Chapter 27

2K 145 6
                                    

"Mas, istighfar, istighfar ...." Radifa mengingatkanku ketika aku naik embuskan napas dengan berat, ditambah wajah pasti kentara emosi dengan hidung kembang kempis. Dia juga mengusap-usap dadaku lembut selama beberapa saat. "Mas, istighfar."

Aku menghela napas panjang, berusaha tenang, aku lihat-lihat wajah istriku yang kalem dan hangat, manis imut tiada duanya, sambil beristighfar pelan, alhamdulillah.

Aku bisa mengatur emosiku.

"Apa-apaan dia ngomong gitu, Dek? Seakan ...."

"Mas Sayang, jangan suuzon ...." Radifa memegang pipiku lembut. "Ayo, makan lagi, ya. Gak usah dipikirin."

Yah, benar.

Tapi, tetep aku pikirin sih, kala kulirik dia seakan senyam senyum tak berdosa usai mengatakannya, tapi jelas aku tahu banget maksud dia tuh. Awas aja dia apa-apain istriku.

Awas aja!

Aku gak mau berlama-lama di sana, jadi setelah makan bersama Radifa, aku memilih pergi menjauh bersama istriku.

"Kamu duluan, ya, Bu, dan ... Fadlan." Oh, aku kesel karena inget namanya.

"Assalamuallaikum."

"Waallaikumussalam."

"Nduk, Le. Hati-hati di jalan." Ibunya menimpali usai menjawab salam kami. Aku pun segera beranjak dari sana.

"Mas, celana kamu, belum dibersihin." Sheeeet, pasti mereka liat, malu banget aku. "Kita ke toilet bentar, ya."

Aku mengangguk, dan pergi ke toilet umum bersama istriku, gak masuk sih cuman bagian lorong yang sepi karena jelas toiletnya misah. Dia membersihkan celanaku dengan telaten, untungnya celanaku warnanya gak putih.

Huh ....

"Udah, Dek?"

"Iya, Mas, sudah." Aku menghela napas lega kemudian menatap istriku.

"Kita makan es krim, yuk." Aku mengajak. "Sekalian santai abis makan, maafin Mas ya buru-buru pergi."

"Aku ngerti, kok." Radifa tersenyum manis. "Ayo kita lanjut, makan es krim, Mas mau rasa apa?" Dia mengulurkan tangan padaku.

Aku menyambut tangan Radifa dengan senyum manis, kemudian kami berjalan keluar toilet, dan aku merasa seperti penjahat aja, tengok sana sini, karena aku khawatir si Fadlan itu ngikut kami lagi.

Wajib siaga.

Dirasa aman, aku dan Radifa menuju ke kedai es krim terdekat sana, memesan dessert terbaik yang ada.

"Mas, foto dulu yuk," pinta Radifa, aku mengangguk setuju.

"Tadi sayang banget ya kita gak sempet ambil foto." Gara-gara si Fa—siapalah namanya itu.

"Udah, Mas, sabar." Kami pun mengambil beberapa potret bersama, lalu potret makanan kami, dan potret masing-masing. Hanya beberapa foto yang kami unggah ke medsos, bagian candidnya di mana wajah Radifa gak keliatan, kalau wajahku sih gak masalah.

Barulah setelah itu, kami makan bersama, es krimku es krim tiga rasa, vanila, cokelat, dan stroberi, dengan topping brownies mini serta wafer, sementara Radifa mendapat rasa sama tapi topping ragam buah.

"Dek, Mas mau anggurnya, dong."

"Sini, aaaa ...." Radifa menyuapiku anggur.

"Nyam nyam, enak."

"Aku mau wafer-nya." Aku balik menyuapinya, sedikit bercanda pura-pura menyuapi, lalu benar-benar menyuapinya. Kami tertawa hangat berdua. "Brownies-nya mau?"

Dia mengangguk dan aku menyuapinya lagi.

"Anggurnya ijo, ya, Dek, tapi manis. Stroberinya manis gak tuh?"

"Manis." Dia menyuapiku stroberinya.

"Agak asem." Aku agak kecut.

"Rasa stroberi kan emang begitu, Mas." Dia tertawa hangat.

"Abis ini ke mana? Mau main gak?" tanyaku, menaikturunkan alis. "Ke arena bermain."

"Boleh ...." Radifa menatapku serius meski tersenyum.

"Kalau kamu menang, Mas turutin mau kamu, kalau kamu kalah, turutin mau Mas." Walau aku yakin sih, apa aja tanpa gini pasti diturutin, kami juga gak akan nyuruh yang aneh-aneh, cuman main game aja sih biar seru.

"Oke, jangan nangis kalau kalah, ya." Dia mengejekku dan aku tertawa geli.

"Oke, siapa takut?"

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang