Chapter 17

3.5K 189 0
                                    

Jadi akhirnya, kami hanya membeli cumi saus hitam di sebuah restoran, serta beberapa menu lain seperti capcay dan nasi bakar. Radifa pun makan, tak terlalu lahap dan terkesan memaksakan diri, tetapi syukurlah dia makan dengan nyaman walau tak sampai setengah termakan. Dia bilang sudah kenyang, jelas aku ragu, jadi kuputuskan membeli beberapa hal guna menunjang kehamilan.

Susu bumil dan lain-lain, aku ke supermarket terdekat setelahnya.

Tiba di rumah, Ibu membantu Radifa jalan hingga ke ruang keluarga, di mana mereka pun duduk di sofa, sementara aku memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam, beres deh. Baru aku join ibu dan Radifa.

Ibu kelihatan memijat-mijat lembut Radifa, iya lembut, coba kalau samaku, auto dipritilin.

"Mana kunci mobilmu?" tanya ibu tiba-tiba.

"Lah? Masih disita, Bu? Kan—"

Baru mau berdalih, ibu memotong ungkapanku. "Mana?!" Karena takut, aku segera menyerahkan kunci, meletakkannya ke atas meja dan ibu menyambarnya cepat kemudian memasukkannya ke kantong gamisnya.

"Tapi, Bu—"

"Biar Ibu yang ngatur, gak usah banyak cingcong!" tegur ibu, aku hanya menghela napas pasrah sambil menyandarkan badan lebih nyaman, lalu menatap istriku.

Dia hanya tertawa pelan, kemudian mengusap pipiku lembut, aku jadi bahagia. Syukurlah kamu milik Mas, Radifa.

"Gimana keadaan kamu, Dek? Masih mual?" tanyaku lembut, bermain dengan bahunya seperti anak kecil.

"Alhamdulillah, udah enakkan kok, Mas. Mungkin ... sesuai namanya, morning sickness, jadi pagi aja," jawab Radifa seadanya.

"Syukurlah." Aku memeluk lembut Radifa.

"Duh, dasar modusan," ungkap ibu tiba-tiba. "Jaga istrimu baik-baik, Ton!"

"Iya, Bu, pasti dong." Aku cengengesan.

"Dan jangan tengil-tengilin, jangan kamu masih penasaran gimana istrimu marah, dasar!" Aku terkejut karena ibu mengungkapkan salah satu misi terbesarku. "Itu, lho, Sayang. Suamimu, aneh banget, pengen liat kamu marah katanya, soalnya gak pernah liat kamu marah. Istri anteng kok pengen istri macan, heran."

"Eh?" Radifa menatapku yang kemudian melepaskan pelukan, pura-pura gak liat setelahnya, bingung aku nih malu abis akan ungkapan ibu. "Mas mau liat aku marah?"

"Eng-enggak, ngapain? Mending Mas liat kamu yang manis, unyu, imut, tenang, kalem." Aku menatap istriku sekilas-sekilas, aduh ketahuan gak ya aku bohong.

Susah nyembunyiin soalnya.

"Aku gak bisa marah sama kamu, kok, Mas, soalnya ... aku bahagia terus sama kamu, sama Ibu." Radifa tertawa pelan dan kali ini, aku menatap wajah cantiknya itu.

"Apa Ibu bilang, kenapa harus marah? Mana suamimu ini, kadang juga sengaja, pengen bikin kamu kesel, kamu marah, karena penasaran liat kamu marah, Nak. Marahin aja sekalian tuh, jadiin cicak peny/et!" Ibu malah menggebu.

"Mas seriusan pengen liat aku marah sampe segitunya?"

Mau!

Mau banget!

Tapi malu, plus ....

"Eng-enggak, lah." Oke, aku susah berbohong, nih, tapi kalau dia ngajuin diri gini boleh gak sih? Biar penasaranku ilang, kan setelah dia marah udahlah, ilanglah pertanyaanku selama ini. "Mm ...."

"Ya udah, aku marah, ya." Aku gak bisa nolak, antara malu, tapi pengen banget lho ini.

Ya sudah, aku tunggu, keluarkan aja! Apakah dia bakalan marah kayak ibu? Atau hal lain?

"Mm o-oke ...."

Radifa berpikir sejenak, sebelum akhirnya menatap wajahku dengan lekat-lekat, aku siap, aku siap dengan ragam semprotan atau caci ma/ki sekalian, aku siap.

Satu ....

Dua ....

Ti ....

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang