"Bu, Ibu pernah liat Radifa marah gak? Atau ngomel?" Aku ingat dulu pernah bertanya begitu pada ibu.
"Radifa marah? Ngomel? Gak pernah, tuh. Dia mantu yang baik banget, manut, Ibu sayang deh sama dia." Itu jawaban ibu, dan kelihatannya Ibu dan Radifa memang sedekat itu bak anak kandung dan ibu kandung. "Kamu kenapa nanya gitu? Hm? Ada yang bilang kalau Radifa suka marah? Suka ngomel?"
Entah kenapa ibu malah membawa topik demikian.
"Bu-bukan gitu maksudku, Bu ... soalnya, Ibu ngerasa gak sih, aneh aja Radifa gak pernah marah atau ngomel?"
"Ya kalau kita perlakuin dia baik dan dia seneng di sini, kenapa dia harus marah atau ngomel?" Masuk akal. "Kamu jangan nanya aneh-aneh, deh. Ibu pusing."
"Oh ya, inget ya, Anton. Perlakukan Radifa dengan baik, selayaknya Bapak kamu memperlakukan Ibu, jangan sakiti perempuan! Paham?!"
"I-iya, Bu ...."
Begitulah percakapanku dengan ibu, yang saat ini jadi pikirkanku saat bekerja. Ucapan ibu masuk akal, tapi rasa kepoku sepertinya di luar nalar.
"Woi, bengong aja! Tu komputer gak bisa ngetik diri sendiri!" Tiba-tiba datang temanku, Nino, seraya meletakkan kopi di meja. "Kenapa tuh bengong? Kena omel bini ya?" tanyanya tertawa.
Meski pertanyaannya bercanda, jujur saja aku tersinggung.
"Ck, udah sana lo, gue mau kerja!"
"Kerja mulu, gak liat jam istirahat tuh?" Aku menatap jam di ponselku, benar ternyata istirahat. "Ayo!"
"Oh oke, oke."
Aku dan Nino pun menuju ke ruang istirahat karyawan, menemui yang lain untuk makan bersama. Kami pun duduk di antara mereka.
"Weh, Jo, kusut amat muka lo," komentarku melihat Jo yang ada di sampingku.
"Sssttt, Ton, jangan disenggol, dia lagi kena masalah." Kini, Andra, yang ada di hadapan berbisik.
"Hah? Masalah apa?"
"Masalah kecil sebenernya, tapi keknya dia terpukul banget. Si Jo kan biasanya bawa bekel dari bininya, tapi kemarin Jo gak sengaja gak ngabisin bekalnya, ya itulah marahan. Jo hari ini gak dikasih bekal, cuman duit doang, sedih banget tuh orang soalnya masakan bininya kan enak."
"Lah? Gitu doang marah?" Meski dalam hati, aku rasa sang istri sedih, karena bekal yang dibuat sepenuh hati malah tak habis. Entahlah siapa yang salah.
Namun, entah kenapa, aku jadi berpikiran soal hal ini.
"Eh, gue mesen makanan aja deh," kataku.
"Lah, lo kan ada bekal?" Aku hanya mengibaskan tangan mengabaikan itu, justru ini kesempatan.
•••
Dengan wajah semringah, aku pun pulang ke rumah, seperti biasa disambut Radifa Naufansyah istriku tercinta. Dia mengambil tasku dan membawakannya.
"Mas mau makan dulu atau mandi dulu?"
"Makan dulu, deh." Aku pun segera menuju dapur dan Radifa sejenak meletakkan tasku ke kamar, dia kembali lagi bersama tas bekal ke dapur.
Wanitaku itu menyiapkan makanan, kemudian barulah membereskan kotak bekalku itu.
Aku mengintipnya penuh rasa penasaran, ekspresi apa yang akan Radifa keluarkan kala melihat makananku masih ....
Lah kok isinya kosong?!
Bentar, bentar, coba aku ingat-ingat dulu.
"Lah, mesen makanan, tapi makanan bekal lo aja yang diabisin, Ton, Ton."
Oh, aku baru ingat, kalau makanan delivery-nya gak enak, tetapi karena kelezatan makanan buatan Radifa, aku terbuai dan malah menghabiskan itu.
Gagal lagi, gagal lagi.
Menghadeh.
Kenapa aku susah sekali akting jadi suami jahat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
RomanceIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...