Selamat datang, selamat membaca.
***
Sungguh makan pun tidak bisa tenang. Mendengar suara dan gelak tawa mereka seolah sangat ... sangat menghina dirinya yang sudah begitu kotor sekarang. Lebih kotor daripada Zealire sekalipun.
Jocelyn mencoba menelan gumpalan makanan di mulutnya susah payah. Air mata hendak keluar lagi, tangannya bergetar hebat. Dia bahkan tidak mampu menyelesaikan acara makan siang. Persetan dengan makan, yang gadis itu inginkan sekarang hanyalah pergi sejauh mungkin dari tiga lelaki berengsek tersebut!
Berpegang pada tongkat kayu, gadis itu bergegas menjauh dari sana. Mencoba menulikan telinga dan tidak peduli dengan sekitarnya, meski dalam hati dia ingin menjerit kencang, berlari sejauh mungkin, dan menangis sampai air mata kering.
"Jocelyn yang bodoh ... Jocelyn sangat bodoh," gumamnya terus mengatakan hal yang sama secara berulang.
Sekuat dan secuek apa pun Jocelyn kelihatannya, dia lebih rapuh, mentalnya hancur sekarang. Entah harus ke mana dan mau bagaimana lagi, kakinya hanya bisa terus melangkah tanpa henti.
"Maafkan aku Tuan Xylo, maafkan aku Zealire ... maafkan aku Freqiele, maaf Trapesium." Suara rintihan dan keheningan total di sekitarnya seolah menelan bulat-bulat Jocelyn.
Dilihat sekarang pun gadis itu sangat terguncang dengan apa yang baru saja dialaminya. Tubuh memang perih, tetapi lebih sakit hatinya. Mereka menyentuh, melecehkannya, bahkan tertawa mengejek.
Matanya kembali basah. Terik mentari sedang tidak membiarkan Jocelyn menderita sementara. Terlalu kejam bagi Jocelyn yang selalu percaya takdirnya baik.
"Hei, kamu tahu? Katanya ada satu wanita yang berkeliaran di tempat ini! Bagaimana kalau kita mencarinya? Di tempat kosong seperti ini, bermain bersama wanita adalah hiburan paling menyenangkan." Seseorang mengoceh di belakangnya.
"Harta karun dalam harta karun, begitu?" sahut temannya yang lain mengudang gelak tawa.
"Hahaha. Kamu pandai sekali berbicara, Bung!"
Sementara gadis itu kembali gemetar hebat, para lelaki berengsek tersebut dengan mudahnya saling melempar candaan seolah dia ini adalah barang mainan. Jocelyn meringkuk di bawah pohon besar, diam di tempat tidak bergerak sedikit pun.
Sore menjelang, silir angin yang tak ramah mengusik rambut gadis itu. Menyapu pipinya merah padam akibat meredam marah dan kecewa, ditambah mata bengkak tidak berupa. Jocelyn kacau.
Hampir gila, mungkin kata tersebut yang mendefinisikan keadaannya sekarang. Bagaimana gadis itu menggumamkan kata maaf, memaki dirinya sendiri. Kesombongannya selama ini telah hilang.
"Maaf Tuan Xylo, aku bahkan mengingkari perkataanku sendiri. Aku ... tidak sanggup menjaga kehormatanku sendiri, aku ... tidak sanggup menyelesaikan misi ini lagi. Aku sungguh ketakutan," racau Jocelyn.
Dia ingin diselamatkan dan tuannya datang. Apanya yang negeri kosong? Ini neraka! Sendirian, sunyi dalam penderita sungguh mengerikan.
"Zea, kamu salah. Aku tidak lebih pintar darimu, aku sangat bodoh!" hardiknya pada diri sendiri.
Saat hening makin menenggelamkannya, hari berganti malam. Sepi bukan hanya menjadi temannya kini, tetapi juga gelap. Jocelyn membaringkan dirinya di rerumputan tinggi, masih di tempat yang sama memeluk kedua lututnya, memejamkan mata.
"Aku harap ini hanya mimpi buruk," bisiknya berusaha terlelap.
Dia ingin melupakan sejenak tentang kejadian yang tidak mengenakan yang baru menimpanya. Melupakan kedatangan tiga moster berwujud lelaki itu yang menggerayapi tubuhnya, dia sedang tidur bukan ditiduri. Besok pasti baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPCOUNT: JOCELYN DOXIANNE [SERIES 4]
Spiritual[SUDAH TAMAT] Sampai di penghujung perjalanan, petualangan terakhir di Empcount dipertanggungjawabkan kepada Jocelyn Doxianne. Meski merupakan "tanah kosong" tanpa penghuni, bukan berarti misinya berjalan mulus. Jocelyn bahkan berpikir mati lebih ba...