Chapter 1

15.3K 544 3
                                    

"Argh! Gini amat punya bini cerewet!" Aku menoleh dan menemukan Andra datang bersama wajah kusut, dia duduk di kursi kubikelnya dengan kasar.

"Ngapa tuh?" tanyaku, tertawa geli akan ekspresinya. "Perasaan kemarin gajian, udah ngomel-ngomel aja bini lo!"

"Ya iya, perkara uang gaji gak dikasih semua ke dia, padahal kurangnya gak sampe seratus ribu! Itu gue udah bilang buat gue makan sama ngopi, lah dia gak percaya, katanya gue main-main cewek. Lah? Recehan gitu main sama cewek apaan?! Argh, nasib nasib."

Aku tertawa ngakak kala dia mengacak-acak rambut ikalnya.

"Ngakak lu ngakak, diomelin bini lo baru tau rasa!" katanya, aku masih tersenyum sambil berpura-pura menritsleting mulut, bermaksud mengejeknya. "Awas lo kena karma!"

Meski tertawa lagi, dalam hati entah kenapa aku iri. Bukan tanpa alasan aku merasakan begitu.

Dan entah kenapa, pengalaman yang dilakukan Andra, menjadi sebuah ide bagiku. Ide yang agak gi#la, sih, tetapi aku rasa worth it dicoba.

Semoga berhasil.

•••

"Assalamuallaikum," sapaku dengan suara agak lelah, masuk ke rumahku yang pintunya terbuka.

"Waallaikumussalam!" Seorang wanita tua yang tengah menonton televisi menjawab tanpa menoleh, dia ibuku.

"Waallaikumussalam, Mas." Lalu, seorang wanita cantik berhijab menghampiri dengan senyum hangat, meski begitu tertutup, aku sebagai orang yang pernah melihatnya secara terbuka, cahayanya amatlah terpancar, hingga tak tahan untuk membalas senyuman tersebut.

Langkahnya pun cekatan menghampiri dan mengambil tas kerja. Ingin membawakannya. "Mas mau makan atau mandi dulu?"

"Aku--"

Oh, astaga, kenapa aku senyam-senyum, wajah cantik itu membuatku terbuai dan lupa misiku. Menyembunyikan senyum, aku menahan diri bilang terima kasih, tetap pada ekspresi datar. "Aku mau ngomong sama kamu sebentar, ayo masuk kamar!" Sedikit melirik ibu, aku lalu fokus ke wanita cantik itu.

Dialah istriku, Radifa Naufansyah.

"Baiklah, Mas." Segera kami pun menuju kamar.

"Apa ... uang yang aku kasih kemarin masih ada?" tanyaku, duh, dadaku jedag-jedug, aku gugup mengatakannya.

"Alhamdulillah, masih banyak, Mas." Memang, aku menyerahkan semua gajiku padanya kemarin, belum bagian tabungannya.

"Mas mau ambil itu semua, dari kamu."

"Baiklah, Mas." Kenapa dia tak marah, sih? Senyum itu terus mengulas ke bibirnya, dan tanpa ragu dia mengeluarkan sesuatu dari lemari.

Sebuah kotak peti, yang dia buka, tampaklah ... perhiasan, uang, dan kartu ATM serta buku tabungan.

"Ini, Mas." Dia berkata tanpa keraguan, dan aku mengambil buku tabungan tersebut. "Mas mau pakai buat apa?"

"Mas mau ...." Bentar, otakku tiba-tiba nge-lag, sinyal sebelum skenario ini begitu lancar jaya, tetapi kenapa sekarang rasanya susah mikir. "Ah, pokoknya kamu gak usah tau, mulai sekarang kamu--"

"Kenapa, Mas?"

"Ka-kamu ...." Radifa memiringkan kepalanya, terlihat bingung dengan ekspresi gugupku, oh kenapa dia cantik banget kalau ekspresi begitu, makin hati ini tak sampai hati sekaligus kelu.

"Ga-gak papa, Mas kepo aja, Mas mau mandi dulu." Berikutnya, aku langsung mengambil handuk dan masuk kamar mandi.

Saat itulah, aku bisa merutuki diri dengan amat kesal, harusnya aku bilang jika semua harta yang disimpannya, akan kuambil kembali, lalu jatahnya dikurangi, seratus ribu sebulan. Aku tahu aku tahu, mana cukup segitu untuk hidup, apalagi di zaman serba mahal, tetapi sebenarnya niatku hanya satu ....

Aku pengin liat Radifa marah-marah, ngomel-ngomel, karena selama setengah tahun bersamanya ....

Aku merasa, aku seperti menikahi robot, bukannya seorang manusia, itu sungguh tak manusiawi, jujur saja aku sungguh kepo bagaimana saat Radifa marah-marah atau mengomel ala-ala istri kebanyakan, tapi susah, apalagi hatiku sendiri tak tega menyakiti dia.

Ini keinginan yang aneh, aku tahu, tapi aku rasanya bakalan ma#ti penasaran!

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang