7. Mi Instan

218 44 8
                                        

[Zakira Andelin]

"Del, nanti sore lo mau ke mana?"

Rasi menyandarkan dirinya ke tembok padahal kursinya punya sandaran. Gue menoleh sekilas kemudian mengendikkan bahu. "Gatau deh, di rumah aja kayaknya."

"Sok jadi anak rumahan aja lo."

Gue memutar mata. "Bodo amat ya Asih. Gak peduli gue."

"Asih-Asih pala lo bengkok!" dan bersamaan dengan umpatan itu, tangan Rasi melayang ke punggung gue. Mampus. Habis-habis deh ini punggung.

"Sakit pekok," teriak gue menatap Rasi kesal. Meraih kotak stick coklatnya yang dari tadi dia camilin kemudian mengunyahnya kasar.

"Salah lo sendiri, ngapain manggil gue Asih, hah?"

Gue memasang cengiran lebar. "Enggak. Ampun Manajer," kemudian menaikkan kedua tangan sejajar kepala.

Rasi memutar matanya.

"Eh, sekarang jam berapa?" tanya gue tiba-tiba keinget kantin. Dah laper aja perut gue, perasaan tadi pagi habis makan nasi goreng buatan Mama dua piring. Heran aja gue kemana perginya itu nasi-nasi. Kalau kayak gini sih, tandanya ada dua pilihan. Antara gue yang cacingan, atau cacing di perut gue yang cacingan. Bodo lah.

"Jam 10.23. Mau ke mana sih lo?" tanya Rasi dengan kening berkerut.

"Mau ke kantin, lapeeeer," rengek gue.

Rasi membenarkan kacamatanya sambil berdecak. "Yaudah nih habisin!" Rasi menyodorkan kotak stick coklatnya ke gue. "Bentar lagi istirahat."

Gue dengan senang hati dong meraih kotak stick coklatnya. Gak ada cerita gue nolak-nolak makanan yang disodorkan ke hidung gue. Bodo amat sama kalori. Bodo amat sama lemak. Yang penting gue kenyang. Heran gue sama orang-orang yang pilih-pilih banget soal makanan. Dikasih gorengan, kebanyakan minyak. Dikasih bakso, kebanyakan lemak. Dikasih es krim, kebanyakan kalori. Tinggal nerima aja banyak gaya, rezeki kok ditolak ya.

Alasannya diet. Diet-diet kepala lo botak. Hari gini masih ngomongin diet. Keburu mati gue yang ada mikirin diet. Ideal kagak, tinggal tulang iya. Dih, bukan gue banget.

Gue lagi asik-asiknya melahap stick coklat tiba-tiba Rasi narik kotaknya terus masukin ke laci. Gue otomatis mendelik dong, kayak harimau yang direbut suaminya. Eh(?)

"Buk Cici masuk noh," bisiknya kemudian memonyongkan bibir ke depan kelas. Gue menoleh ke sana memastikan, ternyata bener Bu Cici udah masuk lagi. Setdah.

Ini guru masuk ngasih tugas seabrek, abis itu keluar. Pas jam udah hampir habis, baru masuk lagi. Gimana bisa paham kita kan? Pengen rasanya gue pecat, tapi gue akhirnya sadar, kalau gue hanyalah seorang murid biasa yang gak punya kemampuan apa-apa. Is. Sadgirl.

"Tugasnya silahkan dikumpul ya, Ananda. Habis itu boleh istirahat," kata Bu Cici di depan.

"Setdah, Buk. Saya belum selesai, Buk," sorak Riko, cowok badung yang suka bikin onar di kelas itu tidak terima.

"Kumpul saja seberapa sudahnya, ya Riko."

"Ribet lo ah," celetuk gue kemudian meraih buku Riko. "Gue yang siap satu baris doang aja santai," kemudian mengantarkan bukunya ke depan bersama Rasi. Mengabaikan Riko yang terus memanggil-manggil gue.

"Buatnya semampu saya aja kan, Buk? Kayak sedekah?" tanya gue setelah memberikan bukunya. Kemudian berlalu keluar kelas diikuti Rasi.

Bu Cici menatap gue dengan kening berkerut. "Tapi nilainya juga seikhlasnya, ya!" teriak guru itu, namun sayang, gue sudah gak peduli dan pergi menuju kantin.

Gabut [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang