"Hah? Apa nih?" Saat aku mengecek sesuatu yang menyentuh bahuku di sana, ternyata ....
"Haaarghhh! Ulaaar!" teriakku, siapa sangka ada ular pohon yang merayap di bahu, segera aku lempar ngasal aja dan tanpa disangka ....
"Eh, Difa awas ular!" teriakku, karena ternyata Radifa keluar rumah, aku tak sengaja melemparkan tepat ke arahnya.
"Hah!" Radifa terkejut, tetapi refleksnya keren juga, dia langsung menyervis ular itu.
Benar, diservis, macam bola voli!
Ular itu pun langsung melesat menjauh, aku tentu saja syok, dan istriku mesti merasa demikian. "Difa, kamu gak papa, Dek?" tanyaku, menyadarkan lamunannya sejenak.
Radifa masih diam sebentar, sampai dia mengganti ekspresi, wajah khawatir. "Aku gak papa, Mas. Mas sendiri, gak papa? Itu ular dari atas pohon Mas?" tanya Difa balik, masih kikuk.
"Iya, dari atas, Dek. Ngerayap di bahu. Untungnya Mas gak panik, bisa-bisa jatoh." Aku mendengkus pelan, kemudian menatap istriku lagi.
Hm ... dia gak marah, ya? Yah, apa yang diharepin, sih. Aku gak sengaja, mana bisa marah kan?
"Mas, turun aja deh, takutnya ada ular lagi."
"Udah gak ada deh, Dek, paling-paling ular dalam celana." Aku cengengesan padanya, dan saat itu juga aku ngerasa ada yang menggeliat.
Geliat-geliat di celana ....
"Aaaarghhh! Ular!" teriakku lagi, dan benar ternyata ada ular di celanaku!
Woi elah! Mau nyapa saudaranya ya?!
"Mas!" Radifa terdengar bersuara.
"Hu hu huaaa!" Dan akhirnya, ular kedua berhasil menumbangkan ularku. Eh, maksudku, aku. Aku jatuh, untungnya dengan kaki mendahului, jadi agak ngilu saja bagian sana, untungnya pendek ni pohon.
Ular itu pun aku singkirkan, aku gak terlalu takut ular sih, apalagi yang satu ini tak berbisa, cuman kalau tiba-tiba pasti agak panik lah ya.
"Uh ...." Badanku, remuk ternyata rasanya.
"Mas kamu gak papa?" Radifa menghampiriku takut-takut.
Ini kenapa banyak ular sih? Apa betulan mau nyapa ular satunya? Atau apaan?
"Uh, Dek, badan Mas rasanya remuk."
Dia membopongku dan membawaku ke dalam.
"Lho lho lho, kenapa itu?" tanya ibu, heran menatap kehadiran kami.
"Mas Anton jatuh, Bu." Radifa berkata sambil mendudukkanku di sofa. "Di pohon mangga banyak ular, Bu." Radifa mulai memijat-mijat kakiku, uah enaknya.
"Ular?"
"Iya, Bu. Mana dua lagi lho."
"Ya biasalah, kamu kan cicak, pasti pengen mereka ngap!" kata ibu tanpa rasa iba, aku cemberut karenanya.
"Sakit lho ini, Bu, sakit!" Aku merengek. "Remuk ini, keknya ada yang keseleo, kasihanin kek, Bu."
"Bentar Ibu ambilin minyak urut super, biar Ibu aja yang ngurut!" kata ibu, aku syok mendengarnya.
Beda dengan Radifa yang lembut, ibu kan tangannya berkekuatan super, udah remuk makin remuk dah. Mana minyak urutnya ... super pedes, bau aneh juga.
"Eh eh eh, ga-gak usah, Bu. Gak usah. Udah enakkan dipijet Radifa, kok."
"Udah, biar Ibu aja, ini gak kerasa, malam nanti kerasa banget, pastilah kamu susah kerja nanti. Radifa, ambilkan minyak urutnya." Ibu malah menyuruh Radifa, yang tentu saja manut tanpa bisa aku berkata-kata.
Tidak, tidak ....
Tak butuh waktu lama, minyak urut datang, dan mulailah ibu dengan aksinya.
"A-ampun Bu, aaaampuuuun!"
Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan begini, diurut ibu, untungnya ada Radifa yang memegangi, agak kurang dikit.
Tapi serius ....
"Huaaaaa aampuuuun, Buuuu, ampuuuun!"
Perlukah aku nulis surat wasiat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
عاطفيةIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...