"Aku terserah kamu aja Mas mau datang atau enggak." Itu jawaban Radifa, ketika aku tanya maukah dia ke reuni, dia menjawab demikian bahkan dengan perasaan enggak tertarik sama sekali.
Sudah aku tebak, sih, dia gak mau.
"Kan reuni kamu, Dek, ya jadi ... kamu putusin. Mas yang ngikut nanti." Aku berdalih, kemudian Radifa terdiam sejenak.
"Aku takut ada dia, Mas, jadi aku males." Akhirnya dia menjawab, oh istriku ini emang romantis dan setia, deh. "Aku kangen sama beberapa teman SMA-ku, sih, tapi kalau ada dia, rasanya aku ...."
Aku jadi agak kasihan.
"Kalau kamu mau, kita ke sana, buat ketemu teman-teman akrab kamu saja sebentar, lalu pulang. Mas bakalan jagain kamu dari biawak satu itu." Aku tersenyum padanya, tersenyum hangat meski dalam hati penuh siasat, aku merasa pengen manas-manasin tu jomlo soal aku dan Radifa.
Muehehehe.
"Kamu ... gak apa soal itu, Mas?" tanya Radifa, aku bisa melihat pandangan penuh harap dari istriku itu.
"Gak apa, asalkan kamu tetap di sisi Mas aja, Mas takut kamu ketinggalan terus keselip, kan gak lucu." Radifa tertawa hangat.
"Makasih, ya, Mas."
"Sama-sama, Sayang. Apa pun buat kamu. Tapi, emuach dulu dong." Radifa tanpa ragu melakukannya, pasangan halal gituloh. Aku cengengesan dan balik membalasnya.
Pipinya lembut dan kenyal, rasanya mau aku isep, gemesss.
"Jadi, Minggu ini kita ke sana ya? Nanti Mas tanyain lokasinya di mana." Radifa mengangguk, kemudian kembali melipat pakaian.
Aku duduk di sampingnya dan membantu sebisa mungkin, meletakkan baju-baju aja sih, soalnya soal melipat yang ada istriku kerja dua kali.
Melipat ... kerja dua kali?
Aku mengulum bibir menahan senyum, dan ikut melipat pakaian. Sengaja aku kusutin cara lipatnya, biar Radifa kesel dan kepanasan, ayo kesel Sayang, keseeel ....
"Haduh, Anton!" Namun, suara memekikkan telinga tiba-tiba terdengar, aku terkesiap. "Ini daster Ibuk, baru juga disetrika, kamu lipat begini jadi kusut lagi! Sana, kalau mau bantu istrimu, ambilin buah mangga muda di depan rumah."
Waduh, lagi-lagi trex menjadi keberuntungan Radifa, kenapa deh ibu selalu hadir di saat-saat misiku dikit lagi berhasil. Menghadeh.
"Lah? Buat apa, Buk? Malem-malem kok metik mangga?" tanyaku heran. "Ngerujak malem begini bisa-bisa sakit perut."
"Kan rujaknya bisa nanti-nanti, ini musim buah lagi banyak kelelawar, ambil duluan sebelum kena makan entar gak kebagian. Cepetan sana!" Ibu mendorong-dorong bahuku.
"Haelah, Buk, kasar banget samaku." Aku cemberut sambil berdiri.
"Mau dibawa ke mana bajunya? Sini Ibu aja! Hust hust sana!" Aku gak sengaja kebawa baju tadi, dan kemudian di-hust hust macam aku ini kucinggarong, deh.
"Iya iya." Aku pun mendengkus sebelum akhirnya keluar rumah, di mana di sana terdapat pohon mangga gak terlalu tinggi. Aku mencari ke sana kemari berongsong, alat pemetik buah, tetapi tak menemukannya di mana-mana.
Aku masuk lagi. "Bu, berongsongnya mana ya?" tanyaku.
"Gak ada, udah rusak, kamu naik sana!"
"Haelah, Bu, kok disuruh naik?" Aku emang bisa, sih, tapi mungkin pinggangku gak menoleransi, soalnya meski bisa, aku gak biasa lagi manjat-manjat.
Auto encok, weh.
"Alah, gak tinggi gitu, naik dikit aja terus ambil buah-buahnya, cepetan deh!"
Pasrah ajalah nurut.
Aku pun keluar lagi, kali ini menuruti sesuai keinginan ibu, aku naik pohon.
"Bismillah!" Ternyata tak sesulit itu, aku pun duduk di dahan besar yang spot-nya pas untuk mengambil mangga-mangga itu.
Namun, entah kenapa, aku merasa ... sesuatu menyentuh bahuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
Roman d'amourIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...