10. Day 3

161 36 0
                                    

[Zakira Andelin]

Gue kembali ke kelas setelah dari kopsis membeli sebuah pena. Karena ... yah, kalian tahulah gunanya pena kan? Untuk mencoreti belakang buku gue. Mwahaha. Enggak, becanda. Ya buat nulis lah. Sekalian gue membeli beberapa snack untuk dicamilin kalau giliran pelajaran yang membosankan tiba.

Gue pergi sendiri ke kopsis, soalnya Rasi tiba-tiba mageran dan gak mau keluar kelas. Maunya rebahan mulu di atas meja. Is. Padahal masih pagi loh ini. Tapi hari ini Rasi emang keliatan agak lesu dan pucet sih. Jadi gue ngalah dan gak tega nyeret-nyeret dia ke kopsis. Jadilah gue jalan sendirian.

Gue melewati koridor kelas X sambil bersenandung-senandung kecil. Sekolah sudah mulai ramai, sepertinya sebentar lagi waktunya bel masuk. Namun, tiba-tiba ada yang menggelitik dan mendesak di dalam perut gue. Seperti ketika kalian bertemu seseorang yang sudah lama kalian suka, terus gak ada angin gak ada hujan dia ngegombal ke kalian. Gue. Kebelet. Pipis.

Tanpa menunggu lama, gue berbalik dan berlari secepat yang gue bisa mencari toilet.

"Yosh! Nyampe njir." Gue langsung masuk ke dalam toilet, sebelumnya gue menggantung plastik belanjaan di paku belakang pintunya.

Setelah selesai dengan urusan di dalam, gue keluar dan menuju wastafel---dengan plastik belanjaan gue tentu saja. Gue meletakkan snack-snack itu di pinggir wastafel dan mulai memutar kerannya. Mengambil sedikit sabun dan mencuci tangan.

Sebelumnya, gue gak sengaja melirik poni gue yang berantakan. Ada beberapa rambutnya yang mencuat-cuat ke atas.

"Buset dah. Dah kayak ditembak petir aja," monolog gue. Kemudian meluruskan letak poninya dan merapikannya. Setelah gue rasa cukup dengan cerminnya, gue mematikan keran dan pergi, balik ke kelas lagi.

Byur!

"Oh my god!"

Tepat ketika gue keluar dari pintu toilet, gue membeku sambil terpekik untuk beberapa saat. Kemudian megap-megap dan mengusap wajah gue yang basah oleh air. Bukan cuma wajah, mulai dari rambut, sampai seragam sama sepatu gue juga basah. Gue menoleh ke belakang. "Siapa yang numpahin air ke kepela gue?! SIAPA HAH?!" teriak gue dengan amarah membara.

Seseorang, yang berdiri di dekat pintu masuk toilet memasang ekspresi terkejut, kemudian menjatuhkan embernya. "Ups. Kena ya? Lo sih, jalan gak liat-liat," katanya kemudian menjatuhkan embernya dan menutupkan tangan kanannya ke mulut. Mulai terkikik sendiri.

Gue menatap tajam cewek itu dengan tangan terkepal. Rambutnya dicat coklat, ikal sepunggung. Kulitnya putih dan bulu matanya lentik. Bibirnya tampak dipoles lipglos berwarna pink cerah. Cantik. Gue akui memang ini cewek cantik banget. Dari segala sisi, apalagi tubuhnya semampai dan ideal. Tapi masa bodoh dengan kecantikannya. Meskipun dia cantik, kalau kurang ajar, ya itu tandanya harus gue ajarin. Pakai kepalan tangan gue yang udah panas misalnya.

Gue melirik nametag di dada kanannya. "Masya Riana?" tanya gue retoris sambil menaikkan sebelah alis. "Lo cantik. Gue akui. Tapi atas perbuatan lo barusan, lo baru aja nunjukin kalau lo jelek dari segala sisi."

"Oh ya?" Masya membelalakkan mata, kemudian maju selangkah mendekati gue dengan muka nyebelinnya. "Jadi lo udah ngerasa cantik banget? Cuma gara-gara lo deket sama Zavin lo udah ngerasa cantik? Butuh kaca gak?" Masya mengeluarkan cermin kecil dari sakunya, kemudian mendekatkannya ke wajah gue.

Gabut [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang