2. Grr

331 58 8
                                    

[Zakira Andelin]

Selesai dengan bocah-bocah berandal itu, gue kembali lagi ke kelas. Untuk mencari Bi Asih yang siapa tahu sudah mulai lupa tentang insiden "bakso" yang jatuh tadi. 

Gue langsung masuk ke kelas, menuju kursi gue dan mendudukkan diri di sana. Sementara Rasi di samping gue sibuk mengotak-atik ponselnya tanpa menoleh-noleh sekitar. Yah, namanya juga Rasi, kalau sudah bertemu sahabat karibnya si ponsel mana kenal dia sama yang lain.

Gue menguap lebar, kemudian menyandarkan punggung ke kursi malas-malasan.

"Del!" pukul Rasi tiba-tiba di bahu gue pelan.

"Hm."

"Udah lo periksa misi barunya?"

"Udah."

"KAPAN?!" Rasi tiba-tiba menepuk meja kuat dan langsung berdiri. Kaca matanya sampai merosot ke ujung hidung.

"Tadi."

"Perasaan gue baru ngasih info pagi ini."

Gue memutar mata. "Tadi pas gue lari, gak sengaja ketemu mereka pas mau manjat pagar. Yaudah gue sikat."

"Sikat gimana maksud lo?" Rasi terlihat agak khawatir, kemudian kembali duduk tanpa mengalihkan matanya dari gue.

"Gue hajar. Bengal banget soalnya," jawab gue santai.

Rasi kemudian geleng-geleng kepala. "Yaudah deh. Tapi, gue harus ngasih tahu ini."

Rasi menarik kembali ponselnya yang ditaruh di atas meja, mengusap-usapnya kemudian memperlihatkan sebuah foto.

"Yang ini namanya Regal Argara. Anak Sebelas IPS 2. Dia yang paling bengalnya. Kayak semacam---eum---pimpinannya lah."

Gue mengangguk-angguk memperhatikan foto di ponsel Rasi, yang menampilkan gambar cowok sok keren tadi.

Kemudian Rasi kembali menggeserkan ponselnya, menunjukkan foto lainnya. "Ini Rion, ini Saga, ini Arzan."

Rasi menggulir gambar-gambar itu bergantian. Menunjukkan wajah si cuek, si ikat kepala, dan si kursi. Sementara itu gue hanya mengangguk-angguk, menunggu penjelasan Rasi berikutnya.

"Mereka berempat itu satu kelas, mereka juga satu geng, kayak perangko sama surat, gak bisa dipisahin. Paling bandel, deh. Pak Nato cuma nyuruh kita buat bikin mereka berempat jera, soalnya cuma mereka berempat dari sekian banyak anak bandel di SMA ini yang gak jera-jera walaupun sudah dihukum berkali-kali. Kalau lo gak berhasil, maka sekolah gak punya pilihan buat gak nge-DO mereka. Soalnya masalah yang dibikin mereka itu udah banyak banget. Orang tuanya aja udah pada pasrah, jadi, ini kayak cara terakhir buat ngelurusin mereka gitu. Kayaknya Pak Nato emang udah buntu sampe ikutan jadi klien kita deh, mungkin dia udah nyerah juga." Rasi terkekeh. Kemudian menatap gue.

Gue seperti biasa cuma ngangguk-ngangguk, habis itu ikutan terkekeh juga. Gimana enggak, gak biasanya pihak sekolah minta bantuan orang luar buat nyelesein masalahnya. Apalagi sampe minta bantuan sama kita, yang sebelumnya Pak Nato cuma nganggep kalau kita ngelakuin bisnis ini cuma buat senang-senang doang (emang iya sih) eh malah ikutan jadi klien. Kayaknya beliau emang kehabisan cara.

"Oke deh. Makasih ya Bi Asih-ku." Gue mengulurkan tangan hendak memeluk Rasi, namun sedetik kemudian Rasi dengan cepat mendorong kening gue menjauh dengan wajah kesalnya.

"Lo kira gue babu?!"

"Kejam banget lo. Bukanlah, lo kan assisten gue."

"Assisten pala lo! Sama aja sama babu! Gue manajer lo ya."

Gabut [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang