19. Rumah Rion

121 28 4
                                    

[Regal Argara]

Gue memarkir motor gue di depan rumah dua tingkat yang menjulang tinggi bak istana. Temboknya dicat putih dan dua pilar besar tinggi berdiri kokoh menyangga atap terasnya. Halamannya terawat dengan kebun-kebun bunga yang terpangkas rapi di kiri dan kanan. Ada gerbang besar setinggi tiga meter yang mengelilingi rumah besar ini. Sebelum masuk, gue harus menunjukkan kartu identitas pada satpam yang berjaga di depan. Alih-alih sebuah rumah, bangunan ini lebih cocok disebut kastel. Kastel megah yang mengurung orang-orang kesepian di dalamnya.

Inilah kediaman Rion.

Gue sudah sering keluar masuk rumah ini, jadi asisten rumah tangga dan satpamnya sudah kenal sama gue.

Kesan pertama yang akan kalian dapat ketika masuk adalah klasik, namun mewah. Orang tua Rion termasuk pecinta seni. Di tembok-temboknya berjejer lukisan-lukisan yang sekali lihat saja kita bakal tahu bahwa harga lukisannya tidak sebanding dengan harta yang rakyat jelata macam gue punya.

Guci-guci antik terpajang di sudut-sudut dan ada lemari besar di sisi kanan yang entah isinya apa saja. Tapi gue tahu semua yang ada di dalam sana harganya selangit. Gue menaiki tangga melingkar dengan pegangan berupa kayu yang diukir sedemikian rupa. Tangga itu menuju lantai dua. Tempat kamar-kamar utama berada dan ruangan-ruangan lain yang jujur, belum pernah gue masuki semuanya.

Gue bukan orang yang bakal memeriksa semua hal di rumah orang tanpa tahu malu karena rasa penasaran. Nope. Meskipun seperti yang Delin bilang, kalau gue ini 'berandalan', gue juga masih ngerti apa itu etika yang harus dijaga.

Gue membuka pintu kamarnya dan nyelonong masuk begitu saja, melirik sebentar pada Rion yang sibuk dengan stick PS-nya, berguling-guling ke kiri dan ke kanan sambil menggigit bibir dan sesekali mengumpat.

Gue merebahkan tubuh ke atas tempat tidur dengan posisi telentang sambil memejamkan mata. "Yon, bagi camilan, lah."

Rion masih asik dan tidak memedulikan gue.

"Ambil di atas meja sana, udah gue siapin. Lo kan kalau laper suka makan sebakul," ujar Rion akhirnya masih fokus pada layar besar di depannya.

"Ye, si kuda." Gue terkekeh pelan, kemudian menuju meja belajar Rion. Benar saja, di sana sudah berderet tiga toples dengan tiga jenis makanan berbeda. Keripik kentang, stick jagung, dan makanan favorit gue, keripik balado.

Gue tersenyum lebar, lalu meraih ketiganya dan membawanya ke dalam pelukan. Mendekati Rion yang bergumul dengan stick PS di atas karpet berbulu tebalnya dan mulai duduk di sana. "Emang paling tepat deh gue kalau lagi badmood dateng ke rumah lo. Gila aja banyak banget camilannya."

Gue mulai membuka tutup toples kerupuk baladonya dan mulai makan sambil memperhatikan Rion yang bermain. "Ke kiri begok. Kiri gue bilang! Kanan! Kanan! Tengah! Kiri lagi! Kiri—yah."

Gue mendesah pasrah dan Rion mengerang kesal.

"Begok banget lo. Masak gitu aja gak menang. Lemah lo!" cibir gue.

"Bacot ya lo. Kan ini juga gara-gara lo yang berisik. Coba aja lo diem dan gak ngapa-ngapain, mana mungkin gue kalah!" bantah Rion tidak terima.

"Jangan nyalahin gue dong!"

"Ah, diem lo. Kalau berisik lagi gue sumpel mulut lo pake toplesnya!" Rion mengacungkan telunjuknya ke gue dengan tatapan memperingatkan. Lalu setelah menghela napas mempersiapkan diri, dia menekan kembali tombol 'Start' dan mulai bermain lagi.

Gabut [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang