Sudah tertebak, itu ibu, matanya udah nyeleng ngeri kayak mau keluar, dengan wajah memerah, kalau di kartun-kantun mungkin keliatan telinga dan idung ibu mengeluarkan asap.
Seram sekali ....
Aku sungguh takut!
Aku gak nyangka ibu yang dari dapur datang ke sini, lalu segera mengambil nota pembayaran tersebut. "Anton ...."
Aku langsung bangkit menjauhinya, tanpa diduga ibu bergerak seakan siap menerkamku, untungnya segera aku berlindung di balik badan Radifa.
"Huaaa, ampun, Bu, ampun! Anton gak sengaja beli, Bu!" kataku, walau mustahil sekali gak sengaja, mana ada begitu.
"Gak sengaja? Maksudnya kamu gak sengaja masuk toko, terus keambil mainannya, terus ke kasir, gak sengaja kebayar juga? Gitu?!" Aku meringis sedih.
"Maafin Anton, Bu. Anton khilaf ...." Aku menangis berlindung di balik badan mungil istriku, dan aku tak berani menatap ibu, pasti serem, apalagi pas hidung ibu kembang kembis bersama suara napas ngos-ngosan. "Huhu, maaf ...."
"Radifa, kamu pasti gak tau kan suami kamu beli ini? Ibu sempet denger percakapan kalian tadi." Aku sama sekali tak bisa membela diri di hadapan ibu, huhu. "Pokoknya, karena kamu udah boros begini tanpa bilang-bilang istrimu, kamu Ibu hukum! Dalam sebulan, gak ada uang buat jajan, gak ada naik mobil, kamu jalan kaki aja biar hemat! Terus makan bawa bekal rumah! Titik!"
"Buuu, kenapa tega, Buuu? Capek aku ke kantor." Kejam ih, mana gak ada jajan. "Buuuu ...." Aku merengek. "Difa, belain Mas Difa ...." Aku kemudian menatap istriku.
"Mm Bu, gak papa kok sebenernya Mas Anton mau beli ini itu, mungkin Mas Anton pengen self reward sesekali, Bu." Dengan nada halus, Radifa berkata pada ibu.
"Tapi dia enggak bilang-bilang sama kamu, kan, Nduk? Ini permasalahannya, suami istri harusnya komunikasi!" Aku semakin merengek takut di balik punggung istriku. "Dia harus dihukum karena nakal."
"Mm Bu ... mungkin Mas Anton gak berani bilang di awal karena takut aku marah, aku gak marah kok, dan aku rasa Mas Anton berhak self reward, kasihan Mas Anton udah kerja keras untuk aku. Kasihan, Bu." Radifa terus melunakkan hati ibu, aku harap lunak.
Dia kan sayang Radifa kebanding aku.
"Hah ...." Ibu terdengar menghela napas lega. "Yah, kamu bener juga, Nduk."
Leganya ....
Untung istriku menamengi, hehe, andai enggak mungkin ada yang melayang-layang ke muka.
"Tapi, tetep, kamu jangan lembekin suami kamu itu, dia makin jadi-jadi nanti tengilnya!" Aduh, apa aku bakalan tetep dihukum? Huhu, janganlah, meski kantor gak jauh-jauh banget masa jalan kaki? No jajan, aku kan juga mau jajan tambahan di kantin kantor.
Ayolah, Radifa, tunjukkan kehalusanmu.
"Ibu tetep larang dia dapet uang saku, dan cuman bekal, dan tetep dia gak boleh bawa mobil selama sebulan! Dia harus bawa supra bapak biar tau berhemat! Itu hukuman dia!"
"Lah, Bu?!" Haduh, bukan maksud gengsi ke kantor bawa motor itu, cuman ya motor yang udah bangkotan itu asli dah, geter-geter mana gak bisa cepet, rasanya kayak pake alat pemec//ah lemak uy! "Tapi—"
"Gak ada tapi-tapian, masih mending Ibu nyuruh pake motor, padahal rencananya Ibu mau nyuruh ngerayap! Biar sama kayak keluarga cicakmu!!!"
Ibu mencetus sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan kamar, aku merengek berikutnya.
"Cup, cup, cup, Mas Sayang." Radifa menenangkanku sambil memelukku yang sendu, sedih, tapi lumayan juga nih sekalian modus, hehe.
Oh istriku sayang, Mas lope-lope kehangatanmu ....
Cuman, kapan yah, kamu marah sama Mas?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
RomanceIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...