Aku menoleh dengan terpaksa senyum, apalagi ni orang bersama ibunya yang seumuran ibuku tampaknya. Jelas ibunya kan, kan dia bilang sendiri bareng ibunya. Radifa juga kepaksa senyum duh.
"Teman kamu, ya, Le?" tanya ibunya tersenyum hangat juga pada kami. "Oh, itu kan Radifa? Nak, sini, duduk bareng sama ... temen kamu ya itu?"
Temen?!
Temen?!!!
"Bu, itu Radifa dan Anton, suaminya."
"Oh, suaminya toh." Ibu ini tega sekali, gak merasa bersalah setelah nyakitin perasaanku, huhu. "Maaf, ya, Le." Oh, syukurlah. "Sini duduk bareng kami."
Oh astaga, sampe lupa ibu itu ngomong apa tadi, duduk bareng? Astaga ogah banget deh. Cuman, gak enak nolak deh, gimana ini cara nolaknya huhu?
"Bu, jangan gitu, mereka mau dating ala suami istri, kita gak harusnya ganggu." Nah tu paham lo ... siapa dah namanya ini, lupa banget. Bagus deh kalau dia sadar diri.
"Oooh, gitu. Maaf, ya, Nak."
"Iya, Bu, gak papa." Radifa menjawab hangat, dan rasanya canggung sekali. Duduk deketan begini, mau pindah gak nyaman, tapi menetap pun gak nyaman juga.
Apa anggap aja gak ada mereka di sekitar? Mustahil deh, kami cuman beda semeja, cuma gak jauh sih.
Ni juga, jelas banget ni orang sengaja duduk deketan sama kami keknya ya, kan masih banyak meja kosong lain. Dasar ganggu!
Bukan Ibu, ya, Bu. Anak Ibu tuh meresahkan. Aku menghormati ibu-ibu, kok.
Radifa sepertinya memahami situasi kami juga, kan?
"Mas, ini ...."
"Kita anggap aja mereka ... gak ada." Dia mengangguk mengerti. "Sengaja banget tu orang, Dek, duduk deketan sini. Ganggu deh."
"Udahlah, Mas, gak papa."
Tak lama, minuman kami datang duluan, aku segera meminumnya cepat karena jujur aja, gerah nih panas panas. Namun, karena itu, aku malah keselek.
"Mas, pelan-pelan, Mas." Agak malu, tapi sekaligus ... hehe.
Pas Radifa mendekatiku segera dengan sigap dan membantuku yang masih tersedak, dia juga menyeka bibirku lembut. Aku melirik si anu di samping kami, haha, panas tuh ngeliat kemesraan kami.
"Makasih, ya, Dek. Mas udah gak papa." Aku tersenyum ke arahnya dengan manis, mengeluarkan kharisma terbaikku.
"Mas hati-hati, ya."
"Iya, Sayang, iya." Kembali Radifa duduk di tempatnya, seberangku, tetapi karena aku mau manas-manasin lagi, aku pindah duduk saja di samping istriku itu kemudian mengangkat tangan, merengkuh istriku lembut di bahu.
Lu liat gak? Liat nih, pasangan halal nih bos.
Radifa sepertinya paham sekali denganku, jadi dia merapatkan badan.
"Mas, harusnya kamu jangan duduk di situ, tadi ada sisa saus lupa aku lap." Istriku ternyata mau berbisik.
Mataku membulat sempurna.
"What?" Segera aku angkat bokongku dan memang ada sisa saus di sana. Kedua pipiku memerah malu.
"Astaga, Dek, kenapa kamu gak bilang?" tanyaku cemberut.
"Berdiri, Mas, biar aku lap-in."
Aku menggeleng, gak mungkinlah aku memperlihatkan istriku ngelap celana bagian belakangku karena kena saos di hadapan dia, malu abis lah.
"Nanti aja Dek, pas selesai makan aja." Aku mendengkus pelan. "Malu, Mas, kalau gitu."
"Hm iya, Mas." Aku pura-pura aja gak ada yang terjadi, fokus manas-manasin rivalku itu. "Nanti cuapi Mas, ya, kita cuap-cuapan," pintaku manja.
"Iya, Mas Sayang."
Aku memeluk istriku manja, ngehehehe. Panas lo panas!
Tak lama, pesanan kami pun datang, dan sesuai janji, Radifa mulai menyuapiku.
"Mesra banget ya kalian, kayak pasangan baru," komentar ibu si anu itu tiba-tiba. "Kamu kapan kayak mereka, Le?"
Iya, tuh, kapan lo? Wahahaha.
"Akan ada waktunya, Bu. Yah, kadang perlu nunggu orang yang saat ini lagi jagain jodohku."
Mangsud?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
Roman d'amourIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...