Chapter 15

3.5K 221 2
                                    

Entah kenapa, usai dipijet ibu, meski awalnya aduhai syakiet syekali, aku pun tepar tidur begitu saja. Aku gak tahu lagi apa yang terjadi.

Apa jangan-jangan aku pingsan?

Cuman, pas bangun, aku segar bugar sekali, ternyata memang perlu bersakit-sakit dahulu bangun subuh biar gak kesiangan, eh apalah aku lupa pepatahnya. Mandi, salat ke mesjid, dan balik disambut hidangan enak dari Radifa.

Para jomlowan dan jomlowati jangan iri, ya.

"Dek, tangan Mas masih agak pegel, nih. Suapin, dong." Aku meminta dengan manja.

Radifa tersenyum manis. "Sini, Mas." Eyak eyak eyak.

"Oh, masih pegel? Malem ini biar Ibu pijetin lagi!" kata ibu, aku menatap syok.

"Eng-enggak sesakit itu, kok. Cuman masih sisa aja, mungkin nanti bakalan sembuh," jawabku gugup.

"Biar cepet sembuh, rajin-rajin gerakin, makan sendiri sana!" Aku cemberut kemudian menatap Radifa yang jelas tak bisa apa-apa.

Mau gak mau.

Jangan ketawain aku ya kalian ya!

Kami pun makan dengan tenang, ketika Radifa entah kenapa saat suapan ke sekian, terhenti.

"Kenapa, Dek?"

Dia tak menjawab, hanya menutup mulut kemudian menggeleng. Namun, gesturnya, kayak mual-mual gitu. "Dek?"

"Radifa, Nak Sayang, kamu mual?" Ibu dengan suara super ngalus, beda jauh banget pas samaku, berkata. "Sini sama Ibu, sini sini Sayang!" Pake sayang-sayang juga.

Oke, kesampingan itu, tapi Radifa kenapa?

Ibu pun membawa Radifa cepat-cepat, aku mengekor karena penasaran, dan berikutnya istriku memuntahkan isi perutnya. Ibu mengusap-usap punggung istriku itu dan aku ....

Sebenernya gak menji//jikan, lho, tapi ya aku ini gampang mual juga orangnya. Aku pun ikut mual juga, gak sengaja, dan tiba-tiba ibu menab//okku begitu saja.

"Kamu ya jadi suami begitu!" Ibu menegurku.

"Ya-ya maaf, Bu, gak sengaja." Aku mana terbiasa gituloh. "Radifa kenapa, Bu? Masuk angin, ya?"

"Kemasukan telur cicak!" jawab ibu ketus amat dah.

Aku sempat ngeleg, sampai akhirnya sadar sesuatu. "Ooooh, Radifa hamil anakku?!" pekikku, bahagia.

"Sana, ambil cuti, bawa istrimu ke rumah sakit!"

"Lho, langsung melahirkan, Bu?"

Dua kali aku kena sentil ibuku.

"Kamu, ya!"

"Ya maaf, Bu, nge-lag." Aku bingung aja karena terlalu excited. "Tapi, masa aku bawa Radifa pake motor bapak yang bergetar sampai tulang sum-sum? Gak mungkin, dong, nanti anakku gelegekan." Aku gak tau bahasa apa itu.

"Hih, bisa aja kamu! Bentar Ibu ambilin kunci mobil. Kamu urus istrimu!"

"Siap, Bu Bos!" Aku cengengesan, akhirnya ....

Hal membahagiakan, istriku hamil, dan mobilku balik, tapi pasti sebentar sih. Huhu.

Dahlah.

Aku memegangi istriku yang kembali mun//tah lagi, dia jadi diam nih, dan aku berusaha  nahan mual. Tahan tahan, aku kan suami yang baik. "Dek, sabar ya, Sayang. Kita ke rumah sakit."

Radifa mengangguk.

Setelah huru-hara sebentar, aku lekas saja membawa Radifa ke rumah sakit, ibu pun ikut juga, sementara rencanaku memberitahukan cuti sambil jalan ke sana. Karena menurutku, memahami kondiri Radifa sangatlah penting. Dia kelihatan lemas, aku khawatir.

Setelah sampai, tanpa babibu, minta diperiksakan seorang dokter kandungan wanita di sana.

Dan benar saja ....

"Selamat, ya, Pak, Bu."

"Alhamdulillah ...." Yeay, akhirnya penantianku ....

Aku memeluk dan menci/um kening istriku khitmad, penuh kasih sayang, akan aku ratukan dia—gak hanya pas hamil aja sih, sampai kapan pun! Dokter pun memberikan bimbingan konseling untuk kami yang merupakan calon new parents.

Dia bicara santai dengan gaya ala gen Z biar aku mudah paham juga. Hehe.

"Pak, mohon dipahami, ya. Mood bumil bisa naik turun, jadi—"

Mood bumil naik turun? Wah ....

Ide ....

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang