Chapter 32

1.7K 148 1
                                    

"Ibu~"

Begitu pesan yang kukirim pada ibu, tak butuh waktu lama dibaca, tapi gak dibalas, bused dah ibu pasti lagi nonton reels dan pencet tandai dibaca doang. Aku mendengkus.

"Bu~"

Kembali, aku memanggil ibu via chat, gak bisa telepon, khawatir ada yang denger.

Hehe.

Namun, dah, ibu bener-bener gak bales chat-ku cuman read doang. Bruh.

To the point ajalah.

"Bu, aku minta duit, dong. Buat traktir temen kantorku dan buat kabarin hal bahagia, Radifa hamil. Boleh, ya, Bu?" pintaku dengan emoji imut-imut.

Langsung gaskeun ada balesannya bjir.

"Berapa?"

"Kalau chat tuh jangan lupa Assalamuallaikum! Ibu ogah bales kalau bu bu bu bu doang!"

"Eh hehe, maafin Anton, Bu." Aku membalas sambil nyengar-nyengir. "Katering kecil-kecilan aja sih, Bu, kue-kue mini gitu, buat sedivisi aku aja. Di sini 30 orang, batesin 50k per orang, 1.5jute jadinya, Bu." Begitu perkiraanku.

"Bentar Ibu suruh Radifa transfer."

Aku memberikan jempol besar dan wajah nyengir.

Tak lama, transferan masuk. Ngepas doang, gak ada jajannya apa buatku, yah dahlah yang penting dapet.

"Dah masuk."

"Masuk, Bu. Maacih Ibukku cayang."

"Alay."

Bused lah ibu, love language aku ditolak mentah-mentah.

Berikutnya, aku chat Radifa. "Istriku, Sayangku, Ibu dari anak-anakku, gimana keadaan kalian? Mas kangen nih mau cium."

Kuletakkan emotikon imut 🥺 yang sebenernya aku sendiri geli. Tapi ya sama istriku kan harus selalu imut.

"Alhamdulillah, Mas. Hari ini gak terlalu morning sickness." Aku menjawab alhamdulillah pula. "Mas katanya mau syukuran di sana."

"Iya, Dek. Sama rekan seruangan aja, traktir, kebiasaan kami dari dulu. Kamj mau titip apa?"

"Titip Mas pulang sehat walafiat." Aaaw, aku makin cinta istriku deh.

"Mas kasih kejutan nanti, ya, hehe." Aku mengerling nakal, lewat emoji. "Ya udah, Mas kerja lagi, papay, Cinta."

"Iya, Mas. Dadah." Dia memberikan emoji hati.

Aku balas dengan gembira dan menutupnya dengan salam.

Kembali, aku kerja, hingga akhirnya waktu istirahat.

Segera, aku berdiri. "Ei, buat yang ada di sini, aku mau traktir kalian nih, tapi bates lima puluh rebu yak," kataku tertawa.

"Lah? Katanya lo gak ada duit—"

"Lets go!" Aku memutus ungkapan Andra, gak asik ni orang deh.

Meski heran, akhirnya mereka nurut, siapa sih yang gak suka ditraktir hehe.

"Tumben, Ton. Ada acara apaan?" tanya Jo.

"Ada deh, nanti gue kasih tau pas selesai makan siang." Namun, si Jo menatap penuh selidik, duhileh, ni pengghibah handal kadang tuh analisis handal juga.

Makanya kami ngasih gelar dia intel kadang.

Siapa sangka, Jo mendekatkan wajahnya ke aku. Aku menjauh, takut dicium, agak trauma aku wak.

"Pasti ... bini lo marah?"

Aku mengulum bibir, menahan tawa, salah banget ni orang, tapi gak salah sih, aku mungkin bakalan selebrasi soal Radifa marah bahkan mungkin pake baliho (lebaynya) bak caleg, akhirnya istriku marah, begitu tulisannya.

"Ya enggaklah, gue traktir kalian karena istri gue hamil."

"Oh hamil."

Saat mengatakannya, aku membulat sempurna.

Lah, kampret, harusnya kan selesai makan siang, malah aku keceplosan, gak jadi kejutan jadinya dah.

"Ck, gara-gara lo Jo, gue ci—" Hampir aku mengatakan sesuatu yang kampret lagi andai dilanjut cipok juga lo, sesuatu yang mengundang trauma terbesarku, aduh aku mual.

Radifa, tolong cium Mas, hanya kamu obat dari kemualan ini, hoek.

"Ci apaan? Cintai?" tanya Nino geli, Andra ikut ketawa, dan Jo kelihatan jijik.

"Diem atau lo gak gue traktir!" Kampret kalian semua!

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang