Tenang, cerita ini gak akan ada orang ketiga. Di chapter ini kalian juga bakalan langsung tau letak konfliknya. So, ramein ya 😉
Joanna menghirup aroma maskulin yang tiba-tiba menguar pada tubuh laki-laki yang sedang duduk di depannya. Tangannya juga mulai terulur sebagai tanda kalau dia ingin berkenalan sekarang.
"Jeffrey."
"Joanna."
"Maaf, ya? Tadi jalanan macet karena hujan. Aku pesan minuman sekarang, kamu mau minuman lagi?"
Joanna menggeleng pelan, karena kantung kemihnya terasa penuh akibat hampir menghabiskan satu gelas minuman berukuran besar.
"Mbak, saya pesan es americano dan dua rainbow cake. Terima kasih."
Setelah pelayan pergi. Joanna mengamati setiap pergerakan Jeffrey. Dimulai dari bagaiama caranya meletakkan ponsel dan kunci mobil secara kasar di atas meja. Kemudian melonggarkan dasi dan melepas dua kancing teratas kemejanya secara asal. Dan jangan lupa bagaimana caranya melepas jas hitam dan menekuknya sembarangan, kemudian diletakkan di punggung kursi yang sedang diduduki sekarang.
Sangat-sangat berantakan.
Batin Joanna.
"Ada yang salah?"
Tanya Jeffrey sembari membenarkan cara duduknya. Menatap lamat-lamat perempuan yang kali ini dijebak oleh ibunya.
"Tidak."
Jawaban singkat Joanna membuat Jeffrey tersyum masam dan mulai memajukan tubuhnya. Membuat Joanna gelagapan karena ditatap dari dekat.
"Kata Mama kamu rajin pijat di SPA. Memangnya pekerjaanmu apa? Menjadi kuli bangunan?"
Jeffrey hanya bercanda, tetapi Joanna yang memang selalu memiliki peringai serius tentu tidak terima. Apalagi mereka baru saja saling mengenal. Oh, tentu ucapannya akan semakin membuatnya naik pitam.
"Iya, kuli bangunan."
Jeffrey lagi-lagi tertawa, karena dia tidak menyangka perempuan harum melati di depannya benar-benar memilki selera humor yang lumayan.
Padahal, Jeffrey tidak tahu saja kalau Joanna sudah mati-matian menahan kesabaran untuk tidak memukul kepalanya dengan gelas minuman hampir kosong di depannya.
"Kamu lucu juga. Ngomong-ngomong, parfummu rasa melati?"
Joanna membaui tubuhnya, seingatnya dia tidak memakai parfum apa-apa. Oh, mungkin karena lulur rempah yang dipakainya sebelum datang masih menempel di kulitnya.
"Bukan parfum, lulur."
Jeffrey ber "oh" ria dan tidak berhenti menatap intens mata Joanna yang saat ini juga sedang menatapnya.
Seolah sedang berkomunikasi lewat tatapan mata, kedunya bahkan tidak lagi mengeluarkan suara sampai pelayan yang membawa pesanan Jeffrey datang.
"Apa arti pernikahan menurutmu?"
Tanya Jeffrey tiba-tiba setelah mendekatkan salah satu piring rainbow cake pada Joanna.
"Pengikatan dua orang yang saling mencintai dan berjanji untuk saling mengasihi hingga mati."
Jeffrey terkekeh pelan dan mengangguk singkat, lagi-lagi dia dibuat tertawa dengan ucapan sederhana perempuan di depannya.
"Joanna, kamu perempuan baik-baik. Kamu bisa mencari laki-laki lain yang bisa kau ikat sampai mati. Aku belum ingin menikah. Aku mau datang karena tidak mau Mama Jessica marah. Jujur saja, sebenarnya ini sudah ke lima belas kali aku menemui perempuan pilihan Mama dalam satu tahun ke belakang."