3. Memastikan

257 46 0
                                        

[Zakira Andelin]

Pagi ini, matahari masih bersinar seperti biasanya. Masih cerah tanpa adanya gumpalan awan. Gue yang sedang berjalan melewati gerbang sambil bernandung-bersenandung kecil memperhatikan sekitar yang mulai ramai.

"Hmm." Gue menghirup udara pagi yang segar kemudian tersenyum. "Pagi indah gue yang lainnya," ujar gue kemudian kembali melangkah memasuki sekolah tercinta ini.

Gue bukan anak yang hobi datang terlambat ke sekolah, ya. Jangan salah, gini-gini gue tahu diri. Udah enggak pinter, cantik juga enggak, kalau gue sering telat apa yang bisa gue persembahin ke Mama sama Papa yang udah kerja mati-matian buat sekolah gue sampe-sampe pergi pagi banget sebelum gue bangun, terus pulang larut banget pas gue udah tidur. Sampe-sampe waktu gue buat ketemu sama mereka cuma bisa dihitung jari. Wekwek. Seenggaknya gue gak nambah beban mereka yang udah kecapekan kerja, ditambah lagi ngurusin anak yang bermasalah. Nope. Bukan gue banget. Gimana pun, gue sayang sama Mama Papa gue lebih dari apa pun walau mereka gak punya waktu buat gue. Gue mau bikin mereka seenggaknya gak nyesel punya anak kayak gue. I'll do my best.

Skip curhatnya.

Jadi, gue sekarang udah berdiri di depan kelas gue, 'XI IPA 4' tertulis pada plang di atas pintu. Yah, seperti biasa gue akan masuk dan menaruh tas gue di dalam.

Selesai dengan tas, gue keluar kelas dan rencanya mau ke Kopsis buat beli pena, kebetulan pena gue habis.

"P for punten," kata gue kepada kakak penjaga Kopsis yang lagi sibuk melayani murid lain yang belanja, mengabaikan eksistensi gue. Jahat. "Kak, penanya mau dibayar atau gratis aja?"

Mendengar itu, Kak Rara—penjaga Kopsis langsung menoleh ke gue dengan tatapan tajamnya.

"Masalah duit aja baru lo ngeliat gue, Kak."

"Jangan belajar jadi maling ya lo Del, gue laporin mak bapak lo entar baru tau rasa."

Gue bersungut-sungut kemudian mengeluarkan selembar uang lima ribu dari saku untuk membayar dua pena yang gue ambil.

Kak Rara tersenyum menerima uang gue, "Nah gitu dong Delin maniez," katanya kemudian memasukkan duit gue ke laci dan kembali melayani pembeli lain.

"Kembalian gue mana oy!"

Wah, kesel gue. Mendengar gue berteriak, Kak Rara menoleh ke gue lagi kemudian tersenyum jahil. "Gue kira lupa."

"Lupa matamu Kak! Duit gue yang berharga mana bisa dilupain."

"Halah, sama duit aja lo gak lupa, ya?"

"Bacot lo ah! Siniin dua rebu gue."

Gue menarik laci tempat Kak Rara menyimpan duit begitu saja kemudian menarik selembar dua ribuan dari sana.

"Moga aja ada uang koin nyelip. Amin!" selesai berucap begitu gue langsung kabur, mengabaikan Kak Rara yang berteriak memanggil-memanggil.

"Rasain," ejek gue setelah keluar Kopsis kemudian tertawa.

Anak-anak yang belanja di Kopsis tadi ngeliatin gue juga, tapi mereka biasa aja, udah gak heran lagi sama gue. Soalnya gue sama Kak Rara emang deket. Gimana enggak, orang kita tetanggaan. Jadi, dia itu sebelumnya dari kampung, terus tinggal di rumah saudaranya yang tetangga gue. Dulu kalau gue sendirian di rumah, gue suka main ke rumah Kak Rara. Kak Rara emang baik banget sih orangnya, walaupun umur kita beda jauh, dia gak pernah mempermasalahkan "Gue lebih tua, lo harus hormat ke gue". Jadi gue gak canggung sama dia. Friendly banget orangnya.

Tepat ketika gue lagi berjalan hendak balik ke kelas, bel masuk berbunyi.

"Buset, udah masuk aja."

Gabut [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang