Selamat datang, selamat membaca
***
"Selamat datang di Zararia, Pangeran Xylo," sambut seorang lelaki dengan setengah membungkuk. Dia sudah mendengar kabar dari Raja Quartararo bahwa Xylo dan Fen adalah kedua putranya, hal itu cukup mengejutkan banyak publik. "Saya Pell, akan mengantarkan Pangeran menuju ruangan di mana Count Felix sudah menunggu."
Pengawal itu tampak sangat ramah, Xylo mengangguk, kemudian memberi kode pada Jocelyn lewat matanya yang langsung dipahami perempuan itu. Jocelyn meggiring teman-temannya menjauhi istana pemerintahan dan pergi menuju sebuah pasar tak jauh dari sana.
Pintu besar berwarna putih tulang terbuka, menunjukan seorang lelaki muda yang tengah duduk dengan beberapa buku menumpuk di depannya. "Pangeran Xylo datang, Count Felix."
Felix melirik sebentar, terkejut sampai tak sengaja menjatuhkan bukunya. Dia buru-buru bangkit dan mebungkuk setengah badan. Namun, Xylo yang melihatnya tersenyum dan menghampiri, memegang bahu Felix dan berkata, "Tidak usah sungkan begitu, kita akan menjadi teman sebentar lagi."
Canggung, Felix mengangguk. Kemudian, memberi isyarat pada pengawal Pell untuk meninggalkan mereka berdua saja. Saat pintu sudah tertutup, lelaki berambut merah yang sudah empat tahun memimpin Zararia itu langsung memeluk Xylo yang juga membalas.
"Si Bodoh ini, ke mana saja baru datang saat ini?!" seru Felix, sedikit terisak.
Xylo terkekeh dalam dekapan Felix, setelah memutuskan konrak fisik, mereka saling menatap bangga. "Kenapa Tomat sepertimu selalu keren?" tanya Xylo yang dihadiahi pukulan oleh Felix.
Mereka berdua duduk setelah Felix mempersilakan. Xylo meminum tehnya, kemudian mulai menjelaskan. "Tujuanku ke sini untuk mengajak Zararia bekerja sama dalam bidang logistik."
Felix mengangguk-angguk. "Itu hal mudah, kirimi aku surat kapan pun kamu butuh bantuanku. Sebagai awalan, akan kukirim beberapa bahan pangan. Kudengar negaramu sangat luas, ya?" sahut Felix.
Xylo mengangguk beberapa kali, kemudian melipat tangannya di depan dada. "Luas sekali, akan banyak pembangunan dan itu pasti menguras perekonomian, 'kan?"
Rambut merah Felix bergoyang, setuju dengan pemikiran Xylo. "Hm, apa yang kaya di negaramu? Maksudnya ingin dikenal dengan apa?"
"Itu ...." Senyuman jahil Xylo membuat Felix terbahak sampai dia terjungkal ke belakang. "Tambang emas, sepertinya ada di sana."
"Menarik, wilayah besar dengan tambang emas. Kurasa masa depan cerah akan menghiasi Empcount." Xylo tertawa. "Oh, iya. Bagaimana bisa akhirnya ayahmu mengumumkan bahwa kamu dan Fen adalah putranya? Itu sudah lama sekali!" tanya Fen yang penasaran.
Xylo mendesis kecil, mengangkat lagi cangkir gelas tehnya. "Kamu tahu aku, Lix. Apa pun yang kumau pasti bisa," jawab Xylo misterius.
Felix lagi-lagi tertawa. "Dulu, kita masih anak lima tahun yang menangis bersama di rumah kaca tersembunyi istana pusat jika ayahku memiliki pertemuan dengan ayahmu. Sekarang lihatlah, siapa pemimpin Empcount?"
Xylo terkekeh lagi, dia menarik napas berat, menaruh gelas tehnya, kemudian mendekatkan diri pada Felix. "Apa kamu pernah dengar tentang putri kerajaan sebelah?"
***
Freqiele mengambil sebuah mawar putih dari sebuah toko, kemudian menciumnya. "Wah, harum!" puji gadis itu.
Cello yang melihat langsung mengeluarkan uang dan membayarkannya pada pejaga toko. Hal itu membuat Freqiele cukup terkejut, tetapi langsung dibalas oleh Cello. "Bunga yang cantik, untuk orang cantik."
"Kamu memang yang terbaik!" seru Freqiele.
Sedangkan, di tempat lain, Jocelyn menatap kucing jalanan berwarna putih, dia mengelusnya dan tersenyum. "Kamu cantik, tetapi tidak mendapat sesuatu yang cantik juga, ya? Tidak apa, sama sepertiku. Mau berteman?" tawar Jocelyn pada kucing itu.
Seakan mengerti, kucing itu menatap lekat Jocelyn, lalu melangkah ke dekat kaki wanita sedang berjongkok itu. Seketika hati Zealire mendesir lega, sungguh peka hewan lucu satu ini. Dia mengelus-elus lembut.
Sementara di sisi lain, Trapesium bersama Woody di sampingnya tampak beradu argumen. Mereka berada di depan toko suvenir.
"Ah! Kamu tidak romantis, Kak Woody!" Trapesium melipat tangan di dada. Bibirnya mengerucut. "Jelek!"
"Esi, ini lucu. Lihat, ekspresinya menggambarkan pribadimu sekali," ujar Woody terus merayu Trapesium dengan gantungan berkarakter monyet menjulurkan lidah dengan mata juling. "Ayo gantungkan di ranselmu."
Hah. Trapesium benar-benar jengkel. Woody tidak seperti Cello yang sangat romantis. Tidak, tidak, tidak. Seharusnya Trapesium tak berpikiran seperti itu. Woody juga romantis pada saatnya. Lagi, apa maksudnya ... seperti pribadimu? Hei! Apakah Woody menyamakannya dengan seekor monyet?!
Dada bidang itu dipukul dua kali oleh Trapesium. "Kamu bohong, Kak! Dulu kamu pernah bilang jika Dewi Rawi-mu ini cantik sekali. Akan tetapi, nyatanya kamu menyamakanmu dengan monyet ini juga," cibirnya.
"Bukan itu maksudku," balas Woody lembut, "lihat, monyet ini selalu tampak ceria, sepertimu. Kamu tahu? Bohong jika dulu aku pernah bilang tak suka kamu banyak bicara. Ketahuilah, dulu aku hanya gengsi. Hahaha."
Sial. Pipi Trapesium memerah seperti tomat matang sempurna. Dia menutup asal wajahnya dengan sebelah tangan. "Kamu sedang menggodaku, Kak? Tolong bantu aku, agaknya aku terbawa perasaan!"
Woody mengedikkan bahu. "Aku tidak sedang menggodamu. Hanya membujuk agar kamu tak marah, nanti aku juga yang repot. Kena ocehan setiap detik tanpa henti. Aku tak mau ambil risiko, Esi."
"Jadi, wajahku benar-benar seperti monyet? Tunggu, apakah kamu menyukai hewan itu? Kalau iya ... tidak apa-apa deh, Esi disamakan dengan monyet, asal tetap disukai Kakak, hehe."
Woody mengacak surai gadis itu, gemas, tetapi benar-benar sampai berantakan. Esi diam saja diperlakukan seperti itu.
Dengan senyum polosnya, Esi berkata, "Ah, Kak. Kamu benar-benar sudah cocok jadi suamiku. Aku sangat suka diperlakukan seperti ini."
Woody menjawab, "Diperlakukan seperti monyet maksudmu?"
"Iyalah, apa lagi."
Refleks, kedua sudut bibir Woody terangkat. Trapesium, pemilik nama itu sungguh polos, rasanya, Woody semakin cinta. "Sudah, sudah. Tak akan ada berhentinya jika terus berdebat seperti ini. Terima saja pemberianku, Nona Manis."
"Ya, ya, Kak. Nanti kugantung di ranselku, ada di kapal," ujar gadis itu, "sini, biar kukantongi."
"Hei! Woody, Esi!"
Itu adalah panggilan dari Doxi, dengan kelima orang di belakangnya. Mereka mendekat ke arah pasangan itu.
"Esi, kamu tahu? Di belakang sana ada danau dan beberapa perahu kecil!" Zealire antusias, manik matanya berbinar.
Trapesium tak mengerti, dahinya berkerut membuat alisnya bertaut. "Lalu, kita akan pergi memancing, Zea?"
Menepuk jidatnya sendiri, Zealire membalas, "Maksudku, apakah kamu tidak ingin berkencan dengan Woody di atas perahu? Kita bisa triple date, membeli beberapa pai agar terkesan romantis."
Ada kebahagiaan tersendiri bagi orang-orang di sana, melihat Zealire sudah semakin berubah, malah tampak lebih ceria dari biasanya. Ragu, Trapesium menatap Jocelyn. "Bagaimana dengan Joce?"
"Joce akan bersama perahuku dan Doxi, jangan khawatir. Ayo!"
Trapesium mengangguk semangat. "Ayo!"
Baru tiga langkah, mereka harus terhenti karena sebuah teriakan dari belakang. Itu suara Xylo. "Hei! Mau ke mana? Ayo pulang!"
***
Sampai jumpa, terima kasih.***
Regards:
BRM UNIT
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]
Spiritual[SUDAH TAMAT] Sampai di penghujung perjalanan, petualangan terakhir di Empcount dipertanggungjawabkan kepada Jocelyn Doxianne. Meski merupakan "tanah kosong" tanpa penghuni, bukan berarti misinya berjalan mulus. Jocelyn bahkan berpikir mati lebih ba...