"Huaaah!" pekikku, masuk kamar kemudian naik ke kasur, bersembunyi di balik selimut yang ada di samping istriku yang masih membaca.
"Astaghfirullahazzim, Mas. Kamu kenapa?" tanya Radifa.
Aku sedikit mengintip, menatap wanitaku yang kelihatan heran, jelas sekali karena diriku yang ketakutan. Sedikit mengatur napas juga karena aku lari-larian kemari, padahal baru seperempat jalan ke pos ronda.
Itu karena ....
"Dek, Mas takut, Dek. Takuuuut!" ucapku, mengapitkan badan ke istriku.
"Ya Allah, Mas. Takut kenapa? Kamu juga abis lari-larian ya tadi? Keringetan banget kamu, Mas." Radifa mengambil tisu dan menyeka keningku.
"Itu, lho, Dek. Mas kan jalan ya ...." Saat itu aku sudah mau pergi gitu, dan mulai jalan ke arah pos ronda kan, suasana dingin, mana sepi, tapi aku berusaha memberanikan diri tetap maju, karena yakin di pos ronda mah gak sepi.
Akan tetapi tuh ya, aku baru sadar, pas aku jalan, kok kerasa langkahku ada dua lho. Jadi, aku berhenti sebentar, noleh kiri kanan, depan belakang. Gak ada orang di dekatku, tapi tu langkah kaki asing kerasa deket.
Aku kembali jalan, kali aja aku salah denger kan, kali aja juga itu langkah kakiku sendiri toh pas aku stop, udah gak ada.
Cuman, pas jalan, tu langkah kaki kok nambah lagi, mana dua, orangnya tetap gak ada. Lalu, pas aku stop ....
Langkah kakinya masih ada bjir!
Mana bukan satu, tapi kaya berkelompok, kemudian hawa dingin ditambah suara angin srek srek makin nakutin, alhasil aku langsung balik tancap kaki seribu, hingga ke kamar ini.
Untung ibu gak liat aku tadi, kalau liat bisa-bisa diejek aku.
Radifa menggeleng miris. "Harusnya kamu baca doa, Mas."
"Mas lupa, Dek. Huhu. Mas gak apa kan ini? Gak akan diikutin? Mas takut, Dek."
"Mas, ada Allah yang senantiasa lindungin kita, lho. Masa Mas takut sama yang begitu. Baca doa ...." Dia mengusap bahuku lembut. "Baca doa, ayo baca doa sama-sama."
Bagaikan guru ngaji, Radifa membantuku baca doa, sebenernya aku bisa sendiri, tapi gemeteran dikit. Setelah selesai ayat kursi pun ... rasanya lebih lega.
"Ayo, sekarang doa tidur, Mas. Mas tidur aja, gak usah capek-capek." Dia melepaskan jaketku kemudian. Ini aku ngerasa kek anak TK yang dibantu baca doa deh.
"Pinter Mas Anton ... tidur, ya, Mas." Radifa membaringkan kepalaku.
"Mau peluk." Aku berucap manja.
Radifa tersenyum, melepaskan hijabnya, dan menyamankan posisi memelukku. Pasangan sah nih, Bos, jangan disenggol dong nanti aku nangis.
Aku pun terlelap dengan nyenyak, bener juga sih, enakkan tidur daripada begadang, kata Mas Rhoma Irama kan jangan begadang kalau gak butuh.
Bangun subuh seger, kukira aku bakalan demam karena ketempelan, aku pun salat berjamaah di mesjid dan syukur aja barengan sama beberapa tetangga yang ada. Iya aku masih agak takut gitu, dahlah ya.
Setelah salat, aku pun pulang ke rumah, disambut istri dan ibu tercinta, sarapan, dan akhirnya ....
Harus bertarung dengan motor pemecah lemak bapak. Sia-sia rasanya merengek sama ibu minta pake mobil, huhu.
Untungnya, ibu janji pas reuni Radifa nanti, aku bakalan pake mobil, yakali pake motor kan, malu lah sama temen-temen Radifa.
Aku gak sabar pamer, eh gak boleh ya, nanti kena ain. Ya udah aku ambil prasmanannya aja pake kresek.
Itu lebih bagus!
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kalem
RomanceIstriku itu gak pernah marah, sekali pun belum pernah aku liat dia kesel, murka, apalagi ngamuk. Kata orang-orang, termasuk ibuku yang amat menyayanginya, itu hal bagus, toh gak ada juga yang buat dia sensian, tapi tetep aku ngerasa aneh dan penasar...