"Akhirnya selesai juga," kataku, duduk di sofa setelah seluruh rumah konclong tanpa debu, ibu sangat teliti melihat kinerjaku jadi sama sekali aku gak bisa apa-apa selain menuruti perintahnya ngebersihin.
Nasib, nasib.
Sekarang, ibu terlihat menginspeksi meja, jendela, bahkan kipas angin, dari debu yang kayaknya setitik saja ibu pasti langsung murka, padahal mah debu terbang sana sini makanya ada lagi dan lagi, lantai pun dia pijak-pijak, seakan mengetes kering dengan baikkah atau gagal total.
Tak lama, ibu manggut-manggut. "Bagus, bagus." Syukurlah. "Awas aja kamu isengin istrimu lagi, Ibu ketekin kamu."
"Iya, Bu, iya." Aku menghela napas lega seraya bersandar di sofa, dan ibu menuju dapur.
Radifa sendiri, dia tengah keluar sebentar tadi, membeli kopi. Di meja tampak dia meninggalkan gorengan serta merta air minum, segera aku tandaskan tanpa ragu, capek sedari tadi ditahan-tahan ibu mulu.
"Assalamuallaikum."
Nah, itu suara istriku. "Waallaikumussalam," sahutku dengan senyuman.
Namun, segera aku lunturkan senyum itu, gak boleh bahagia sih, aku harus ngambek dengan istriku, kali aja dia ikutan ngambek. Akan tetapi, asli deh, lihat wajahnya yang adem ayem, aku susah marah padanya.
Harus tahan!
"Udah selesai ya beres-beresnya, Mas?" tanya Radifa lembut.
"Udah." Aku berusaha jutek sambil manyun, hm kesannya kek anak kecil sepertinya. Duh. "Kamu itu bawa apa?" Aku melihat Radifa membawa bungkusan selain kopi, tampaknya kuah.
"Oh ini bubur kacang, Mas." Dia menjawab seadanya.
Aku berpikir sejenak. "Waduh, Difa. Kenapa kamu jajan yang gak disuruh Ibu, jangan boros, lah." Jadi suami medit kek di sinteron-sinetron sering bikin istri mengsedih kan ya?
Aku tak tega, tapi penasaran banget bagaimana.
"Itu Ibu yang nitip!" Tiba-tiba, suara ibu terdengar di arah dapur, dia baru keluar dari sana. "Boros boros, muka kamu tuh boros!"
Ya Lord, ibukku bodyshamming!
"Kalau kamu gak mau ya udah gak usah!" kata ibu lagi dengan galaknya.
"Ya, ya, bukan gitu maksudku, Bu—"
"Difa, ayo sini kita makan berdua aja, gak usah diajak tuh anak cicak." Aku melongo akan ungkapan ibu, yang mulai mengajak Radifa menuju dapur, meninggalkanku yang melongo.
"Bu, aku mau Bu!"
"Makan tuh piring sama gelas di sana!" Aku cemberut, nasib-nasib.
Cuman, yah, setelah itu ... Radifa ternyata tetap ngasih bubur kacang itu untukku, dan ibu legowo soal itu. Beruntung deh.
Dan yah, aku makin gak bisa membuat istriku ngomel, aku bingung dengan segala kebaikannya ini. Benar-benar sulit.
Tapi, aku gak akan nyerah, sekali aja deh aku mau liat dia marah.
Apa, ya?
Oh, benar juga ....
•••
"Dek, hari ini Mas gak usah bawa bekal, Mas mau makan bareng sama temen sekantor keluar, dan mungkin Mas bakalan pulang telat soalnya mau jalan-jalan bareng temen juga." Aku berkata di depan cermin, anggap aja latihan, sebelum aku siap-siap mengutarakannya langsung ke istriku.
Ini akan aku lakukan, sembari bersiasat menjadi suami yang kekurangan masa muda, ini sih bohong karena aslinya aku enggak terlalu suka jalan, makan di luar, atau sejenisnya, paling kalau ada kepentingan.
Dirasa siap, aku pun menghampiri istriki di dapur, dan dari kejauhan ....
Semerbak sekali bau masakannya, bused dah.
Saat sampai di dapur, aku berusaha mempertahankan diri dengan niatku.
"Mas," sapa Radifa manis. "Ini bekal—"
Aku menahannya sejenak. Narik embus napas, kemudian ....
"Tolong, bekalnya ... tambahin isinya, Dek."
Heh, salah kata-kataku!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
RomanceIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...