[Zakira Andelin]
"Ini ... punya lo?"
Sesaat, gue bisa melihat Zavin dengan senyum tipisnya tadi memperhatikan tangan gue. Di sana ada sticky note yang beberapa hari lalu gue dapat dari orang asing itu. Wajahnya berubah datar membaca tulisan di kertasnya, lalu satu alisnya terangkat.
"Itu ... kenapa dengan itu? Ada yang salah?" tanya Zavin kemudian.
"Gue cuma mau mastiin aja. Ini punya elo atau bukan."
"Kalau punya gue emang ada apa?"
Gue merapatkan mulut. Mencerna ucapan Zavin barusan. Tapi ... gue nanya begini juga bukan tanpa alasan. Tulisannya, tulisan Zavin sama persis dengan tulisan-tulisan yang gue terima di sticky note-nya. Apa salah buat gue untuk menanyakan hal semacam itu pada Zavin? Maksud gue, apa mungkin buat dua orang yang berbeda punya tulisan yang sama persis? Gue bukan bermaksud menuduh Zavin, cuma ini kan agar gue bisa memastikan sendiri dan tidak mencurigai cowok itu terus-menerus yang nanti berujung salah paham.
"Enggak. Gue ... cuma mau mastiin aja." Gue mengendikkan bahu. "Kalau ini bukan punya lo ... yaudah, gak pa-pa."
Ada jeda di depan sana, sebelum Zavin dengan raut datarnya itu kembali membuka suara. "Kayaknya ... yang ngasih kertas ini suka banget sama kamu."
Gue mendengus. "Dia tuh bukan suka sama gue. Tapi gila. Lo liat tanda mawar hitam di sudut sini. Ini tuh lambang obsesi."
Tiba-tiba emosi gue naik ketika memikirkan tentang orang aneh yang meneror gue selama empat bulan terakhir. Ini tuh bener-bener ngeganggu dan gak nyaman banget. Kalau dia suka sama gue, kenapa gak ngomong langsung aja? Kenapa dia neror gue dengan hadiah-hadiahnya? Apalagi sampai ngancem-ngancem Masya dan bikin cewek itu tertekan setengah mati tiap liat gue. Orang waras mana yang bakal ngelakuin hal segila itu?
"Tapi bisa aja kan, artinya bukan obsesi? Bisa aja artinya cinta mati. Ya ... mengingat bunga mawar selalu diidentikkan dengan cinta, dan warna hitam identik dengan kematian, bisa aja artinya cinta mati."
Gue mengerutkan kening. Lagi, lagi, dan lagi gue berusaha memikirkan ucapan Zavin. Apa iya maknanya begitu? Tapi ... "Lo kok bisa berpikiran begitu?"
Zavin terkekeh pelan. Alih-alih kekehan hangat, ini adalah kekehan sumbang. Lalu cowok itu memasukkan tangannya ke sakunya. "Hmm." Zavin bergumam sambil menerawang ke atas. Terlihat penuh pertimbangan.
"Kalau itu gue ... pasti maknanya gitu."
Gue akhirnya membulatkan mulut sambil mengangguk-angguk. "Begitu ya?"
"Tapi tetep aja. Ini tuh gila. Semua hal-hal yang dilakuin orang ini tuh gak wajar buat gue."
Zavin lagi-lagi terkekeh. Kemudian dia berjalan selangkah untuk semakin mendekat ke arah gue. "Boleh gue tanya?"
Gue menaikkan alis, kemudian mengangguk. "Apaan? Serius amat komuk lo."
"Selama ini ... selama tujuh hari ini kita pacaran, apa lo pernah berdebar ketika di dekat gue?"
Gue mengerutkan dahi tidak mengerti. "Maksudnya?"
Ini mulai terasa melenceng dari niat gue membawa Zavin ke tempat ini. Atmosfernya tiba-tiba mulai berubah.
"Tapi kita kan cuma pacaran di atas kontrak. Gue cuma ngebantuin lo buat nyelesein masalah lo."
"Jawab aja Delin," ucap Zavin retoris. "Pernah gak lo merasa berdebar setiap di dekat gue?"
"Ya enggak lah!" jawab gue cepat. Lalu gue memaksan diri untuk tertawa. "Kita kan cuma pacaran bohongan."
"Tapi buat gue enggak."
Tiba-tiba tawa gue tenggelam ke dalam tenggorokan. Tercekat di sana. Mengganjal dan terasa berduri. Wey, ini ada apa sih?
"Buat gue ... ini semua bukan settingan. Buat gue kita beneran pasangan. Pasangan yang serasi." Zavin menatap gue serius. Dalam. Dan mengikat. "Gue berdebar setiap kali ada di samping lo. Hati gue menghangat tiap melihat lo. Gue suka cara lo tertawa sampai-sampai gue pengen nyembunyiin lo dan nikmatin tawa itu sendiri. Gue suka cara lo tersenyum. Cara lo berbicara. Cara lo membenarkan rambut. Gue suka semua hal tentang lo. Gue pengen selalu ada di deket lo. Dan gue ... pengen terus sama-sama, sama lo. Selamanya."
Wey. Suasananya benar-benar berat di sini. Pasokan kata-kata gue semakin menghilang dan gue gak tahu harus bilang apa.
"Zav-"
Gue bener-bener gak tau harus berkata apa lagi. Ini semua ... ini semua benar-benar di luar kendali gue. Bukan begini seharusnya yang terjadi.
"Zavin. Gue ... gue .... Lo kenapa sih? Jangan ngerjain gue. Gue tau lo jahil, tapi gak gini caranya. Ini prank-kan? Di mana kameranya? Hahaha. Pasti di sana."
Zavin melangkah selangkah lagi mendekati gue dengan tangan yang masih tersimpan di saku. Menatap gue sebegitu seriusnya tanpa berkedip. Kini, jarak kami hanya tersisa tiga puluh senti. Dan dada gue berdetak tak karuan.
"Jadi ... lo beneran gak pernah punya perasaan apa pun sama gue?"
Gue dengan perlahan mengangguk. Gue gak tahu harus meresponnya bagaimana karena gue belum pernah ada di situasi semacam ini. Biasanya gue akan langsung main damprat dan pukul, kali ini tubuh gue menolak semua reaksi semacam itu. Gue emang gak pernah punya perasaan apa pun sama Zavin. Melihat bagaimana cara Zavin bertanya dan berbicara, gue tau dia serius, sangat serius malah. Tapi gue juga gak niat buat bohong dan bilang gue suka dia biar dia gak kecewa. Karena kenyataannya gue emang gak ada rasa suka semacam itu.
"Kalau sama Regal ... apa lo pernah merasa nyaman sama dia?"
Lagi, gue terdiam mendapat pertanyaan dari Zavin. Gue kira dia gak akan bertanya begini, tapi untuk pertanyaan yang ini, entah kenapa gue tiba-tiba merasa harus berpikir untuk menjawabnya. Mengingat-ngingat lagi tentang Regal. Hal-hal yang dilakukan cowok itu. Cara bicaranya. Caranya tertawa. Perlakuan hangatnya. Dan ... bagaimana perasaan gue selama ini.
Gue menggigit bibir erat sambil menatap Zavin khawatir. Gue gak yakin sama perasaan gue sendiri tentang Regal, dan gue gak tau harus melakukan apa dengan situasi ini.
"Jadi ... begitu ya?" Zavin menatap gue getir. Gue ingin membantah, namun Zavin menggelengkan kepalanya. "Gak usah bilang apa-apa Delin. Gue udah tau jawabannya."
"Zav—tapi ...."
"Kenapa harus Regal? Kenapa bukan gue? Apa yang lo lihat dari cowok berandal itu? Padahal gue lebih dalam segala hal dari dia. Kenapa lo cuma ngelihat dia dan bukan gue?"
Zavin mengeluarkan satu tangannya dari saku. Menatap gue sendu. "Jadi ... semua yang gue lakuin selama ini gak ada artinya buat lo?" lalu tangan Zavin meraih sticky note yang sejak tadi gue pegang.
Gue membelalak kaget.
Lalu tangan Zavin yang lain, yang sejak tadi bersembunyi di saku keluar, bersama sebuah sapu tangan. Zavin menutupkannya ke mulut dan hidung gue dengan cepat sementara tangan yang lainnya menarik gue ke dalam dekapannya. Zavin mendekatkan kepalanya ke telinga gue, lalu berbisik pelan di sana. "Maaf. Seharusnya ini buat cowok bajingan itu. Tapi kalau aku gak bisa milikin kamu, maka gak ada yang boleh milikin kamu juga. Karena kamu cuma buat aku." [ ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabut [Completed]
Ficção AdolescenteZakira Andelin, cewek gabut kekurangan beban hidup. Merasa kosong dengan hidupnya, Delin memutuskan untuk menjadi freelancer yang menawarkan jasa tidak biasa. Mulai dari jasa jadi pacar bohongan, dukun gadungan, maling rambutan, pawang murid berand...