•11•

5 0 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

"Cukup, Tuan. Kamu bisa membunuhnya!" Woody berteriak memperingati Xylo. Lelaki terlihat kesetanan saat menganiaya Shaq yang terkapar tidak berdaya. Jika saja tidak sedang memegangi Barve, dia pasti langsung menghentikan aksi itu.

Doxi malah menikmatinya. Sesekali menahan Shaq yang akan bangkit agar tetap berbaring di tanah. Xylo cukup puas membuat kepalan tangan dan sepatunya saling berjibaku dengan tubuh Shaq. Napas memburu, keringat pun mulai keluar dari pori-pori kulit.

Baron berwajah tampan itu segera mencari batu terdekat untuk diduduki. Setelah bokong melesak di sana, kepalanya mendadak pening. Tidak seharusnya dia menampar dan memarahi Jocelyn. Dia harusnya sadar akan perubahan sikap wanita itu, bukan malah membiarkan emosi mengambil alih diri. Sekarang, dia hanya berharap Jocelyn baik-baik saja.

"Kak Woody!"

Gadis bergaun kuning yang baru muncul langsung melotot. Cello berdecak saat mendapati Freqiele dan Zealire menyusul Trapesium. Namun, rasa khawatir tak urung untuk memenuhi hatinya. Trapesium lantas memeluk Freqiele, dia kalut dengan pemandangan itu. Untung saja Woody-nya tidak apa-apa.

Sedangkan Zealire, tubuhnya menegang saat melihat orang-orang yang diringkus. Apalagi saat melihat Shaq yang menyeringai ke arahnya. Lutut Zealire mendadak lemas, dia jatuh terduduk.

"Hai, Zea. Apa kabar? Bukankah baru kemarin pagi kita bersama di penginapan?"

Mendengar itu, Doxi langsung memukul Shaq. Masih tetap tenang, tetapi dia sangat membutuhkan rokok untuk penenang sekarang. "Diam atau mati?"

Shaq tertawa. "Baiklah. Zea pun terlihat sangat membenciku setelah malam panjang itu."

Freqiele dengan cepat membaca situasi. Saat menyentuh lengan Zealire, dia harus menahan rasa ingin menghajar Shaq. Rasa marah, kecewa, bahkan kesedihan yang langsung mengambang. Dia segera mendekap gadis yang mulai menangis itu. Trapesium ikut bergabung dengan raut bingung. Freqiele tidak berniat repot-repot menjelaskan, akan mengorek luka Zealire makin dalam.

Dua bandit yang bersama Shaq juga terlihat babak belur. Terutama Dorin yang dihajar Cello karena berani berkata cabul tentang Freqiele yang menggoda dengan rambut cepaknya. Jika tidak ada yang mengahalangi, Xylo mungkin sudah menghabisi tiga bajingan itu demi menebus rasa bersalah pada Jocelyn.

"Apa yang akan kita lakukan pada mereka, Tuan?" tanya Woody, lelaki paling tenang.

"Bunuh!"

Nyaris semua orang melotot ke arah Trapesium yang berdiri sambil menunjuk-nunjuk rombongan Bleedpool itu. Xylo bahkan tersedak air ludahnya. "Ternyata kamu pintar, Esi."

"Mereka pasti sudah melakukan sesuatu pada Joce hingga seperti itu. Zea pun terlihat ketakutan. Pasti mereka orang jahat, pantas dihukum." Itu seperti bukan Trapesium, Freqiele sampai terpukau melihatnya. Ternyata dia bisa menyimpulkan secepat itu.

Shaq melepas belenggu Doxi hingga beberapa detik kemudian dia sudah lepas dari ringkusan. Masih bisa berdiri kukuh tanpa menampilkan wajah kesakitan. Menyeringai sambil menatap satu per satu orang di sana. "Orang-orang suci seperti kalian tidak pantas membunuh. Kami akan segera pergi dari pulau ini. Lagi pula, harta karun itu sudah kami nikmati. Benar, 'kan, kawan?"

Seperti tidak puas akan serangan tadi, Brave dan Dorin tertawa mendengar guyonan Shaq. Doxi bersiap melayangkan kepalan tangan, tetapi kali ini Shaq menghindar dengan cepat. "Mengapa kamu sangat marah ketika aku membahas perempuan itu? Sudah tidak tertarik dengan Zea karena dia adalah bekasku?"

Zealire makin tergugu. Trapesium bahkan sudah ikut menangis sambil memeluknya. Shaq yang ini, sangat berbeda dengan dahulu. Lelaki bertato naga dengan tatapan lembut, sekarang tak lebih dari bajingan yang pantas dimusnahkan.

Kali ini, Shaq tidak sempat menghindari tendangan Doxi di perutnya. Dia terhuyung ke belakang, nyaris jatuh. "Jangan berani-berani mengganggunya lagi. Ini peringatan terakhir, Shaq. Harusnya tidak kubiarkan kamu menghampiri Zea saat itu."

Shaq mengangkat bahu. Tubuhnya tidak dapat membohongi rasa sakit, maka dari itu dia memilih kabur layaknya pengecut. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia menyempatkan untuk berteriak. "Kamu tidak pantas memakai gaun putih, Zea. Dirimu sudah tidak suci lagi!"

Zealire makin terisak. Bersama keping hati yang sudah sirna. Dia dipermalukan di depan rekannya sendiri.

***

Matahari sudah mulai condong ke barat. Xylo dengan sejuta obsesi pada harta karun tetap memilih melanjutkan perjalanan. Mereka memilih beristirahat sejenak dengan perasaan kacau.

"Ayolah, Zea, setidaknya minum sesuatu agar tidak kekurangan cairan." Trapesium terus menyodorkan botol air pada Zealire, tetapi gadis itu menatap kejauhan tanpa merespons. "Mereka pasti tenggelam di laut dan dimakan hiu, tidak perlu dipikirkan lagi."

Trapesium membuang napas. Freqiele menepuk bahunya, menggeleng. "Jangan dipaksa, Esi. Biarkan dia menenangkan diri dahulu."

Anggukan lemah sebagai tanda menyerah. Kali ini Trapesium merecoki Woody, bertanya mengenai keadaan hingga memaksanya untuk minum. Yang benar saja, perut Woody nyaris kembung karena air.

"Freq, biar aku yang berbicara pada Zea." Doxi datang. Dia menyelipkan rokok ke sela bibirnya, lalu mengeluarkan asap yang mencemari udara.

Freqiele menurut saja, dia ingat saat Doxi menenangkan Zealire. Mungkin mereka memang sedekat itu. Gadis berambut cepak tersebut mulai menghampiri Cello yang sedikit terisolasi, sengaja memberi privasi.

Zealire masih tidak memedulikan Doxi. Lelaki itu terus menghisap nikotin hingga nyaris habis. Melempar dan menginjak untuk mematikan puntung rokok. "Joce itu kakakku. Kami cukup lama berpisah, sejak aku masih berusia tiga tahun."

Doxi tersenyum miris. Zealire diam-diam mulai mendengarkan cerita itu. "Aku bahkan tidak mengingat Jocelyn. Ayah menjualnya saat berusia enam tahun karena krisis ekonomi. Aku tidak terbayang bagaimana kondisinya saat itu. Hingga beberapa tahun lalu, dia tiba-tiba datang ke Bleedpool dengan cerita peliknya sebagai budak. Ayah dan ibu menyesal dengan apa yang mereka lakukan pada Joce. Aku pun baru mengenalnya saat itu. Lalu ...."

Cerita berhenti. Dirasa tidak ada tanda-tanda Doxi akan melanjutkan, Zealire langsung menoleh. Tatapan mata mereka berserobok. "Kamu penasaran?" Pertanyaan Doxi mendapat anggukan kecil sebagai respons.

"Maka berjanjilah untuk melupakan bajingan itu. Ini perintah Jocelyn padaku agar menjagamu."

Zealire tidak bisa berjanji akan hal yang tidak pasti. Dia memang berniat melupakan Shaq, tetapi pertemuan tiba-tiba tadi ... sudahlah. "Maafkan aku--"

"Jangan meminta maaf dan menyalahkan dirimu."

Pasrah, Zealire mengangguk lagi. "Aku akan berusaha."

Doxi mulai mengambil napas untuk melanjutkan cerita. "Memang kamu percaya ada orang baik di Bleedpool? Oh, tentunya aku."

"Ya, ya. Kamu memang baik."

"Ekhem, lanjut. Semua orang di Bleedpool aslinya buruk. Pasti ada tindak kriminal yang mereka lakukan, termasuk keluargaku. Namun, sejak kedatangan Joce saat itu, ayah mulai sadar dan keluar dari komplotan pencuri yang menjadi sumber penghasilan selama ini. Joce harus kembali ke tempat asalnya, keluarga kami mulai hidup dengan menjauhi hal-hal semacam itu. Namun, orang-orang Bleedpool tidak terima dan membunuh ayahku."

Zealire menoleh untuk mengamati ekspresi Doxi. Pria itu kembali menyalakan rokok, terlihat kacau. Rambut dan pakaian acak-acakan. Perlahan, sudut bibir Zealire tertarik. Badai pasti berlalu dan badai di tempat lain bisa saja lebih menyeramkan.

"Kita lanjutkan perjalannya!" Xylo berseru.

***

Terima kasih, sampai jumpa.

***

Regards:
BRM UNIT

EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang