Joanna bingung bukan main. Pasalnya, di pagi buta Jessica sudah datang di depan rumahnya sembari membawa rantang berisi bubur ayam yang dibuat oleh asisten rumah tangga di rumahnya."Tante memangnya ada acara apa di rumah? Kenapa sampai repot-repot datang?"
Jessica menggeleng pelan dan mengamati punggung Joanna yang sedang mencuci rantang dengan cekatan.
"Tidak apa-apa, Tante hanya mau melihat calon menantu saja. Oh, iya. Mulai sekarang panggil Mama saja, ya? Supaya lebih akrab."
Joanna langsung menoleh menatap Jessica karena bingung akan ucapannya.
"Tante. Jeffrey kemarin mengatakan kalau dia belum siap menikah dan ingin fokus bekerja---"
"Halah! Itu dia sedang jaga image! Waktu pulang kemarin, dia sampai senyum-senyum sendiri. Katanya dia suka sekali denganmu dan tidak sabar ingin melamarmu."
"Tante jangan bercanda---"
"Serius! Tante datang ke sini untuk berdiskusi denganmu. Tante berencana untuk melmarmu. Bukannya apa-apa, usia kalian sudah cukup matang. Sekarang sudah saatnya untuk membina rumah tangga."
Wajah Joanna pucat pasi. Bukannya apa-apa, dia bahkan baru sekali bertemu Jeffrey, tetapi bisa-bisanya ibunya sudah mau melamar dirinya secepat ini.
***
Satu bulan kemudian, pernikahan Jeffrey dan Joanna diselenggarakan.
Memang sangat singkat waktunya. Bahkan banyak yang mengira kalau Joann hamil d luar nikah. Tetapi berita itu segera ditepis kuat-kuat setelah melihat bagaimana lekuk tubuh Joanna yang masih terlihat bugar. Apalagi perut super ratanya yang membuat siapapun yang melihat pasti mengira Joanna tidak pernah makan.
Kedua orang tua Joanna juga merasa sangat senang. Karena mereka merasa sedikit tenang karena ada yang menjaga anaknya di Jakarka. Selain itu, mereka juga sedikit merasa lega karena paling tidak anaknya bisa memilki seseorang yang bisa diajak berbagai ketika sedang memiliki masalah.
Setelah acara resepsi selesai, Joanna pamit menuju ke kamar hotel yang telah diisi oleh orang tua dan adik-adiknya. Karena besok mereka akan pulang untuk mengerjakan berbagai aktivitas mereka seperti biasa.
"Loh, kok datang kemari?"
Tanya Liana yang baru saja keluar dari kamar mandi dan menatap ketiga adiknya yang sedang menikmati serial netflix di televisi.
"Mau melihat kalian lebih lama. Besok pagi kalian sudah pulang."
Liana tersenyum singkat dan mengajak anaknya untuk duduk di atas ranjang bersama dirinya.
"Ibu tidak menyangka kamu akan menikah secepat ini. Padahal Ayah dan Ibu sempat khawatir kalau kamu tidak mau menikah sama sekali. Tetapi setelah melihat suami dan keluarganya tadi, Ibu sangat senang. Karena akhirnya kamu menemukan laki-laki yang tepat. Laki-laki yang pasti bisa menjagamu ketika jauh dadi Ayah dan Ibu."
Joanna mengangguk kaku, dalam hati dia ikut mengamini apa yang telah diucapkan ibunya.
Ya, meskipun tanpa cinta. Paling tidak Joanna harus tetap merasa bersyukur sekarang. Karena dia bisa diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga suaminya.
***
Malam pertama, katanya adalah malam yang paling di nanti-nantikan bagi setiap pengantian. Tetapi tidak bagi Jeffrey dan Joanna. Karena keduanya masih sibuk rapat membicarakan hal-hal yang boleh dan tidak seharusnya mereka lakukan setelah menikah.
"Aku akan memenuhi seluruh kebutuhan finansialmu dan keluargamu. Jadi kamu tidak perlu bekerja lagi, setiap bulan aku juga akan memberimu uang berapapun yang kamu ingin."
Joanna mengangguk cepat, karena hal-hal seperti ini sudah dijanjikan Jessica ketika melamarnya.
"Lalu, apa tugasku?"
"Seperti yang telah Mama Jessica katakan, cukup siapkan makanan untukku dan selalu ikut kemanapun aku dinas. Tapi menurutku ini berlebihan, jadi sepertinya kamu cukup mengurusku ketika di rumah saja."
"Aku tidak masalah. Aku bisa sekalian jalan-jalan. Oh, iya. Makanan kesukaanmu apa? Ada alergi makanan?"
"Semua makanan aku suka, aku kurang suka dengan makanan pedas. Kalau bisa buatkan makanan yang less spicy saja."
Setelah mengatakan keinginanannya, Jeffrey langsung diam. Begitu juga dengan Joanna. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dengan posisi sudah memakai piyama dan duduk bersila di atas ranjang hotel.
"Kalau kamu lelah, cukup katakan. Aku akan membebaskanmu tanpa banyak aturan. Aku tidak masalah kalau kamu mau berkencan dengan laki-laki lain yang kau suka. Asal tidak ketahuan saja. Kamu paham maksudku, kan? Aku hanya ingin image perusahaan tetap stabil seperti sekarang."
"Ya, aku paham. Kamu juga bebas jika ingin mengencani orang lain. Aku tidak masalah. Sama sepertimu, asal bermain cantik saja."
Keduanya diam. Sebenarnya mereka sama-sama kesal ketika lawan bicara membahas tentang orang lain di dalam pembicaraan mereka. Mengingat keduanya memang tidak memiliki ketertarikan apapun kecuali dengan apa yang sedang dikejar sekarang.
"Sudah jam dua, sepertinya kita harus tidur. Besok kamu langsung kerja, kan?"
Jeffrey menggeleng pelan dan mulai merebahkan diri di atas ranjang.
"Rencanaku tetap kerja. Tetapi Mama dan Nenek memaksaku cuti besok. Lusa baru masuk lagi."
"Kalau begitu, boleh aku mengantar keluargaku di bandara? Ya, asal kamu tidak keberatan. Karena tidak mungkin aku mengatar mereka sendirian. Apa kata orang yang melihat kalau tidak melihatmu ketiaka aku keluar."
"Jam sembilan, kan? Aku bisa. Tidur tujuh jam sangat cukup untukku."
Jeffrey mulai memejamkan mata sembari menarik selimut hingga menutupi lehernya.
Begitu juga dengan Joanna, dia ikut melakukan hal yang sama. Bedanya, kali ini dia sedang tidur miring menghadap suaminya yang saat ini tidur terlentang dan menghadap langit-langit kamar.
Setengah jam berlalu, nafas Jeffrey semakin memburu. Entah karena apa, hingga membuat acara tidur Joanna terganggu.
"Are u okay?"
Bisik Joanna sembari mendekatakan wajah pada kepala suaminya, karena di kamar hotel tidak disediakam guling yang bisa dijadikan sekat diantara tubuh mereka.
Tidak menjawab, Jeffrey justru menggulingkan tubuhnya dan menghadap Joanna yang masih setengah sadar.
Tubuh Jeffrey menggigil, tetapi keringatnya ikut bercucur meskipun AC sudah disetel setengah maksimal sejak tadi.
Joanna panik, karena di malam pertamanya malah menemukan Jeffrey yang tiba-tiba saja menunjukkan gelagat sakit.
"Dingin?"
Jeffrey masih memejamkan mata, membuat Joanna mulai mendekatkan tubuhnya dan mendekap kepala Jeffrey erat-erat. Mengusap kepalanya pelan hingga pada punggungnya yang sudah basah akibat keringat.
See you in the next chapter ~