•17•

4 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

"Perjalanannya makan waktu berapa lama?" tanya Cello pada Fen yang sejak tadi hanya tersenyum sembari menyimak obrolan ketiganya.

Fen menimbang-nimbang. "Sekitar tiga puluh menitan lagi." Cello mengangguk, kemudian tersenyum ke arah Freqiele. Tak berhenti sampai di sana, Fen yang kini bertanya, "Jadi, tuan yang kamu maksud itu Tuan Xylo?"

Freqiele mengangguk. "Seperti kamu lihat."

Fen terkikik sendiri. "Apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Kenapa orang itu aneh sekali?"

"Aneh, apanya?"

Fen mendekatkan wajahnya, membuat ketiga orang di sekitar ikut melakukan hal yang sama, mengikis ruang diskusi mereka. "Sebenarnya ... Tuan Xylo adalah kakakku."

"APA?!"

Freqiele dan Cello bertatapan setelah keterkejutan mereka bersama. Sedang Aresh ikut tersentak karena kagetnya dua sejoli itu. Fen tambah terkikik lagi. "Ini rahasia kerajaan sebenarnya. Aku adalah anak dari Raja Quartararo, yang berarti Tuan Xylo adalah kakak pertamaku."

Seisi kereta kuda terdiam, berusaha mencerna. "Kalian tahu, 'kan, ada baiknya anak pertama raja menikah dengan anak pertama raja juga. Agar dia menjadi emperor."

Aresh mengangguk paham. "Aku mengerti soal itu. Jadi, gelar baronmu itu palsu dan juga isu bahwa Raja Quartararo memiliki anak benar?" tanyanya.

Fen mengangguk. "Sebenarnya begitu. Anak Raja Quartararo cukup banyak, aku bahkan tidak tahu siapa yang benar-benar saudaraku. Namun, dalam kasus Tuan Xylo, dia benar-benar pangeran, karena Ratu Etiarda yang mengandung kami."

"Kenapa tidak memberitahuku soal hal seperti ini? Pantas saja di hari pernikahan tidak ada keluargamu yang datang," rutuk Aresh.

Fen terkekeh. "Kita tidak pernah terjebak pembicaraan serius. Maafkan aku."

"Jadi kamu sudah menikah dengan Aresh, sisa Tuan Xylo sebagai anak pertamanya yang berarti ...." Cello menggantungkan ucapannya, mereka saling menukar tatap, sebelum akhirnya Freqiele membekap mulut sendiri.

"Tuan Xylo harus menikahi putri raja kerajaan sebelah agar dia bisa menjadi emperor?"

Jentikkan jari dari Fen membuat semuanya semakin jelas. "Nah, itu makanya. Keberadaan kami tidak diketahui siapa pun, kalian pasti tahu, setelah hari pernikahan resmi Raja Quartararo dan Ratu Etiarda, tidak pernah lagi ratu terlihat."

Aresh lagi-lagi mengangguk, hanya dia yang mengerti soal ini. "Itu benar, aku sering ikut ayah untuk kunjungan ke pusat pemerintahan, tetapi kami tidak pernah bertemu ratu."

"Nah, itu. Ratu dikurung setelah hamil dan melahirkan Xylo juga aku. Dua tahun lalu, Xylo bilang kalau dia tidak mau menjadi emperor, karena akan sangat berat tanggung jawabnya. Lelaki gila itu memilih kabur dan mulai berbisnis sana-sini. Lalu, kudengar dia membeli budak untuk membantu menemukan harta karun rahasia yang hanya segelintir orang saja pengetahunya."

Fen mengambil napas. "Kupikir dia datang sekarang untuk pulang dan menyerah, jadi kusambut dengan baik," lanjut Fen santai.

Freqiele dan Cello kembali bertatapan, entah untuk keberapa kalinya. "Tuan Xylo berhasil mendapat harta karun itu dan mau meng-claim hari ini. Empcount adalah hartanya."

Fen langsung duduk tegak. "Empcount? Harta? Jangan bilang kalau dia jatuh cinta juga?"

Freqiele menggeleng, membuat Fen mengusap dadanya. "Tidak. Aku akan bilang, Tuan kami jatuh cinta pada seorang budak."

"Baiklah, persiapkan diri kalian, kita semua akan mati," ucap Fen, setengah terguncang. "Aku tahu pikirannya, dia akan membagun kota di Empcount, lalu melengserkan peraturan kasta. Ya, dia mendapat semua dengan satu dua kali langkah."

Dahi Freqiele mengerut, mencerna baik-baik perkataan Fen. "Akan tetapi, apakah semudah itu Tuan Xylo mendapat persetujuan dari Raja Quartararo? Agaknya sulit, aku tidak begitu yakin semuanya akan berjalan lancar begitu saja."

"Benar," timpal Cello, "sejujurnya aku khawatir, terutama dengan hubungan Xylo dan Jocelyn. Raja Quartararo pasti akan marah jika salah paham, mengira Tuan Xylo membantah dan pergi dari kerajaan, hanya untuk mengejar cinta seorang budak."

Lagi, Fen terkekeh. "Kakakku itu pemberani, pasti akan memperjuangkan apa yang dia inginkan sampai dapat. Akan tetapi, untuk urusan ini aku tidak tahu. Takut-takut dia malah tidak bisa pulang lagi ke kapal setelah ini. Ah, agaknya aku berpikir terlalu buruk."

Freqiele sempat membaca pikiran Fen, kekehannya itu palsu. Hatinya pun merasa cemas, tetapi dia berusaha menyembunyikan semua itu.

Bibir Freqiele cemberut, menatap Cello dalam di sampingnya. Semangat yang tadi dirasakan, sepersekian menit berubah menjadi rasa takut. Beberapa menit lagi, mereka hampir tiba di kerajaan. Sungguh, jantung gadis itu berpacu dua kali lebih kencang dari biasanya.

"Kenapa?" Cello membuka suara. "Lucu, si pemberani ternyata bisa sekhawatir ini." Cello menggenggan tangan Freqiele, gadis itu tak memberontak. "Hei! Kamu tremor, hahaha. Lihat, tanganmu seperti sedang dilanda gempa bumi." Cello terus mengayun-ayunkan tangan mungil Freqiele.

"Aku benar-benar merasa khawatir, Cello. Kamu malah menertawakanku, dasar lelaki binal!"

"Asal kamu tahu, Freq. Dulu aku pernah jatuh cinta pada Cello salah satu alasannya adalah karena dia gampang tertawa, dan itu menular. Membuatku bahagia setiap harinya." Aresh tiba-tiba berujar demikian. "Tenang, Freq. Itu dulu, sekarang aku sudah punya pangeran tertampan, terbaik sehidup semati. Wajahmu berubah tegang, Freq, hahahaha."

Tidak ada maksud lain bagi Aresh mengatakan itu, hanya untuk mencairkan suasana. Jika tegang seperti tadi, rasanya canggung.

Kedua tangan Freqiele terulur, mencubit kedua pipi Areh gemas. "Bisa-bisanya kamu menggodaku, dan itu berhasil. Aresh, kamu sungguh menyebalkan." Freqiele terus menguncang pipi wanita itu.

"Omong-omong, Jocelyn di kereta mana?" tanya Cello, "bersama Xylo?"

"Tunggu, apakah Jocelyn itu ... seorang budak yang disukai Xylo?" Perkataan Fen tepat sasaran, dibalas anggukan oleh kedua orang itu. "Entah mengapa ... aku mempunyai sebuah firasat dari nama itu. Baik buruknya aku tidak tahu persis."

***

"Ah! Bokongku rasanya hendak patah!" Trapesium memegangi bokongnya dengan rintihan. Sungguh, mulut gadis itu tak henti-hentinya mengoceh sedari tadi. "Tolong, kenapa lama sekali?"

Doxi mulai merasa geram, ingin sekali menyumpal mulut si Kuning itu dengan rerumputan yang biasa dimakan sapi-sapi di peternakan. Dia merogoh kantong, mendapatkan sebuah sapu tangan putih dari dalam sana.

"Kak Woody, tolong gendong aku. Kamu tidak akan rela bukan, jika aku pergi ke tabib untuk mengobati bokong--"

Hap!

Sapu tangan itu sukses menyumpal mulut Trapesium, seketika menghentikan ocehan beruntun gadis itu. Trapesium meronta-ronta, mengeluarkan benda yang menyumpal, melemparnya ke arah lelaki sialan tadi. Persetan dengan bau liur!

"Dasar Doxi sialan!" Trapesium melipat tangan di dada, lalu melirik ke arah Woody dengan wajah memerah menahan tawa. "Kak Woody, Doxi jahat! Apakah kamu tidak berniat menghukumnya?"

Mengembuskan napas, mata Doxi mendelik. "Apa pun hukuman itu, aku tidak takut. Asal hentikan ocehan tak jelas itu, sangat menganggu momenku dengan Zealire, tahu."

Hentakan sepatu kuda yang semula terdengar kencang, kini mulai pelan. Semua orang di sana menatap ke arah depan, rupanya mereka akan segera sampai.

***
Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang