Chapter 20

3.8K 220 5
                                    

Saat pulang, aku berpapasan dengan mobilku yang ada di halaman, aku cek sana sini, karena hobiku memang ceki sana ceki sini, akhirnya aku malah periksa mobil tanpa tidur sama sekali.

Tuhkan, apa aku bilang.

Hah ....

"Ngapain, Mas?" Saat asyik menggabut dengan mobil kesayanganku itu, seseorang bertanya, dari suara halusnya sih jelas, itu Radifa.

Kala menoleh, wanita anggun bersenyum semanis madu itu, memakai hijab dan gamis panjang senada, merah muda, terlihat keluar rumah dan duduk di kursi depan.

Aku tersenyum balik padanya. "Cuman ngecek mobil, Dek. Kamu gak tidur?"

"Aku udah tidur, kok, Mas. Kamu sendiri?"

"Yah ... gak jadi tidur." Aku menggedikan bahu. "Gimana keadaan kamu sekarang? Masih mual gak?"

Kali ini aku menghampirinya dan duduk di sisi lain, ada meja tengah yang membatasi kami.

"Sudah enggak, Mas." Dia menyahut hangat.

"Alhamdulillah ...." Sehat selalu bayiku, istriku, hehe. "Tapi ...."

"Apa, Dek?"

"Dalam keadaan hamil muda ini, apa bisa aku ke reuni?" Oalah, aku hampir lupa reuni itu, sebentar lagi juga kami akan ke sana kan.

"Keknya bisa aja sih, Dek, asal kamu gak capek-capek. Ya kan? Kita cuman dateng, ambil prasmanan, haha hihi sama temen baikmu, pulang." Kira-kira begitu sih wacanaku, tapi yah kadang mungkin gak semudah berkata-kata, kata-kata pun kadang susah, author-nya susah ngetik kalau gak ada ide.

Aku memikirkannya sih, enak makanan gratisnya doang, toh kemungkinan aku juga gak kenal teman-teman Radifa.

"Benar juga, sih, Mas." Dia kelihatannya ... rindu seseorang di sana ya.

"Kalau mau mastiin lebih lanjut, coba tanya pendapat Ibu."

"Pendapat ibu soal apa?" Tiba-tiba wanita super galak yang hobi ngatain aku anak cicak itu muncul di sampingku.

Kaget aku, bjir, dia nongol kayak hantu.

"Bu, ngagetin aku sama Radifa aja!" kataku, meski kelihatannya istriku b aja, sih. "Aku jantungan nih."

"Ah lebay."

Lebay katanya, untung aku sayang Ibu, hm.

"Pendapat apa memangnya, Ton? Radifa?"

"Itu, Bu. Soal reuni. Aku kan hamil, apa bisa aku ke sana?" tanya Radifa, sedikit mengusap perutnya.

"Asal jaga diri, dan kamu jagain istrimu, Ton." Ibu menatap aku dan Radifa bergantian. "Jangan tengil!" Dia menyentil jidatku.

"Astaghfirullah, Bu! Pedes!" Sakit bjir. "Pedes beneran!" Panas pula, ini Ibu pasti abis nyambel ini.

"Halah!" Ibu malah mencubit hidungku, bused dah selain panas, pedes, mana bau terasi. "Mandi sana!"

Suatu keharusan.

Aku langsung berdiri dan pergi sambil ngusap jidat dan hidungku, tetapi entah kenapa aku berhenti karena ada suara Radifa dan ibu terdengar.

"Nak, gimana keadaan kamu? Keliatannya udah seger. Mau Ibu bikinin sesuatu? Atau beliin sesuatu? Ibu mau ke depan nih bentar."

"Gak u—"

"Jeruk peres ya, Ibu juga mau jeruk peres nih, hari panas enaknya seger-seger. Ibu pesenkan yang pure jus less sugar less ice, tambahan biji selasih. Tunggu Ibu di rumah ya, Sayang." Ibu nyahut gitu aja, sayang banget sama Radifa deh.

"Buuu, aku juga mau, dong!" Aku buru-buru ke depan menemui ibu.

"Ya udah kamu aja yang beli!"

"Lah, Bu ...."

"Jeruk peres, mmm jangan gorengan, harus kurangin minyak, beli aja buah-buah, buah apa deh terserah, sama kacang-kacangan, kamu tau kan yang tempat jualan kurma sana? Oh sekalian kurma juga." Ibu malah menyerahkan beberapa lembar uang padaku.

"Bu, aku kan mau mandi!" protesku.

"Tunda bentar ah, cuman ke depan, abis itu terserah mau mandi kembang tujuh rupa terserah."

"Elah, Bu ...." Sama aja boong ini mah.

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang