Chapter 22

3.1K 198 17
                                    

Selesai mandi, semua terasa seger, alhamdulillah, masuk kamar pun siapa sangka Radifa udah nyiapin baju untuk aku pakai. Memang istri yang sangat berbakti ....

"Dek, gak usah disiapin, kamu banyak-banyak istirahat aja, Sayang." Tapi aku ini suami yang peduli, gak tega aku.

"Gak apa, Mas. Aku udah kebiasa." Aku cengengesan, manisnya uey.

Tapi, sebenernya aku tau sih alasan Radifa begitu, kata ibu ... kalau aku ambil sendiri, biasa lemari langsung kayak meledug, jadi baiknya emang diambilin jadi tetep rapi. Ibu sering ngomel lho kalau aku begitu, makanya ....

Aku tersenyum lebar.

Dapet ide bagus, nih, ya.

"Kenapa, Mas?" tanya Radifa, sepertinya karena seringaiku tadi, apa aneh ya? Gak bisa nyembunyiin kebahagiaan aku nih.

"Dek, Mas mau pake baju yang lain, ya. Yang ini Mas udah pake keknya." Aku berdalih.

"Ya udah aku—"

"Etetetete, gak usah, Sayang. Mas aja ambil, kamu duduk diem di sana ya. Istirahat buat dedek bayi, emuach." Dan aku memulai aksiku, menuju lemari, dan Radifa tak mengikuti.

Dan saat depan lemari, aku bingung, ternyata bajuku lumayan banyak juga. Sekarang aku planga-plongo milih baju.

Oh astaga, itu kan bukan niatku, niatku ya ....

Tarik aja terserah dah. Dalam hati aku ketawa jahat, tapi sungguh gak ada niat jahat, maafin Mas ya Difa. Nanti pasti Mas benerin, tapi kamu marahin Mas dulu gak apa.

Bismillah, gak ketahuan ibu.

Sebagian aja aku acak-acak ini, biar gak terlalu capek, dan setelahnya ambil baju terserah apalah. Isi lemari kini mayan kapal pecah dan aku memperlihatkan baju kaos bola itu pada Radifa.

"Mas mau pake ini, ya." Langsung aja aku pake, dan mengabaikan lemari terbuka dan pakaian berantakan.

Radifa kelihatan melihat ke arah lemari itu, wajahnya ....

Biasa aja.

"Iya, Mas. Bagus."

Santuy ternyata.

Hm apa ya yang biasa buat ibu ngomel?

Aha, aku tau. Sengaja aku dorong pakaian anbyar itu, jadi kesannya rapi, padahal enggak kan, ibu paling gak suka yang begini. Lalu kututup alakadarnya, jadi kebuka dikit, dan aku pun duduk santai di samping Radifa seperti anak kecil yang gak paham hal tersebut mengundang murka.

Namun, Radifa malah mengusap puncak kepalaku, mengambil sisir dan menyisir sementara aku memakai celana.

Ini aku makin merasa bersalah jadinya, Radifa, marahlah, murka wei.

Akan tetapi, bukannya terwujud doaku, Radifa makin bersuara halus. "Mas, itu es krim kamu ada di kulkas, sekalian jeruk perasnya. Oh ya tadi aku masak makanan kesukaan kamu, lho. Terong balado."

Aku yang padahal sudah siap jadi suami terjahat sedunia, malah mewek, ini bukannya Radifa yang jadiin aku cicak penyet, malah aku yang dibuat Radifa termewek.

Segera, aku menuju ke lemari, merapikan pakaian tadi dengan sigap.

"Eh, Mas, gak usah. Biar aku aja—"

"Ini tanggung jawab, Mas, Radifa. Tanggung jawab Mas sebagai suami yang baik untuk kamu." Aku berkata, bak pemeran utama pria di sinetron drama.

"Makasih, ya, Mas." Siapa sangka, Radifa sudah ada di belakangku, dan mencium pucuk kepalaku lembut.

Akhirnya, bendunganku luruh.

"Huaaaaaaaa!!!"

"Eh, Mas, kok kamu nangis? Mas cup cup cup."

Katakanlah aku anak kecil, tapi ya mau gimana lagi, aku terharu dengan kebaktian istriku.

Rasa kepo ini mengganggu, asli, tapi rasanya makin aku mencintai Radifa, makin pula aku penasaran bagaimana reaksi murkanya.

Agak kampret emang, aku susah jera.

Istriku KalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang