api, Xylo masuk terlebih dahulu untuk mengecek kondisi gua. Dirasa aman, dia menyuruh yang lain masuk.

"Laki-laki ikut denganku cari ranting untuk dijadikan api unggun. Perempuan siapkan makan malam," titah Xylo.

Kira-kira setengah jam, mereka kembali berkumpul. Suasana menyenangkan, meski terasa hampa. Tentu saja, ketidakhadiran Jocelyn membawa dampak sedikit-banyak.

Usai makan malam dengan roti dan air, mereka duduk melingkari api unggun. Lagi-lagi, Xylo merasa sendirian. Dia akhirnya keluar dan duduk di bibir gua.

Matanya menatap langit bersih tanpa awan. Rembulan terlihat cantik dan berseri. Tiba-tiba muncul pertanyaan di benak Xylo. Apa harta karun yang sedang dia cari? Jangan bilang semuanya hanya isapan jempol semata?

Tidak. Instingnya mengatakan dia berada di jalan yang benar. Hanya saja, kali ini dia benar-benar tidak memiliki petunjuk. Rupa harta karunnya pun dia tak tahu.

Emas? Berlian? Perhiasan? Peta negara selanjutnya? Xylo tidak bisa berpikir jernih dengan mata terbuka.

Maka dari itu, pria tersebut memejamkan mata. Menikmati silir angin yang menerpa. Tenang. Sunyi. Menenangkan.

Mata Xylo seketika terbuka. Dia terduduk tegap sampai punggungnya lurus membelah garis khatulistiwa. Semangat dan euforia meledak-ledak di jiwanya. Dia tahu sekarang.

Harta karunnya ... sudah ketemu. Di depan mata. Memang benar, Xylo tidak peka. Namun, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Dia segera berlari ke gua, membuat enam orang yang tengah berbincang menatap heran. Melihat kilat antusias di netra Xylo, yang lain saling pandang. "Aku sudah tahu."

"Tahu apa, Tuan?" tanya Trapesium tanpa bisa menunggu.

"Harta karun itu."

Mendengar hal tersebut, seruan tertahan dan wajah penasarana langsung menyambut Xylo. "APA? Mana harta karunnya?!"

Xylo tersenyum lebar. "Empcount."

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang